Putusan MK, Gibran, dan Suul Khatimah Politik Jokowi

Putusan MK, Gibran, dan Suul Khatimah Politik Jokowi
M Mahfuz Abdullah(Dok pribadi)

BAGAIMANAPUN, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan mengabulkan sebagian gugatan terhadap pasal 169 huruf q UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret, Almas Tsaqibbirru.  

‘Bocah’ pengagum Gibran Rakabuming Raka itu ‘menang banyak’ dan menggoncang jagad politik Tanah Air. Karena berhasil bermain di atas ombak kepentingan keluarga Joko Widodo. Kagak banyak yang tahu, Almas Tsaqibbirru adalah anak dari Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, yang juga teman dekat Joko Widodo.

Apa kepentingan dan hak politik yang menjadi legal standingnya memajukan gugatan tidak perlu kita bahas. Dalihnya sederhana. Karena Almas Tsaqibbirru tidak terdengar berjuang untuk kepentingan sendiri, maju sebagai capres atau cawapres. Jangankan untuk dirinya, untuk ayahnya pun tidak pernah kita dengar.

Apalagi, gugatan itu sempat ditarik. Kemudian diajukan lagi yang diantar langsung oleh seorang lelaki berbadan tegap. Pada saat hari libur pula. Siapa sosok berbadan tegap ini? Yang jelas bukan Almas Tsaqibbirru, atau Boyamin Saiman.

Jadi, kita hanya bisa menduga bahwa kepentingan politiknya hanya titipan. Lampau dibungkus dengan bahasa yang halus agar tokoh muda yang dikaguminya, Gibran Rakabuming Raka, bisa ikutan dalam kontestasi politik 2024.

Tentu itu boleh-boleh saja. Secara politik sah. Tengah pula, mumpung bapaknya Gibran masih jadi presiden. Kalau bapaknya sudah jadi rakyat biasa, jangankan maju jadi capres atau cawapres, maju jadi calon Gubernur Jateng atau Gubernur DKI Jakarta bisa jadi akan sangat sulit.

Cek Artikel:  Merawat Pendidikan Menjaga Bangsa

Sayangnya, Putusan MK terhadap gugatan itu sudah bisa ditebak. Bahkan, media Tempo sudah membagikan informasi hasil putusan ini melalui podcast Bocor Alus. Seluruh bocoran politik sama persis kejadiannya dengan fakta yang terjadi di persidangan MK.

Bagaimanapun, putusan MK itu akan memantik banyak hal. Suka atau tidak, salah atau benar, tetaplah menjadi hukum baru. Definisinya, dengan putusan MK itu, jalan Gibran menjadi cawapres sangat mulus. KPU juga sudah melakukan revisi segala peraturan agar bisa sejalan dengan Putusan MK.

Sayangnya, kadar kegilaan Prabowo Subianto ternyata biasa-biasa saja. Cukup menjadikan Gibran sebagai bakal calon wakil presiden. Sesungguhnya, saya berharap kegilaan Prabowo berada di atas rata-rata. Umpamanya, ia cukup menjadi calon wakil presiden dan Gibran sebagai calon presiden.

Memaknai ucapan

Bagaimanapun, Presiden Joko Widodo yang seperti biasa mengaku tidak terlibat dan tidak tahu menahu atau tidak melakukan intervensi terhadap proses hukum di MK. Jokowi juga menyatakan tidak terlibat dari langkah-langkah politik Gibran. “Sebagai orang tua, hanya memberi restu kepada anak-anak,” ujar Jokowi.

Tapi, seperti biasa, setiap ucapan Jokowi tidak bisa dibaca sebagai cermin yang memantulkan gambar tanpa kecacatan. Apa yang diucapkan Jokowi selalu harus dimaknai sebaliknya. Karena tidak ada ucapan Jokowi yang bisa ditelan mentah-mentah. Maka dari itu, mari kita urai perkembangan politik akhir-akhir ini dan mencari tahu apa maknanya dalam pembangunan demokrasi Indonesia, pascapilpres 2024.

