Cemas Jatah Beras

RAK-RAK khusus beras di sejumlah toko di Jakarta dan sekitarnya hampir kosong. Sejumlah toko pun membatasi konsumen hanya boleh membeli beras 10 kilogram dalam sehari. Selain langka, harga pangan mayoritas rakyat Indonesia itu pun terus membubung. Restriksi dilakukan agar konsumen beras mendapat jatah merata.

Jangan salah, itu bukan situasi tahun 1960-an saat kelangkaan pangan melanda negeri ini. Laporan di atas ialah fakta hari ini, atau enam dekade kemudian, saat negeri yang dikenal sebagai lumbung padi ini dipukul limbung oleh kelangkaan beras dan mahalnya harga pangan pokok.

Di sejumlah ritel modern, rak-rak khusus beras premium yang biasanya penuh dengan berbagai jenis beras, saat ini hanya terlihat satu jenis beras premium. Stok beras di rak juga banyak yang mulai kosong. Petugas toko mengatakan akhir-akhir ini stok beras sedang kosong. Dia bilang sudah sekitar dua pekan beras susah didapat. Enggak ada jalan lain, penjatahan pun dilakukan.

Harga beras sudah naik lebih dari 30% dalam dua bulan terakhir, dari sekitar Rp12 ribu per kg menjadi hampir Rp15 ribu per kg. Persediaan beras di gudang-gudang Bulog terus menipis. Pada saat bersamaan, pasokan beras dalam negeri dan beras dari luar negeri juga amat minim.

Cek Artikel:  Etika yang kian Lenggang

Di dalam negeri, sejumlah petani gagal panen karena bencana kekeringan. Di luar negeri, sejumlah negara pemasok beras utama dunia juga menyetop atau mengurangi keran ekspor. India, salah satu pemasok beras terbesar di dunia, menyetop ekspor beras nonbasmati ke seluruh dunia demi mengamankan pasokan dalam negeri mereka. Thailand dan Vietnam mulai mengurangi pasokan juga.

Badan Pusat Tetaptik (BPS), saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi tahun 2023, sudah memprediksi akan terjadi defisit beras di dalam negeri. Jumlah kekurangan itu sebanyak 0,09 juta ton di September dan 0,27 juta ton pada Oktober. Mengkhawatirkan bukan? Apalagi, beras itu urusan perut, hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Produksi beras di dalam negeri diperkirakan hanya sebanyak 2,46 juta dan 2,28 juta ton. Padahal, konsumsi beras diperkirakan 2,55 juta ton per bulan. Dalam beberapa bulan ke depan hingga awal 2024, BPS memprediksi produksi beras akan memasuki level terendah jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.

Situasi ini sebenarnya bukan sesuatu yang tiba-tiba. Gejalanya sudah diwanti-wanti jauh-jauh hari, bahkan hampir setahun yang lalu. Karena itu, kata teman saya, menuding El Nino dan seretnya setok beras global sebagai kambing hitam sejatinya bentuk ngeles atas ketidakmampuan mengatasi keadaan.

Cek Artikel:  Demokrasi tanpa Kontestasi

Situasi mundur 60 tahun ke masa lampau ini, tukas sang teman, ialah cermin kegagalan menyiapkan perencanaan. “Jangan-jangan, memang tidak ada antisipasi dan mitigasi? Sepertinya business as usual,” tandas sang teman yang kerap meneliti soal pangan rakyat ini.

Saya sepakat dengan analisis itu. Dalam pandangan saya, ada orkestrasi yang tidak mulus dari para pemangku kebijakan bidang pangan. Kondisi ini diperparah oleh data perberasan yang tidak kunjung bisa disatukan.

Bila situasi sudah terdesak, yang ada justru anjuran-anjuran aneh dari pejabat ihwal pentingnya diversifikasi pangan, mendesakkan substitusi pangan. Rakyat yang menuntut pemerintah menyediakan beras dalam jumlah cukup dan dengan harga terjangkau, eh, malah dijawab dengan anjuran mengganti konsumsi beras dengan jagung, ketela, ubi, sagu, sukun, sorgum, kentang, talas alias keladi, dan lain sebagainya.

“Makanan-makanan tersebut sehat dan mengandung karbohidrat yang baik untuk kesehatan. Masyarakat di area perkotaan pun telah banyak yang beralih pada makanan nonberas untuk menghindari gula yang berlebihan,” Mendagri Tito Karnavian menyarankan.

Cek Artikel:  Resah Gongahwah

Enggak semua pernyataan Tito keliru, tetapi menyarankan mengganti beras dengan sukun saat rakyat betul-betul membutuhkan beras saat ini seperti petugas apotek memberi obat panu kepada pasien yang butuh obat sakit kepala.

Saya menjadi ingat ceramah KH Zainuddin MZ yang pernah mengkritik pejabat yang sering menjawab kebutuhan masyarakat dengan anjuran-anjuran aneh. Kata ‘Dai Sejuta Umat’ itu, “Ketika harga cabe mahal, rakyat disuruh nanam cabe. Ketika harga beras mahal, rakyat diminta nanam padi. Nanti bila harga telur mahal, masa iya rakyat dianjurkan bertelur?”

Rakyat sedang risau. Kondisi saat ini, walau tidak sama persis, hampir mirip dengan situasi di tahun ’60-an. Semoga saja, respons negara tidak mereplikasi suasana 60 tahun lalu.

Ketika itu, di tengah kepiluan rakyat akibat kelangkaan pangan, di Istana, suasana tetap gembira ria. Bung Karno masih suka mendendangkan lagu Mari Bersuka Ria yang dinyanyikan dengan musik irama Lenso bersama penyanyi top saat itu, yakni Bing Slamet, Nien Lesmana, dan Rita Zahara:

‘Ayo Bergembira.

Siapa bilang bapak dari Blitar

Bapak kita dari Prambanan

Siapa bilang rakyat kita lapar

Indonesa banyak makanan

Mari bergembira… bergembira bersama…’.

Mungkin Anda Menyukai