Genosida Bangsa Palestina atas Janji Primordial

Genosida Bangsa Palestina atas Janji Primordial?
(Dok. Pribadi)

…..This homeland [Palestine] for the Jews was compatible with the teachings of the bible. These beliefs gave me an unshakable commitment to the security and peaceful existence of Israel.” (Jimmy Carter, 2009).

White evangelicals are the group most likely to say God gave the land that is now Israel to the Jewish people. Fully 70% of White evangelicals take that position….”(Pew Research Center, 2022)

 

 

GENOSIDA warga Palestina oleh kolonial Israel di jalur Gaza saat ini, dengan ribuan korban jiwa termasuk anak-anak, hanya penggalan cerita panjang dari penjajahan dan pembantaian di tanah Palestina. Cerita siklus kekerasan kali ini, dengan segala pre-text (dalih pembenaran) versi Israel, akan menemukan bentuknya yang sangat buruk dan terus berulang di masa yang akan datang, jika tidak ada langkah konkret masyarakat internasional untuk menghentikannya.

Sementara itu, negara-negara Arab dan dunia Islam pada umumnya tidak bisa berbuat banyak, kecuali sebatas mengutuk kekejaman Zionis Yahudi terhadap rakyat Palestina. Alasan, negara-negara berpenduduk mayoritas muslim didera berbagai masalah seperti kemiskinan, korupsi, despotisme, serta pertikaian horizontal dan vertikal yang tak berkesudahan, sehingga tidak berdaya dihadapan kolonial Israel yang didukung Barat.

Alih-alih membantu perjuangan rakyat Palestina, dunia Islam justru menjalin hubungan dengan kolonial Israel, baik langsung maupun tidak langsung. Hingga kini, sejumlah negara Arab dan mayoritas muslim memiliki hubungan resmi dengan bangsa penjajah ini. Sebut saja Turki, Mesir, dan Yordania, disusul Uni Emirat Arab, Maroko, Bahrain, dan Sudan. Terdapatpun Arab Saudi, yang selama ini dikenal memiliki hubungan ‘di bawah meja’ dengan kolonial Israel, belakangan berupaya membangun kesepakatan untuk menormalisasi hubungan kedua negara.

Cek Artikel:  Penerima Sokongan Iuran PBI untuk BPJS Tenaga Kerja, Mungkinkah

Tentu saja, (normalisasi) hubungan dengan negara-negara Arab dan Islam menjadi kemenangan besar kolonial Israel yang sangat membutuhkan pengakuan resmi atas eksistensinya, sehingga memiliki pijakan politik yang makin kokoh untuk merampas tanah dan mengusir warga Palestina dari wilayah pendudukan.

Lebih dari 70 tahun menduduki Palestina, batas wilayah kolonial Israel meluas berlipat ganda karena menang perang dan okupasi tanah Palestina yang terus berlanjut. Jutaan warga Palestina terusir dari rumah mereka. Yang melawan ditangkap dan dipenjara.

Ratusan ribu warga meregang nyawa dibantai tentara kolonial Israel. Antara 2008 dan 2020 saja, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mencatat ratusan ribu korban luka dan lebih dari 5.500 tewas dari pihak Palestina akibat kekejaman kolonial Israel.

Betapa pun gigihnya mempertahankan diri, bangsa Palestina tidak akan merdeka tanpa dukungan nyata dari dunia internasional. Palestina hanya akan menjadi negara ilusi. Pasalnya, kolonial Israel telah memenangi ‘pertempuran’ di semua front–militer, ekonomi, dan politik–atas panduan ‘hukum rimba’ realisme politik global dan pemihakan dunia Barat.

Amerika Perkumpulan (AS) setia berdiri di belakang Israel tanpa syarat. Negara-negara Eropa bersikap ambivalen. Di satu sisi mengecam kebijakan politik apartheid Israel, di sisi lain menoleransi perampasan tanah, aneksasi, dan segala bentuk penindasan kolonial Israel terhadap bangsa Palestina. Sementara PBB tidak berdaya di hadapan Israel. Lusinan resolusi Dewan Keamanan (DK) lembaga multilateral ini tidak digubris Israel.

 

Peran sentimen primordial

Di atas semua realitas politik yang berpihak pada kolonial Israel, janji Tuhan dalam kitab suci dijadikan dalil dan dalih untuk menduduki tanah Palestina. Sungguh absurd, eksistensi sebuah negara bangsa modern ditentukan oleh janji primordial ribuan tahun silam.

