Amin dari Doa-Doa Rakyat

Amin dari Doa-Doa Rakyat
Ilustrasi MI(MI/Seno)

KETIKA talbis-talbis dan aral yang dipasang ternyata tidak mampu menahan arus besar kehendak perubahan, itulah tanda alam tak sejalan dengannya. Itulah tanda doa-doa yang dipanjatkan di masjid-masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng, serta tempat lainnya justru mengamini kehendak untuk berubah.

Dengung ‘Amin’, semoga dikabulkan doa-doa kami, ialah pertemuan kehendak rakyat dengan garis Ilahi. Maka itu, siapa menyangka warna-warna yang tidak pernah bercampur sebelumnya menjadi padu padan indah bak puspa ragam. Sekat-sekat yang mengotakkan segala identitas kini melebur menjadi himpunan tak berbilang di bawah payung suara perubahan.

Kamis, 19 Oktober 2023, setahun lebih setelah deklarasi pertama seorang calon presiden, akhirnya pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar (Amin) mendaftar sebagai pasangan capres dan cawapres untuk Pilpres 2024 di Komisi Pemilihan Standar (KPU) RI. Inilah jalan awal untuk menjemput kemenangan.

“Jalan yang kita lalui bukan jalan yang biasa-biasa saja. Kita menghadapi berbagai cobaan. Kita juga menghadapi berbagai perasaan sinisme, ketidakpercayaan, keraguan. Seakan-akan kita dipaksa untuk percaya bahwa kita tidak mempunyai kapasitas sekaligus tidak berdaya untuk memperjuangkan apa yang kita yakini,” kenang Surya Paloh, Ketua Standar Partai NasDem. Hari ini, segala wasangka dan tuduhan itu telah mentah dan tidak terbukti. Sekalian itu karena ikhtiar-ikhtiar lahir batin yang dijalankan segenap rakyat Indonesia yang mendukung perubahan. Dan tentu saja itu karena “Doa kita adalah doa rakyat,” tegas Surya Paloh ketika memberi pidato untuk mengantarkan pasangan itu yang serentak dijawab oleh hadirin dengan “Amin.”

 

Kepemimpinan mutakhir

Bersuanya Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar dianggap sebagai pertemuan yang tidak pernah dihitung dalam konstelasi politik sebelumnya. Apabila meminjam istilah klasik Geertz, keduanya mewakili kutub modernis dan tradisional, tetapi selalu ada yang pertama dalam segala hal. Pertemuan dua unsur yang dikatalisasi secara menakjubkan oleh Surya Paloh itu memberi kebaruan dalam politik Indonesia. Bahwa semua unsur dapat saja bertemu jika memang semua berkehendak duduk bersama dalam kesetaraan dan keterbukaan meskipun didera pesimisme dan cemoohan bahwa pasangan tersebut tidak akan dapat berlabuh, apalagi unsur-unsur pengusungnya tidak pernah bisa bertemu selama ini. Anggapan yang terus-menerus dipupuk sehingga selalu memberi demarkasi dalam himpunan-himpunan yang tidak pernah beririsan.

Sebuah anggapan sangat kolonialis karena mempertahankan sikap dan tabiat kolonial dalam memecah belah bangsa Indonesia. Selalu ada pengotakan yang membuat bangsa Indonesia mudah dipecah belah dan dikuasai devide et impera. Konkretnya, anggapan itu gugur dengan penyatuan tiga unsur besar dalam republik ini: kebangsaan, kerakyatan, dan keumatan.

Jauh-jauh hari sebelumnya, Surya Paloh dalam bukunya Mari Bung Rebut Kembali telah menakwil bahwa kotak-kotak dan sekat itu hanya isapan jempol belaka. Surya Paloh mencontohkan Pancasila sebagai tempat bertemunya semua nilai yang bahkan dalam kancah studi ideologi dan politik selalu diletakkan diametral dan tidak pernah bersua.

Inspirasi sedahsyat itu diabaikan begitu saja karena semua pihak sibuk bersitegang dengan kepentingan mereka. Padahal Pancasila ialah ‘sebuah mahakarya hasil dialog antara tradisionalisme dan modernisme. Dialektika yang begitu cerdas sekaligus arif dari para perumusnya, para pendiri bangsa’.

