PONDOK pesantren memiliki sejarah yang cukup panjang. Tradisi berguru pada kiai untuk belajar dan menginternalisasi ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari hari, dengan tujuan agar anak didik memiliki ilmu agama yang baik dan menjadi orang yang berakhlak mulia.
Pondok pesantren ialah khazanah pendidikan khas Indonesia yang hingga saat ini masih eksis dan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pendidikan di Indonesia.
Semakin banyak orangtua yang menitipkan anak mereka mondok atau tinggal dalam waktu tertentu. Tujuan mereka bisa berguru sambil meneladani laku keseharian seorang kiai yang dihormati dan disegani karena memiliki keilmuan mendalam tentang agama Islam. Singkat cerita, saat ini pondok pesantren bukan hanya sebagai tempat tinggal dan belajar ilmu agama, melainkan juga tempat para santri belajar pengetahuan umum dan menjalani kehidupan sosialnya.
Tokoh sentral dalam kesuksesan sebuah pesantren dan pendidikan santri di dalamnya ialah seorang kiai. Keilmuannya yang mendalam tentang kitab Islam klasik seperti dalam bidang fikih dan tasawuf ialah hal penting karena ini adalah cara pesantren mewariskan pengetahuan bagi para santrinya dari generasi ke generasi.
Tetapi, dalam memenuhi aspek kehidupan lain seperti aspek sosial, relasi keluarga, serta hingga aspek mental dan emosional para santri, pesantren juga punya tokoh lain yang juga sama pentingnya. Tokoh tersebut ialah ibu nyai (istri kiai) dan ning (putri kiai).
Begitu banyak yang telah membuktikan strategisnya peran ibu nyai dan ning dalam kehidupan pesantren. Salah satunya dalam karya akademik, seperti pada penelitian berjudul The Power of Nyai in the Development of the Pesantren (Adnani & Mahbub, 2021).
Kepemimpinan ibu nyai dan ning memegang peranan penting dalam keberhasilan sebuah pesantren. Mereka memiliki peran dalam memastikan logistik pesantren, mendidik, dan menjadi orangtua pengganti bagi ratusan bahkan ribuan santri.
Tak hanya berperan dalam lingkungan internal pesantren, ibu nyai dan ning memberikan dampak bagi masyarakat di sekitar pesantren. Lewat, seberapa besar pengaruh ibu nyai dan ning dalam menentukan keberhasilan sebuah pesantren? Peran apa saja yang diemban mereka?
Tiga peran
Sering kita mendengar tirakat atau amalan yang dilakukan ibu nyai dan ning sebagai ikhtiar yang akan menentukan masa depan keluarga dan santri. Tak dimungkiri, tirakat para ibu nyai dan ning ialah upaya untuk mengantarkan pesantren yang dibina mereka agar terus melahirkan generasi baru ber-akhlakul karimah yang tentunya bisa diteladani. Mereka menjalankan tiga peran yang sangat strategis, yakni sebagai pengayom, pendidik, dan penggerak.
Pertama, sebagai pengayom. Ibu nyai berperan layaknya ibu dan ning menjadi kakak yang setia membimbing para santri selama mereka mondok. Tanggung jawab itu begitu besar karena mereka tak hanya menyiapkan kebutuhan pokok, tetapi juga ikut mengelola perkembangan karakter dan perilaku para santri.
Ibu nyai dan ning berupaya memberikan rasa aman, membentuk kedisiplinan positif, menegakkan aturan dan batasan, serta melibatkan santri dalam beragam kegiatan. Sekalian itu dilakukan untuk satu tujuan mulia membentuk santri sebagai generasi akhlakul karimah yang berbahagia.
Kedua, sebagai pendidik. Ibu nyai dan ning ialah teladan nyata bagi santri serta warga di lingkungan pesantren. Pendidik bukan hanya dalam ranah akademis, melainkan juga dalam laku keseharian. Merekalah yang menurunkan nilai-nilai luhur untuk membentuk santri yang berakhlak mulia.
