Mengapa Harus Publisher Rights

Mengapa Harus Publisher Rights?
Ilustrasi MI(MI/Duta)

SEBULAN terakhir, publik disuguhi perdebatan tentang Publisher Rights. Regulasi baru yang hendak disahkan sebagai peraturan presiden. Presiden Joko Widodo telah menjanjikannya pada peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 2023 di Sumatra Utara. “Dalam satu bulan harus selesai!” Demikian janji Presiden saat itu.

Kompleksitas

Kompleksitas regulasi ini membuat pengesahannya mundur. Presiden Jokowi sepertinya ingin segera menghentikan pengunduran ini. Sebagai regulasi baru, wajar jika ada salah paham tentang Publisher Rights. Salah paham ini perlu diluruskan untuk melahirkan pemahaman yang komprehensif sebagai dasar untuk mengapresiasi atau sebaliknya untuk mengkritik regulasi tersebut.

Pertama, ada sebagian pihak yang khawatir Publisher Rights akan mengancam kebebasan pers di Indonesia. Perlu ditegaskan di sini, tidak ada satu pasal pun dalam draf regulasi Publisher Rights versi Asosiasi Media, Dewan Pers, dan Kemenkominfo yang membebankan tanggung jawab baru kepada perusahaan media atau wartawan. Yang diatur dalam regulasi ini ialah hak media bernegosiasi dengan platform digital untuk memastikan bahwa content sharing akan menghasilkan benefit sharing yang bermakna.

Hak bernegosiasi ini ialah pilihan bebas. Dapat digunakan, bisa juga tidak digunakan. Apabila media merasa nyaman bekerja sama dengan platform digital dalam skema sebelum regulasi Publisher Rights disahkan, media dapat melanjutkannya.

Memang ada klausul pengaturan konten yang menyatakan perusahaan platform digital bertanggung jawab memastikan teknologi distribusi konten mereka mendukung penguatan nilai-nilai ruang publik, demokrasi dan kesetaraan. Ini adalah norma universal. Siapa pun yang bermain di ruang publik, entah media massa, netizen, youtuber, blogger, dan lain-lain tanpa pengecualian juga memikul tanggung jawab itu.

Mewujudkan ruang publik yang beradab dan beretika ialah tanggung jawab semua pihak, termasuk platform digital yang telah memberi dan mengambil manfaat dari ruang publik baru. Apabila untuk saat ini platform digital secara teknis kesulitan melaksanakan tanggung jawab itu, paling tidak mereka perlu terus didorong untuk berbuat lebih konkret, guna mengatasi fakta-fakta bahwa sistem algoritma mereka telah turut menyebarkan konten-konten yang meresahkan, tidak mendidik, memecah-belah, dan bertentangan dengan keadaban ruang publik.

Kedua, ada anggapan Publisher Rights mengundang intervensi negara pada ranah kebebasan pers. Perlu ditegaskan di sini, Publisher Rights sesungguhnya lahir pada ranah persaingan usaha dan ranah hak cipta. Di Australia, Kanada, atau Uni Eropa, perbincangan tentang Publisher Rights terjadi dalam konteks upaya mewujudkan iklim yang persaingan usaha yang sehat dan penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual.

Cek Artikel:  Eliminasi Pandemi, Mungkinkah

Lokus pengaturannya memang media massa, tetapi perspektifnya ialah persaingan usaha yang sehat dan penghargaan atas hak cipta.

Intervensi negara diperlukan di sini karena data menunjukkan bahwa duopoli perusahaan platform digital telah menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital, dan lebih dari 80% distribusi konten jurnalistik. Monopoli, di bidang apa pun, mesti dikendalikan. Apalagi, monopoli di bidang yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak, yakni kebutuhan akan ruang publik media yang beradab dan mendukung spirit demokrasi, kebebasan dan keberagaman.

Intervensi negara juga dibutuhkan karena secara faktual media massa kesulitan dalam bernegosiasi secara langsung dengan platform digital. Begitu dominan posisi platform digital dan begitu lemah posisi perusahaan media, yang terjadi tak ubahnya pertarungan David vs Goliath.