Dengan kearifan dan kehikmatan, Surya Paloh mampu menyenyawakan dua orang yang merepresentasikan nilai-nilai tersebut. Bahkan, lebih jauh dia juga menyenyawakan tiga partai politik dengan nilai yang berakar tunggang dari sejarah bangsa. Sekaliannya duduk untuk harapan akan segi hari depan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik.

Cek Artikel:  Serangan Israel, Libanon, dan Masa Depan Hizbullah

Langkah berani yang dipandang sebelah mata itu dianggap sebagai sekadar upaya untuk melabuhkan kepentingan oportunis jangka pendek tanpa melihat pengorbanan yang telah ditempuh dalam perjalanan sejauh ini. Padahal, keberanian itu bukan sekadar keberanian untuk maju ke depan, melainkan juga keberanian untuk memanggul segala konsekuensi atas jalan yang dipilihnya.

Sebagai politikus sekaligus ketua umum sebuah partai, Surya Paloh merupakan pemimpin yang mampu membangun ‘subjek-subjek politik baru’. Yasraf Amir Piliang dalam pengantar buku Indonesia di Jalan Restorasi: Politik Gagasan Surya Paloh membahasakannya sebagai individu-individu yang diikat oleh ide, gagasan, keyakinan, dan makna autentik yang diperjuangkan bersama untuk cita-cita bersama.

Definisinya, pemimpin itu mampu membangun ‘sang kita’ (the we), yaitu sebuah komunitas politik atau jejaring pengikut sebagai sebuah ‘komunitas makna’ (community of meaning) yang autentik. Pemimpin tersebut, melalui jejaring sosialnya, mampu melakukan rekonfigurasi ideologis untuk membangun identitas politik yang baru.

Kebanyakan pihak berpandangan bahwa perjumpaan perbedaan dianggap sebagai kemustahilan sehingga segala sesuatunya harus sama dan seragam. Ihwal semacam ini jelas melupakan bahwa berjalannya sebuah hal bukan hanya karena unsur-unsur yang menyusunnya sama serupa, melainkan unsur-unsur yang berbeda dan bahkan saling bertentangan.

Perbedaan, bagaimanapun, merupakan universalisme yang menggerakkan seluruh sendi kehidupan. Perjumpaan keduanya merupakan gambaran keberanian untuk menerabas segala tabu dan sekat-sekat politik. Keberanian itu digambarkan oleh Anies Baswedan seperti keberanian arek-arek Surabaya yang menghibahkan nyawanya untuk republik yang merdeka: ‘kita ambil nyali itu! Karena nyali itu yang akan menjadi bekal untuk ikhtiar perubahan’.

Perubahan dengan demikian bukan sekadar mengubah yang lama menjadi baru, melainkan juga proses dialektika dari semua unsur yang menyusun kebangsaan Indonesia. Harus diingat, sendi dari sebuah dialog bukan lagi tentang ‘benar-salah’, juga bukan tentang ‘siapa dapat apa’, melainkan kepentingan lebih besar apa yang harus diutamakan.

Karena itu, paket kepemimpinan bukanlah paket siapa lebih utama dari siapa karena satu dari mereka pun hanya ‘ditinggikan satu ranting didahulukan satu langkah’. Prinsip inilah yang membuat kritik-autokritik dalam sebuah kepemimpinan nasional sama lumrahnya seperti evaluasi rutin sebuah program. Sebuah upaya yang secara berkala dilakukan melalui pemilihan umum sebagai cara untuk melihat kembali (mengalibrasi) semua kerja pemimpin negeri terhadap cita-cita kemerdekaan.

Dengan demikian, wujud kepemimpinan mutakhir merupakan perpaduan yang hayati antara unsur-unsur yang berbeda. Sebuah kepiawaian yang harus diperhitungkan ketika unsur-unsur yang berbeda dapat bersenyawa dengan baik. Bukan hanya akan memicu kemajuan, melainkan juga kebaruan yang lebih manfaat. Persoalannya hanya mau atau tidak membuka ruang-ruang perjumpaan dan berdialog. Pemimpin politik sudah seharusnya merupakan seorang individu dengan keutamaan moral seseorang (virtue).

