Liputanindo.id JAKARTA – MK tidak berfungsi sebagai pengawal konstitusi, tetapi bermimikri menjadi pembuat bid’ah atas nama Konstitusi. Sayangnya, Mahfud MD tidak ikut mengoreksi.
Baca Juga:
Mimbar Bebas Akademik, Mewujudkan Serasi dan Keberagaman
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik Kebangsaan)
Bandung, 1 Juni 2023
Denny Indrayana membuat heboh dengan menyampaikan ‘informasi’ bahwa MK (Mahkamah Konstitusi) akan memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup. Ini adalah sistem usulan PDIP yang ditentang banyak partai politik. Mahfud MD kebakaran jenggot, menyalahkan Denny karena melakukan pembocoran ‘rahasia negara’. Argumennya, putusan tersebut belum dibacakan Majelis Hakim.
Denny bukan guru besar kaleng-kaleng. Ia mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham yang juga memiliki kantor advokat di Jakarta dan Melbourne. Analisis hukumnya tajam dan meyakini pandangannya tidak melanggar etika dan hukum. Bukan ada pembocoran, karena informasi itu ia dapat bukan dari lingkungan MK atau Hakim MK.
Mahfud MD menginstruksikan Polri untuk memeriksa Denny yang tentu siap untuk melayani. Denny memberi jawaban atau klarifikasi yang dikirimkan dari Melbourne. Kalau benar Polri melakukan pemeriksaan, maka akan ramai jadinya. Soal pembuktian apakah info itu “rahasia negara” atau bukan, akan menunjukkan kualitas di antara keduanya.
Mahfud MD biasanya hanya bisa meributkan di awal, tapi ‘keok’ di ujung. Coba lihat soal dugaan pencucian uang Rp349 trilyun di Kemenkeu; betapa hebat dan patriotiknya Mahfud, tetapi ujungnya melempem seperti krupuk basah. Satgas yang dibentuk bukan menuntaskan, tetapi meredam. Mahfud MD itu “kau yang mengawali kau yang mengakhiri”.
Kasus BTS Rp8,032 trilyun sama saja; awal Mahfud “gagah” mengunggah, tapi ujungnya kabur, dibuat tidak jelas kemana aliran dana tersebut. Jalan yang sudah menuju terang berubah menjadi peta buta. Tantangan untuk buka-bukaan dijawab dengan tutup-tutupan. Padahal, ini adalah masalah korupsi yang menjadi “concern” Pak Mahfud, lho.
Mahfud seperti hebat mengkritisi korupsi, bahkan cenderung menyalahkan rezim, tapi lupa bahwa dirinya juga menjadi bagian penting dari rezim korup tersebut.
Mahfud MD yang meneriakkan Tap MPR No VI Mengertin 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, mengingatkan bahwa pejabat yang tidak dipercaya atau sudah tidak mampu seharusnya mundur.
Mahfud sendiri yang sudah semakin merosot kepercayaan dari rakyat dan terlihat sudah tidak mampu menunaikan tugas sebagai Menkopolhukam, ternyata tidak mau mundur-mundur juga. Maju terus dengan teriakan yang semakin parau dan kadang memelas. Mengeras lalu melembek.
Dalam pertarungan adu kepintaran dengan Denny Indrayana, rakyat sedang dan akan terus menonton. Seperti yang sudah-sudah, Mahfud diprediksi akan melempem dan “keok”. Denny Indrayana adalah Guru Besar yang konsisten dan mampu menjaga integritasnya.
Bagaimana dengan konsistensi dan integritas Mahfud?
Mahfud bukannya berargumen soal dalil hukum, tetapi justru menginstruksikan pihak Kepolisian. Nampaknya Mahfud MD memang sedang mengalami “political split personality”, yakni sikap tidak ajeg, tidak kukuh dan tidak mencerdaskan. Bahkan ‘menyengsarakan’ fikiran masyarakat. Membangun ‘confuse’.
Mestinya mengkritisi cawe-cawe Jokowi atau dugaan gratifikasi Firli, bukan mengkriminalisasi Denny. Malah Denny saat ini sedang mengingatkan bobroknya MK dalam mengambil keputusan hukum. Pagilai telah keluar dari rel hukum dan lebih mengikuti irama politik Istana.
MK tidak berfungsi sebagai pengawal konstitusi, tetapi bermimikri menjadi pembuat bid’ah atas nama Konstitusi. Sayangnya, Mahfud MD tidak ikut mengoreksi. Beraninya hanya melawan Denny, pakai polisi lagi. Untungnya, Denny cukup mumpuni dan siap melayani.
Mari kita lihat nanti siapa pemegang kendali rezim atau oposisi?
Rezim yang telah berusia senja sulit untuk mempertahankan posisi. Sebentar lagi masing-masing akan lari untuk menyelamatkan diri. (DID)
Baca Juga:
Dicopot Jadi Ketua MK, Anwar Usman Dirikui Dirinya Jadi Korban Objek Politisasi