Menteri atau Buzzer

APA hubungannya menteri dan buzzer? Sebenarnya dua profesi itu terlalu jauh untuk disandingkan. Akan tetapi, belakangan ada saja yang mencoba mendekatkannya.

Menteri jelas pekerjaan mulia. Ia adalah pembantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan, dalam mengelola negara. Menteri idealnya berkualitas dan berkapasitas, serta memiliki karakter yang baik. Pokoknya, segala hal yang menyangkut menteri harusnya yang bagus-bagus, bukan yang buruk-buruk.

Dengan tugas dan fungsi yang tak ringan, menteri mendapat bayaran. Seabrek fasilitas mereka dapatkan. Dari sandang, pangan, perumahan, hingga beragam tunjangan sudah disediakan. Asanya, pikiran dan energi mereka dicurahkan hanya untuk melayani rakyat.

Bagaimana dengan buzzer? Profesi ini awalnya juga baik. Ia adalah penyedia jasa untuk melakukan promosi, kampanye, hingga memberitahukan hal-hal yang penting. Buzzer juga dibayar, bahkan boleh dibilang bekerja semata-mata karena bayaran. Dengan kemampuannya memengaruhi opini, terutama di media sosial, mereka mendapatkan cuan.

Tetapi, dalam perkembangannya, banyak buzzer yang nakal, yang jahat. Hasil penelitian tentang cara buzzer yang dipublikasikan University of Oxford mengungkapkan tidak sedikit di antara mereka beralih ke hal-hal kotor, yang destruktif, tidak lagi konstruktif.

Cek Artikel:  Bukan Tambahan Penderitaan Rakyat

Buzzer kemudian akrab sebagai pelaku doxing (menyebar data pribadi), trolling (provokasi), hingga mengkreasi dan menyebarkan disinformasi (hoaks). Pekerjaan ini tentu saja juga berbasis keuntungan. Maka, muncullah istilah buzzer bayaran, yang di negeri ini dikenal dengan buzzerRp.

Lampau, apa kaitannya menteri dan buzzer? Terdapatlah Ketua Lumrah Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar yang menghubung-hubungkannya. Dia menanggapi beberapa pernyataan Menteri Keyakinan Yaqut Cholil Qoumas yang kontroversial, yang menyudutkan pihaknya. “Itu omongan buzzer, ha ha ha,” begitu komentarnya, Minggu (1/10).

Singkat, padat, tapi telak. Itulah yang disampaikan Cak Imin ketika ditanya wartawan perihal omongan Gusmen, sapaan Menag Yaqut, saat menghadiri Doa Berbarengan untuk Bangsa Wahana Negara Raharja di Hotel Alila, Surakarta, Jumat (29/9). Di depan hadirin, Gusmen meminta agar tak memilih pemimpin hanya karena bicaranya enak, mulutnya manis, mukanya ganteng.

Permintaan itu tak cuma normatif, tapi juga baik. Mengingatkan publik untuk memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak, bukan semata pada penampilan, penting. Tetapi, ketika Gusmen kemudian mencontohkan Pilgub DKI Jakarta dan pilpres, masalah menjadi lain. Apalagi dia lagi-lagi mengungkit penggunaan agama dalam merebut kekuasaan.

Cek Artikel:  Berebut Mimbar Jakarta

Terkait dengan narasi Pilgub DKI, Gusmen diyakini mengarahkan omongannya ke Anies Baswedan, bakal capres yang didampingi Gus Imin sebagai bacawapres. Kepada pilpres, dia kiranya menyindir Prabowo Subianto.

Bukan kali ini saja pula Menteri Yaqut berlaku seperti itu. Dia pernah mengatakan hal yang sama di Ponpes Az-Zamiyah, Garut, Ahad (3/9). Sepuluh hari berselang, Menag merepetisi hal serupa. Kali ini malah lebih miring. Dalam sebuah acara Kemenag di Surabaya, Rabu (13/9), dia menyatakan tidak akan memilih Amin. Yang memilih Amin, ucap dia, berarti bid’ah.

Yaqut mengaku bercanda kala itu. Akan tetapi, guyonannya jauh dari lucu, juga tak pantas, tak elok keluar dari mulut seorang menteri. Amin adalah akronim dari Anies-Cak Imin. Menag dianggap telah terlibat dalam politik praktis, membawa-bawa istilah agama lagi.

Kilah Menag kemudian, bid’ah berarti novelty, kebaruan. Dia menyebutnya sebagai hal yang positif. Tapi, di Engkaus Besar Bahasa Indonesia, bid’ah berkonotasi sangat jelek. Maksudnya ialah perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan. Atau, pembaruan ajaran Islam tanpa berpedoman pada Al-Qur’an dan hadis. Dapat pula kebohongan, dusta. Kalau begitu, apakah memilih Amin berarti mengabaikan Al-Qur’an dan hadis? Kan aneh.

Cek Artikel:  Kebangkitan Nasional Kedua

Kalau lantas menyebut Menag tak ubahnya seorang buzzer, Cak Imin pasti punya argumentasi. Soal benar tidaknya, biarkan masyarakat yang menilai. Yang pasti, seperti penelitian Universitas Oxford, pekerjaan buzzer di antaranya memprovokasi.

Mengatakan bahwa memilih Amin adalah bid’ah, meski sekadar selorohan, kiranya bisa memecah anak bangsa, dapat pula menebalkan sekat di antara umat. Pun demikian resonansi agar tak memilih pemimpin yang memanfaatkan agama dengan clue-clue ke calon tertentu.

Perilaku seperti itu kontradiktif dengan harapan sebagian besar anak negeri agar semua pihak tidak mengedepankan politik polarisasi. Janganlah ada watak buzzer di lingkaran istana, entah itu komisaris BUMN, wakil menteri, apalagi menteri. Setuju?

Mungkin Anda Menyukai