 

Jalan kemenangan

Dalam setiap epos, selalu saja ada cerita tentang laku seorang kesatria. Suri teladan sebagai nilai moral yang hendak ditularkan untuk menjadi pegangan hidup generasi pelanjut angkatan. Selalu ada cerita kehebatan yang penuh dengan glorifikasi dan mistifikasi. Tetapi, setiap jalan menuju puncak-puncak kemenangan, selalu harus melalui lembah yang tandus, ngarai yang terjal, dan bukit-bukit mendaki kering kerontang. Sekalian jalan itu harus dilalui sehingga pantas kiranya jika Surya Paloh pada 2 Oktober 2022 bertanya pada Anies Baswedan menjelang pendeklarasiannya: “Ini besar. Ini tidak ringan, Bung Anies. Bung Anies siap?”

Cek Artikel:  Air, Sanitasi, dan Higienis WASH

Meskipun tidak sama persis, kita dapat membayangkan secara imajinatif dialog selanjutnya seperti dialog antara Prabu Kresna dengan Arjuna dalam kitab Bhagavad Gita. Maka itu, selanjutnya dialog tersebut menjadi dapat terbaca dari kerja-kerja bersama selama proses pencalonan. Banyak tekanan dan rintangan yang mereka hadapi. Sesungguhnya apakah itu menciptakan dilema? Dalam kitab itu, dilema digambarkan sebagai ‘kita tidak tahu apa yang menjadi pilihan terbaik bagi kita’.

Dalam republikanisme, patokan berpolitik lebih dari ‘apa yang menjadi pilihan terbaik bagi kita’. Sebagaimana diajarkan Mohammad Hatta, politik yang berdiri pada republikanisme ialah jalan terhormat bagi ‘perbuatan yang menimbulkan dalam hal-hal kenegaraan untuk mencapai kesejahteraan negara dan masyarakat, menurut dasar yang diyakini’. Maka itu, berpolitik merupakan pengabdian pada kebaikan sehingga politik ialah arena dignitas tempat keutamaan umum dipertaruhkan yang oleh karena itu harus ia mesti dijaga, disterilkan, dan dihindarkan dari intervensi kepentingan-kepentingan pribadi dan ekonomi.

Seorang politikus selalu harus menyadari hakikat dirinya, menyadari tugasnya, kewajibannya sebagai seorang politikus (negarawan) sehingga menanggung konsekuensi dari jalan yang dipilih merupakan pilihannya merupakan ‘hal yang ringan’. Dilema dengan begitu seperti seorang kesatria yang bertapa di ujung pedangnya meletakkan segala kemampuan, keahlian, dan perangkat yang dimilikinya untuk menempuh jalan baru yang dipilihnya. Dalam diamnya, seorang politikus harus terjaga dengan sadar agar tidak tergelincir tertusuk pedangnya sendiri.

Sebagai makhluk politik yang berprinsip ‘who gets what and when’ tentu saja selalu ada godaan untuk mengambil kembali senjatanya dan pergi berperang agar dia kembali berada dalam posisinya sebagai kesatria. Akan tetapi, godaan itu sama halnya dengan keraguan yang dialami Arjuna ketika hendak maju berperang: keduanya tidak diizinkan untuk nilai yang lebih besar. Keduanya mempunyai konsekuensi normatif yang bersumber dari hati nurani (conscience). Sebuah basis yang didasari sensitivitas dalam pikiran, perasaan, dan tindakan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan.

Maka itu, dilema seorang pemimpin hanya bisa dijawab dengan kesetiaan pada virtue dan kebenaran moral dengan kejujuran sikap (moralische warhefttigheit). Sebuah sikap konsolidatif atas sejarah dan harapan masa depan dari tanggung jawab kredensial atas kekuasaan yang dipegangnya sehingga politik bukan lagi soal ‘boleh atau tidak boleh’ atau ‘dikehendaki-tidak dikehendaki’ oleh rakyat, tetapi lebih dari itu adalah apa value dan virtue dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang mesti dilestarikan.

Pemimpin sejati minimalnya harus tahu dengan persis was soll ich tun (apa yang harus saya lakukan). Pertanyaan itu berada di area yang berkait dengan nilai baik/buruk (moral values) seseorang dan benar/salah/wajib (moral obligation) sebuah tindakan.

Dua hal tersebut, moral values dan moral obligation, harus menjadi pegangan kuat seorang pemimpin. Bahkan, jika perlu itu menjadi azimat yang harus dibawa sebagai pundi-pundi seorang pemimpin. Itu karena dengan itu, setiap tindakan (atau bahkan dorongan atas tindakan) seorang pemimpin harus membilang aspek tujuan, nilai-nilai baik, dan benar-salah yang termanifestasi dalam prinsip yang adil.