Ketiga, ada anggapan, bahwa regulasi Publisher Rights akan mematikan media-media kecil. Belum ada bukti yang meyakinkan tentang hal ini. Apabila Australia menjadi acuan, kita perlu hati-hati dalam mengambil kesimpulan. Memang benar bahwa di negeri kangguru itu, media-media besar menjadi pihak pertama yang diuntungkan oleh pengesahan News Media Bargaining Code tahun 2021.

Bagaimana dengan nasib media-media kecil di sana? Mereka awalnya mengalami kesulitan bernegosiasi karena Platform Digital ogah-ogahan bernegosiasi dengan media kecil. Hingga pada suatu titik, Menteri Keuangan Australia bersikap tegas memaksa platform digital untuk bernegosiasi dengan media-media kecil secara kolektif. Hasilnya sejauh ini sangat menggembirakan bagi keberlanjutan media-media kecil itu.

Kuncinya di sini ialah soliditas antarmedia dan peluang bernegosiasi kolektif. Pengalaman Australia menunjukkan, kengototan media-media menengah untuk bernegosiasi secara individual, pada akhirnya  justru melemahkan posisi mereka sendiri. Opsi negosiasi kolektif perlu diperjuangkan Pemerintah dan Dewan Pers untuk melindungi kepentingan media kecil atau media daerah.

Keempat, Publisher Rights ialah ekspresi permusuhan terhadap platform digital. Keberadaan platform digital telah memberikan banyak manfaat positif untuk industri kreatif, deliberasi publik, demokratisasi, inovasi dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, memusuhi mereka jelas perlu disingkirkan dari pikiran kita semua. Kita tidak bisa hidup tanpa bersentuhan dengan produk-produk internet of things dan kecerdasan buatan mereka.

Tetapi, kita juga harus ingat bahwa platform digital bagaimana pun ialah makhluk ekonomi, yang motif utamanya ialah komodifikasi dan komersialisasi. Platform mesin pencarian memfasilitasi distribusi konten sekaligus mengambil keuntungan yang jauh lebih besar dari yang didapatkan si pembuat konten.

Cek Artikel:  Penanganan Gagal Ginjal Kronis pada Transisi Menuju ke Endemi

Media sosial ialah medium sosialisasi sekaligus medium komodifikasi dan komersialisasi. Motif komodifikasi dan komersialisasi ini, secara faktual telah melahirkan dampak negatif: epidemi hoaks, polarisasi sosial, kecanduan gadget, capital out flow, monopoli periklanan digital, disrupsi media, dan lain-lain. 

Dalam konteks ini, regulasi Publisher Rights bukan ekspresi permusuhan terhadap platform digital, melainkan sebuah inisiatif untuk mendorong platform digital mengambil tanggung jawab yang setara dengan keuntungan-keuntungan yang telah mereka serap dari proyek ‘digitalisasi media’ di suatu negara.

Publisher Rights tidak memaksa platform digital menyerahkan sejumlah remunerasi konten kepada media massa, melainkan mewajibkan mereka untuk bernegosiasi berdasarkan itikat baik tentang remunerasi konten itu dengan media massa.

Perspektif geo-ekonomi-politik juga sangat penting sebagai titik tolak di sini. Google, Facebook, Amazon, Microsoft, Apple bagaimanapun ialah cerminan kepentingan ekonomi-politik negeri Om Sam. Ketika Otoritas Uni Eropa mempersoalkan model bisnis mereka yang monopolistik, Presiden Amerika Perkumpulan secara langsung turun gelanggang untuk membela ‘kepentingan ekonomi digital’ ‘Negeri Om Sam’. Di sisi lain, Alibaba, Baidu, Tencent, Tiktok sedikit-banyak juga mencerminkan semangat ekspansionisme digital ‘Negeri Gorden Bambu’.

Dengan latar belakang seperti ini, pengaturan segi-segi digitalisasi dalam konteks hukum nasional menjadi kecenderungan baru. Berbagai negara terus melakukannya untuk melindungi publik dari bahaya epidemi hoaks, kebocoran data pribadi dan berbagai kejahatan digital transnasional, serta untuk menegakkan kepentingan nasional dalam percaturan geo-ekonomi-politik digitalisasi global.