Ketiga, sebagai penggerak. Ibu nyai dan ning tidak hanya berperan di wilayah pesantren, tapi juga untuk masyarakat lokal. Pengaruh kerja-kerja mereka terasa nyata bagi masyarakat yang lebih luas.
Masyarakat sekitar sering kali menjadikan mereka sebagai tempat mengadukan masalah yang dihadapi. Mulai isu kenakalan remaja, perundungan, hingga kekerasan dalam rumah tangga menjadi masalah yang perlu turut dipikirkan jalan keluarnya oleh para ibu nyai dan ning.
Ibu nyai dan ning memberdayakan masyarakat dengan dua cara sederhana; menggerakkan santri dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan mendampingi warga sekitar dalam menangani masalah-masalah sosial.
Hanya saja, peran ibu nyai dan ning sebagai penggerak di masyarakat masih minim apresiasi. Begitu banyak bukti yang menunjukkan mereka bisa menjadi agen perubahan strategis di masyarakat. Peran itu penting untuk terus dikembangkan dengan memperkuat kolaborasi.
Potensi kolaborasi
Banyak laku ibu nyai dan ning dalam menuntun dan mendampingi lingkungan sekitar pesantren yang bisa dipelajari. Ibu nyai dan ning membuktikan mereka memegang peran yang begitu instrumental dalam menjaga kehidupan bermasyarakat.
Menyaksikan perjuangan ibu nyai dan ning mengingatkan kembali dengan momen-momen saat diberi amanah menjadi pengurus kader pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) di Ibu Kota. Pengalaman di PKK dan pertemuan dengan ibu nyai beserta ning, sekali lagi, jadi bukti bahwa di tiap perjalanan bangsa ini, peran perempuan tak bisa diabaikan. Perempuan selalu bisa mengambil peran-peran kunci dalam bermasyarakat dengan beragam inovasi mereka.
Pengaruh yang dihasilkan akan jadi lebih luas jika ibu nyai dan ning bisa memperkuat kolaborasi. Selain itu, difasilitasi serta didukung pihak-pihak di luar lingkungan pesantren seperti komunitas, swasta, dan pemerintah. Kekhasan tradisi yang dijalani di tiap pesantren bisa menjadi khazanah ilmu pengetahuan yang luas yang bisa dibagikan di antara ibu nyai dan ning lintas pesantren.
Ketika ibu nyai dan ning berjejaring, pemerintah juga perlu menjadikan mereka sebagai mitra strategis dalam mendorong perubahan sosial di banyak sudut negeri ini. Ibu nyai dan ning ialah aktor yang sangat memahami masalah dan kebutuhan di daerah sekitar pesantren. Pengetahuan itu ialah modal penting untuk membuat kebijakan yang kontekstual dengan santri dan masyarakat sekitar.
Pada momen Hari Santri ini, mari kita meneladani khidmah dan merefleksikan kembali peran ibu nyai dan ning yang begitu besar. Momen Hari Santri yang berakar dari Resolusi Jihad sejatinya mengingatkan kita bahwa pesantren selalu memegang peran penting tidak hanya dalam konteks membentuk generasi akhlakul karimah, tapi juga sebagai penggerak masyarakat.
Memperhatikan ibu nyai dan ning pada Hari Santri berarti mengapresiasi peran mereka tak hanya di lingkungan pesantren, tetapi juga di luar wilayah itu sebagai penggerak masyarakat. Melalui kolaborasi sekaligus melibatkan mereka sebagai mitra strategis, insya Allah dampaknya akan jauh lebih besar.
Alhamdulillah, sebuah kehormatan diberi kesempatan untuk belajar langsung dari ibu nyai dan ning. Sebuah pembelajaran tak ternilai yang membuka wawasan tentang peran mereka dalam membentuk masyarakat madani. Perjalanan panjang bertemu langsung dengan ibu nyai dan ning memang telah berlalu, tetapi persaudaraan dan pembelajarannya akan terus terkenang.