Cek Artikel:  Literasi Jalur Rempah dan Pembangunan Kebudayaan Indonesia

Safiri moral dan obligasi seorang pemimpin hanya dapat dibuktikan melalui kebijakannya. Demi memegang teguh dua nilai itu, seorang pemimpin harus melibatkan dalam dirinya keberanian, ketegasan, dan bahkan kesediaan untuk melakukannya sendiri bentuk dan aturan konstitusi sehingga seseorang dapat memimpin sekaligus menerima batasan-batasan yang ditetapkan konstitusi.

Seorang pemimpin harus memiliki lebih dari sekadar kemampuan pragmatis untuk menjaga agar negara tetap terselenggara dengan baik dan bertahan. Ia juga dituntut untuk mendidik pikiran publik untuk bersetia melestarikan prinsip-prinsip yang ada dalam konstitusi. Konstitusi ialah alat untuk membatasi kekuasaan–baik kekuasaan seorang individu pemimpin maupun kekuasaan mayoritas rakyat. Bahkan, suara mayoritas rakyat tidak memberikan kekuasaan mutlak kepada mayoritas untuk melakukan apa yang diinginkannya. Di sinilah munculnya dilema seorang pemimpin: punya kekuasaan, tetapi terbatas, punya kemampuan melanggar atas kekuasaan, tetapi tidak dilakukannya karena dengan kekuasaannya, seorang pemimpin dapat saja ‘mengotak-atik’ konstitusi.

Tentu saja itu merupakan jalan sunyi. Surya Paloh memilih jalan sunyi itu karena jalan tersebut adalah jalan ‘nalar’ dan ‘akal sehat’ dalam arsitektur demokrasi: jalan membangun ulang nalar politik yang telah banyak terkontaminasi kekuatan uang, gelimang materi, gemerlap gaya hidup, serta kilauan popularitas dan virus-virus pencitraan. Tetapi, kenyataan itu tidak berarti harus membuat nilai-nilai kekesatriaan seorang politisi mengeret. Bagaiamanapun harus ada yang memberi suri teladan bagi rakyat.

Layaklah kita kutip apa yang disampaikan Anies Rasyid Baswedan dalam syarahnya menjelang keberangkatan ke KPU RI, “Bangsa ini banyak yang bertanya mungkin berubah di ujung, mungkin berubah di tengah. Mengapa? Karena sudah terlalu sering kita ditunjukkan oleh inkonsistensi. Kita sering ditunjukkan sikap berubah di tengah jalan. Hari ini kita menyaksikan bangsa ini sedang memberikan contoh apa itu konsistensi, apa itu keteguhan, apa itu satunya kata dan perbuatan.”

 

Penutup

Akhirnya, sejauh perjalanan yang telah dilalui, ikhtisar pentingnya ialah bukan pada siapa dan apa kehendak politik dilabuhkan, melainkan pada nilai apa ia ditujukan. Maka itu, jalan kemenangan merupakan puncak-puncak dari setiap kemampuan seorang politikus melalui segala talbis dan aral yang diadangkan padanya.

Maka itu, diiringi segala doa dari seluruh rakyat Indonesia dan pengharapan setiap anak bangsa yang belum mendapatkan haknya, sebagaimana janji dalam cita-cita memerdekaan, kapal besar perubahan itu pun berlayar.

“Hari ini layar telah dikembangkan. Kapalnya sudah dibangun. Layarnya hari ini berkembang. Insya Allah kapal ini akan berangkat menuju Indonesia yang lebih adil, menuju Indonesia yang lebih makmur, menuju Indonesia yang lebih menyejahterakan bagi semuanya,” tutup capres Koalisi Perubahan dengan suara yang tercekat.

 

Saya jadi teringat sebuah puisi Salvatore Quasimodo yang berjudul Amin untuk Hari Minggu di Albis.

Begini larik-lariknya:

Engkau tak pernah mengkhianatiku, Tuhan: 

dari setiap nestapa

akulah yang pertama lahir. 

Dengan segala khidmat, ‘Amin di hari Kamis’ akan menjadi ‘amin’ dari setiap doa rakyat yang mengharapan perbaikan dan perubahan hidupnya di negeri yang hampir seratus tahun ini merdeka.

Mungkin Anda Menyukai