Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan, Apa yang Diharapkan

Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan, Apa yang Diharapkan?
Ilustrasi MI(MI/Seno)

SEJAK beberapa tahun terakhir ini, kita sering mendengar keluhan dari pemerintah maupun kalangan masyarakat bahwa Indonesia masih kekurangan banyak dokter termasuk dokter spesialis.

Dari data yang ada, memang masih banyak daerah kekurangan berbagai jenis dokter spesialis, terutama di luar Nusa Jawa dan Indonesia bagian timur. Ketika ini, menurut data yang tercatat di Konsil Penyamaranteran Indonesia (KKI), jumlah dokter di Indonesia sebanyak 221.227, yang terdiri atas 51.545 dokter spesialis dan 169.681 dokter (umum).

Kepada kebutuhan dokter spesialis yang ideal, menurut Bappenas, ialah 0,28 per 1.000 penduduk. Itu berarti dengan penduduk 275 juta jiwa, kita memerlukan sebanyak 77 ribu  dokter spesialis. Lagi ada kekurangan sekitar 24 ribu dokter spesialis dari 36 jenis spesialisasi yang ada. Dengan sistem pendidikan spesialis seperti sekarang ini perlu waktu puluhan tahun untuk memenuhi kekurangan spesialis di berbagai daerah di Tanah Air.

 

Kurangnya kapasitas penerimaan

Kekurangan berbagai jenis dokter spesialis yang terjadi selama ini disebabkan kurangnya jumlah lulusan sebagai akibat keterbatasan kuota penerimaan di tiap pusat pendidikan. Hal itu terkait dengan aturan rasio antara mahasiswa dan tenga pengajar (dosen).

UU No 20 Mengertin 2013 tentang Pendidikan Penyamaranteran (saat ini telah dicabut) dan peraturan Menristekdikti menetapkan rasio antara jumlah staf pengajar dan jumlah peserta didik 1: 3. Bila jumlah staf pengajar di suatu fakultas kedokteran masih kurang, kuota penerimaan peserta program spesialis baru pasti akan kurang (Kompas, 20 Desember 2022).

Cek Artikel:  Pilpres 2024 Selesai, Semoga tidak Seperti Firaun

Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem baru dalam pendidikan spesialis yang memungkinkan untuk dapat menerima lebih banyak peserta didik. Dengan begitu, diharapkan produksi dokter spesialis akan bertambah.

Sebagai contoh, untuk jumlah spesialis anak (SpA) yang ideal seperti di negara maju, kita masih perlu lebih dari 20 ribu dokter SpA. Sementara itu, setiap tahun hanya ada sekitar 300-400 SpA yang dihasilkan oleh 15 institusi pendidikan (fakultas kedokteran) di seluruh Indonesia. Itu artinya perlu waktu puluhan tahun untuk mencapai jumlah SpA yang ideal untuk anak Indonesia. 

Kepada spesialis obstetri ginekologi (SpOG) diperlukan 7.200 SpOG untuk melayani 120 juta penduduk pasangan usia subur (18-37 tahun). Eksispun saat ini baru tersedia sekitar 4.800 SpOG. Demikian pula kekurangan terjadi di beberapa jenis spesialisasi yang lain, seperti spesialis penyakit dalam, spesialis bedah, dan spesialis jantung.

 

Eksis secercah harapan

Lahirnya UU No 17/2023 tentang Kesehatan belum lama ini, yang disusun dengan metode omnibus law, walaupun menimbulkan pro dan kontra, memberikan secercah harapan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di negeri ini. 

Rencana ditetapkannya beberapa rumah sakit (RS) pendidikan sebagai penyelenggara utama pendidikan spesialis/subspesialis, diharapkan akan meningkatkan kapasitas jumlah penerimaan peserta pendidikan yang akhirnya akan meningkatkan jumlah lulusan spesialis .

Cek Artikel:  Regresi Judicial Leadership MK

Salah satu pasal dalam UU No 17/2023 tentang Kesehatan (Pasal 187 ayat 4) berbunyi ‘Rumah sakit pendidikan dapat menyelenggarakan program spesialis/subspesialis sebagai penyelenggara utama pendidikan dengan tetap bekerja sama dengan perguruan tinggi’.

Hal itu berarti akan terdapat penambahan institusi penyelenggara pendidikan program spesialis selain dari jalur universitas, yakni melalui RS yang memenuhi standar dan persyaratan. Dengan demikian, kuota penerimaan peserta didik secara nasional akan meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah lulusan dokter spesialis.

Kendati demikian, dalam menetapkan RS menjadi RS pendidikan utama sebagai penyelenggara utama pendidikan spesialis, pemerintah hendaknya jangan tergesa-gesa. Segala sesuatunya harus disiapkan secara cermat dan matang.  Setidaknya ada dua hal penting yang harus menjadi perhatian.

Pertama, tersedianya tenaga pengajar yang cukup dan kompeten dengan kualifikasi subspesialis (konsultan) yang jumlahnya berbeda-beda untuk tiap-tiap jenis spesialisasi. Peran kolegium sebagai pengampu ilmu pada tiap-tiap spesialisasi mutlak diperlukan untuk membimbing dan sekaligus ikut mengawasi jalannya pendidikan.

Kedua, tersedianya peralatan dan fasilitas yang lengkap sehingga proses pendidikan dan pelatihan dapat dijalankan dengan baik. Selain itu, faktor pembiayaan untuk peserta program pendidikan spesialis, yang rencananya akan diberikan oleh pemerintah sebagai salary serta bebas dari biaya pendidikan, hendaknya benar-benar terencana dengan baik. Karena sesungguhnya peserta pendidikan program spesialis/subspesialis bekerja sambil belajar di RS.

Cek Artikel:  Sistem Pemilu Separuh Hati

 

Perlu dipersiapkan dengan baik

Persyaratan kualifikasi serta kecukupan tenaga pengajar/dosen akan menjadi faktor yang krusial dan memerlukan perhatian khusus serta cermat, karena pada akhirnya akan terkait dengan mutu/kualitas lulusan.

Kita tidak ingin nantinya ada dokter spesialis yang sama, tetapi mempunyai tingkat kompetensi berbeda-beda, yang tentu akhirnya akan merugikan masyarakat. Kepada itu, sejatinya kerja sama RS dengan universitas yang selama ini telah melaksanakan pendidikan spesialis harus terjalin baik.

Karena itu, tidak perlu lagi membuat dikotomi antara sistem pendidikan berbasis RS (hospital based/college based) dan sistem pendidikan berbasis universitas (university based), karena yang digunakan ialah standar pendidikan dan standar kompetensi yang sama.

Akhirnya, lahirnya regulasi baru tentang proses pendidikan spesialis/spesialis yang terkandung dalam UU No 17/2023 tentang Kesehatan memang memberikan secercah harapan agar ada solusi untuk pemenuhan kebutuhan dokter spesialis/subspesialis di berbagai daerah.

Tetapi, bila tidak dijalankan dan dikoordinasikan dengan baik bersama semua pemangku kepentingan (pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi profesi, dan kolegium), dikhawatirkan justru akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari, yang tentu saja tidak kita harapkan. Semoga.

Mungkin Anda Menyukai