Cek Artikel:  Meloncatan Pendapatan dan Re-Industrialisasi Desa

Sejak pencaplokan Palestina lebih dari 70 tahun lalu, kaum Yahudi di tanah pendudukan tetap bersatu di balik keyakinan bahwa Palestina adalah tanah air mereka (Pew Research Center, berbagai tahun). Dan, berdasarkan survei American Jewish Committee (AJC) 2019, mayoritas mutlak (82%) orang Yahudi Israel memandang hidup di Israel [tanah Palestina] bagian penting dari identitas Yahudi. Menjadi Yahudi dilihat sebagai identitas agama, etnik, dan budaya sekaligus.

Lebih jauh, seperti ditulis Gideon Levy, kolomnis Haaretz (16 Mei 2021), “Kagak ada hal yang disepakati semua [kebanyakan] orang Yahudi Israel, terlepas dari spektrum ideologi politik, melebihi daripada dilancarkannya perang terhadap Palestina.”

 

Keyakinan primordial atas janji Tuhan juga menjadi panduan bagi sebagian besar Yahudi dan non-Yahudi di luar tanah Palestina. Di AS, misalnya, dari sejumlah survei lintas tahun oleh Gallup dan AJC, terungkap sebagian besar–antara 60% dan 95% –Yahudi Amerika memiliki keterikatan emosional dengan Zionis Israel atau pro eksistensinya di tanah Palestina. Terdapatpun 70% kalangan Evangelis kulit putih di ‘Negeri Om Sam’ itu menyakini Palestina adalah tanah yang dinjanjikan Tuhan kepada kaum Yahudi (Pew Research Center, 2022).

Tak kurang, seorang Jimmy Carter yang sangat kritis terhadap kebijakan apartheid kolonial Israel meyakini janji primordial ihwal hak bangsa Yahudi untuk kembali ke tanah yang dijanjikan. Dus, Presiden ke-39 AS ini memiliki komitmen kuat untuk menjaga keamanan dan eksistensi Israel di Palestina seperti yang ditulisnya dalam buku We Can Have Peace in the Holy Land: A Plan that Will Work (2009).

Cek Artikel:  Bansos, Presiden, dan Memilih Presiden 2024

Memang, kolonial Israel mendirikan negara agama di wilayah Palestina. Seperti diuraikan Reza Aslan dari Universitas California dalam bukunnya yang tersohor, No god but God (2005, 2011), bahwa Israel merupakan sebuah negara yang didirikan di atas kerangka moral Yahudi yang eksklusif, yang menawarkan kewarganegaraan langsung kepada semua orang Yahudi di seluruh dunia, memberi mereka sejumlah keuntungan materi dan hak istimewa atas warga non-Yahudi.

Yang sangat tragis, janji primordial atas eksistensi Israel di Palestina menjadi pegangan bagi sebagian kelompok yang lekat dengan sentimen sektarian di Indonesia. Berkualitas terbuka maupun sembunyi-sembunyi, mereka mendukung pendudukan ilegal Israel di Palestina.

Sikap pro terhadap kolonial Israel tidak saja kontraproduktif terhadap koeksistensi umat beragama di Tanah Air, tetapi juga bertentangan dengan kebijakan negara yang hingga kini tidak menjalin hubungan diplomatik dengan kolonial Israel.

Yang sangat prinsipil, dukungan terhadap kolonial Israel mengkhianati nilai kemanusiaan universal dan amanat pembukaan UUD45, pijakan moral bangsa Indonesia untuk menolak segala bentuk penindasan di atas muka bumi.

Dengan spirit agama, substansi demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan, yang menjadi stimulus utama Pancasila, mestinya bangsa Indonesia berdiri bersama orang-orang yang tertindas, terlepas dari suku, agama, warna kulit, kebangsaan, ideologi, dan lintas negara.

Terakhir, perlu digarisbawahi, kendati perampasan tanah Palestina oleh kolonial Israel berlatar primordialisme serta sejarah dan politik, perlawanan bangsa Palestina dan semua pihak yang antipenindasan harus mengedepankan imperatif kemanusiaan dan keadilan, bukan sentimen sektarian.

Mungkin Anda Menyukai