Baguslah. Saya mulai langkah politik Jokowi secara keseluruhan sebagai bentuk perlawanan total terhadap Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan secara umum. Betapa tidak, dalam politik kita tidak bisa membaca segala hal yang mencuat ke permukaan adalah hal parsial, yang berdiri sendiri. Kagak ada partikel terpisah dan skenario utama. Kagak ada bunyi yang liar dan tak terkendali dari orkestrasi. Sementara Jokowi adalah konduktornya.

Cek Artikel:  Maksud Kemenangan Prabowo Subianto dan Vladimir Putin

Lihatlah Kaesang Pangarep yang langsung menjadi Ketua Lazim Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Dalih Kaesang sudah memiliki kartu keluarga (KK) sendiri sehingga bebas melakukan kegiatan politik adalah logika dangkal, tanpa etika yang disampaikan ke publik. Kita harus membacanya, dia tak akan pernah lepas dari Jokowi sebagai ayahnya.

Coraknya, tes ombak masuknya Kaesang ke PSI tidak berpengaruh pada posisi Jokowi di mata publik. Kagak ada reaksi berlebihan dari elite PDI Perjuangan yang menekan keluarga Jokowi. Itu tentu berbeda dengan reaksi PDI Perjuangan kepada Gubernur Maluku Utara, Murad Ismail, yang dianggap tidak bisa mendisiplinkan istrinya, Widya Pratiwi Murad Ismail. Widya berpolitik melalui Partai Terjaminat Nasional (PAN).

Langkah PDIP

Kagak bereaksinya elite PDIP ini harus dimaknai sebagai kesabaran tingkat dewa. Bukan karena PDIP takut kehilangan kursi menteri di Kabinet Indonesia Maju (KIM) di pemerintahan Joko Widodo. Kesabaran yang bermakna bahwa PDI Perjuangan sangat dewasa dalam berpolitik, sehingga sangat cermat dalam mengambil langkah-langkah politik. Apalagi menjelang pemilu dan Pilpres 2024.

Tapi apakah reaksi PDI Perjuangan akan sama ketika Gibran resmi menjadi cawapres Prabowo? Ini akan menarik kita cermati setelah pendaftaran pasangan ini di KPU. Pendaftaran itu menjadi bukti nyata Jokowi berada di pihak yang secara politik berseberangan dengan PDI Perjuangan.

Cek Artikel:  Hijau Bumi Tanah Tempat Berpijak

Ini maknanya jauh berbeda jika Prabowo tidak berpasangan dengan Gibran. Kemudian Jokowi menyatakan bersikap netral saja dan tidak memihak ke pasangan manapun.

Apakah PDI Perjuangan akan mengambil langkah menarik dukungan? Atau bahkan secara terang-terangan berhadapan dengan Jokowi, sebagaimana para influencer atau buzzer yang dulu menjadi die harder Jokowi, kini secara terang-terangan menyerang balik.

Maka langkah paling dramatis yang paling kita nantikan adalah sikap berhadapan secara terbuka yang diperlihatkan PDI Perjuangan. Misalnya, dengan menarik semua kader mereka dari kabinet. Definisinya, PDI Perjuangan akan menjadi oposisi dari pemerintah yang mereka bangun dan asuh selama ini.

Dengkit saya, PDI Perjuangan akan mengambil sikap.  Kagak mungkin berada dalam perahu yang dikendalikan oleh orang yang dianggap sebagai ‘Malin Kundang’.

Bagi PDI Perjuangan, berada di kabinet pemerintah yang sudah jelas berseberangan adalah penghinaan secara mutlak. Bagi PDI Perjuangan, berada di kabinet pemerintah yang secara gamblang melawan kebijakan partai, adalah penghinaan yang paling nista.

Apabila langkah ini dilakukan PDI Perjuangan, boleh jadi kita maknai lonceng perlawanan panjang partai banteng moncong putih. Yang artinya, bisa bermakna suul khatimah yang tidak saja untuk pemerintah, tetapi juga bagi Joko Widodo dan keluarga di pentas politik Tanah Air. Kita nantikan saja lanjutan drama ini.

Mungkin Anda Menyukai