Tetapi, perlu kehati-hatian di sini. Jangan sampai kita berusaha mengatasi dampak negatif digitalisasi, tetapi justru melahirkan regulasi yang merusak segi-segi positif digitalisasi. Preservasi atas peran positif teknologi terhadap ranah kebebasan, demokrasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan mesti menjadi paradigma dalam upaya meregulasi segi-segi digitalisasi dalam konteks hukum nasional suatu negara.

Kelima, Publisher Rights ialah senjata bagi para publisher untuk merengek-rengek meminta duitnya Google dan Facebook.

Secara ringkas, dapat dijelaskan bahwa hubungan antara publisher dan platform digital ialah hubungan antara pemilik konten dan pemilik teknologi distribusi konten.

Persenyawaan antara konten dan teknologi distribusi konten ini dalam praktiknya melahirkan benefit: trafik, popularitas, leverage pendapatan iklan dan data pengguna. Apakah rupa-rupa benefit ini telah dimanfaatkan secara adil, proporsional, dan transparan antara pemilik konten dan pemilik teknologi distribusi konten?

Cek Artikel:  Resentment, Polarisasi, dan Pilihan Politik

Dalam konteks inilah, Publisher Rights melembagakan negosiasi antara kedua belah pihak. Pada negosiasi ini, setiap pihak dapat  berargumentasi tentang kontribusi masing-masing dalam persenyawaan di atas. Karena posisi dan kekuatan pemilik teknologi yang sangat dominan, dimungkinkan bagi pemilik konten untuk bernegosiasi kolektif.

Dengan demikian, jika hasil negosiasi mengharuskan platform digital menyerahkan sejumlah uang kepada publisher, ini bukan uangnya platform digital, melainkan nilai ekonomi dari konten milik publisher yang dikembalikan oleh platform digital.

 Daya tawar

Keenam, Publisher Rights ialah obat mujarab yang akan menyembuhkan segala penyakit daya hidup media nasional. Pandangan yang sangat optimistis ini sama buruknya dengan pandangan yang sangat pesimistis terhadap Publisher Rights. Publisher Rights sangat penting untuk memberikan daya tawar publisher berhadapan dengan platform digital yang telah memonopoli distribusi konten dan belanja iklan digital.

Tetapi, publisher di sisi lain juga harus terus-menerus berinovasi untuk mencari bentuk-bentuk baru pendistribusian konten, interaksi khalayak dan monetisasi konten. Media massa harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan ekologi konsumsi media.

Disrupsi media tidak seratus persen disebabkan oleh operasi platform digital pada aras distribusi dan monetisasi konten. Tetapi, juga karena ketidakmampuan pengelola media untuk bertransformasi. Apabila ini yang terjadi, jangan salahkan platform digital! Publisher Rights sangat fundamental, tetapi bukan satu-satunya formula untuk menyelamatkan industri media nasional dari tekanan disrupsi.

Ketujuh, Publisher Rights akan mengancam nasib kreator konten, youtuber dan semacamnya. Yang diatur Publisher Rights secara spesifik adalah hubungan antara publisher dan platform digital. Publisher Rights sama sekali tidak mengatur hubungan kreator konten, youtuber dengan perusahaan platform digital. Tetapi, di negara mana pun yang mencoba menerapkan Publisher Rights, memang selalu muncul ancaman boikot, propaganda negatif yang menimbulkan kebingungan dan keresahan kolektif.

Ini sudah menjadi SOP yang telah diterapkan di Jerman, Uni eropa, Australis dan Kanada.  Dampak yang muncul bukan diskusi publik yang partisipatoris, komprehensif dan solutif, melainkan arus syakwasangka dan perpecahan dalam masyarakat sipil, netizen, dan komunitas media. Pertanyaannya, apakah kita akan terprovokasi oleh propaganda tersebut? Pada akhirnya, soliditas komunitas pers nasional menjadi kunci. Demikian juga dengan konsistensi pemerintah dalam menyikapi isu strategis, tanpa meninggalkan aspirasi kelompok masyarakat sipil.

Mungkin Anda Menyukai