Tolak Duitnya Tolak Orangnya

JARGON ‘terima uangnya, jangan pilih orangnya’ sudah lama dibekukan dalam freezer lemari es politik negeri ini. Dibekukan karena jargon itu melestarikan politik uang yang dianggap sebagai induknya korupsi.

‘Jangan ambil uangnya, jangan pilih orangnya’ menjadi jargon baru. Slogan ini sejalan dengan tema kampanye yang dilancarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu Hajar Serangan Fajar yang diluncurkan pada 14 Juli 2023.

Hanya selang dua bulan setelah kampanye KPK, bakal calon presiden Koalisi Indonesia Maju Prabowo Subianto kembali menghidupkan jargon lama, terima uangnya tolak orangnya.

“Yang mau bagi-bagi uang, terima saja, itu juga uang dari rakyat. Kalau dibagi terima saja, tapi ikuti hatimu. Pilih yang kau yakin di hatimu akan berbuat terbaik untuk bangsa rakyat, dan negara,” kata Prabowo pada 9 September 2023.

Pernyataan Prabowo itu sejalan dengan sikap permisif masyarakat terhadap politik uang. Riset Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) pada 2020 menemukan bahwa lebih dari 60% responden mengaku akan menerima politik uang jika ada pihak yang memberikan.

Cek Artikel:  Dusta Israel, Nestapa Palestina

Argumennya mereka mau menerima politik uang karena rezeki tak boleh ditolak, pengganti karena hari pemungutan suara libur bekerja, menambah uang untuk kebutuhan dapur atau keperluan sehari-hari, dan lain-lain.

Masyarakat telanjur menganggap politik uang bagian tidak terpisahkan dari pemilu. Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan 40% responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019, tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Sebanyak 37% lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih.

Elok nian bila calon peserta pemilu, apalagi bakal calon presiden, untuk tidak mendukung politik uang. Pernyataan ‘terima uangnya, jangan pilih orangnya’ justru tidak mendukung kampanye ‘Hajar Serangan Fajar’ yang dilancarkan KPK.

Sorotan lain terkait dugaan politik uang ialah video viral di media sosial Zulkifli Hasan membagikan uang Rp50 ribu kepada masyarakat. Sayan TikTok @amanat_nasional yang mengunggah aksi bagi-bagi uang itu. “PAN, PAN, PAN bagi-bagi gocapan,” tulis teks dalam video tersebut yang dikutip pada 12 September 2023. PAN berdalih tindakan itu bukan politik uang. Zulhas diklaim sedang bersedekah.

Cek Artikel:  Menangis untuk Bisnis

Sikap KPK sangat jelas dan tegas. Menurut KPK, pernyataan Prabowo soal terima uangnya sebagai tindakan koruptif. KPK juga menyebut pembagian Rp50 ribu yang dilakukan Ketua Lazim Partai Terjaminat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan masuk ke kategori politik uang. Lembaga antirasuah meyakini ada maksud terselubung.

Amat disayangkan bahwa KPK menempatkan dirinya seperti pengamat, hanya bisa menilai tanpa ada tindakan nyata. Mestinya KPK langsung mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghentikan apa yang disebutnya sebagai tindakan koruptif.

KPK diharapkan mengambil langkah terobosan karena Undang-Undang Nomor 7 Mengertin 2017 tentang Pemilu hanya mengatur terkait politik uang pada saat kampanye dan coblosan suara. Politik uang di luar kampanye dan coblos suara tidak diatur dalam UU Pemilu.

Embargo dalam kampanye yang diatur dalam Pasal 280 UU Pemilu ialah menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu. Pasal 515 dan 523 juga menjerat pidana politik uang pada saat kampanye dan pemungutan suara.

Cek Artikel:  RUU Desa Disahkan, Perampasan Aset Mandek

Politik uang masih menghantui Pemilu 2024 yang mestinya diselenggarakan secara demokratis dan bermartabat. Indeks Kerawanan Pemilu 2024 yang dikeluarkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menempatkan politik uang sebagai masalah rawan.

Member Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan politik uang amat berbahaya karena tidak mengenai kontestasi menang atau kalah, tetapi menghancurkan mental warga negara dan menghancurkan mental aktor-aktor negara.

Bukanlah berlebihan untuk menyebutkan politik uang sebagai induknya korupsi. Membeli suara saat kontestasi, begitu menjabat menerima suap atau gratifikasi.

Studi yang dilakukan Burhanuddin Muhtadi telah berhasil menunjukkan betapa politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam pemilu pasca-Orde Baru.

Amat disayangkan jika para elite justru menjadi pelopor yang menggelorakan dan merawat politik uang sebagai normal baru pemilu. Jadikan jargon ‘tolak uangnya tolak orangnya’ sebagai normal baru pemilu.

Mungkin Anda Menyukai