Menguji Keampuhan Sumpah Pemuda

Menguji Keampuhan Sumpah Pemuda
Syaiful Arif Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila, Kader Muda NU(Dok. Pribadi)

SUMPAH Pemuda yang kita peringati setiap 28 Oktober sebenarnya merupakan pengingat: apakah kita masih menjadikan kebangsaan sebagai prinsip utama bernegara? Pengingat itu penting sebab di tengah pergulatan kekuasaan, etos kebangsaan bisa saja sirna.

Hal itu sekaligus menandaskan bahwa kebangsaan akan efektif dalam melawan musuh dari luar, yakni penjajahan. Akan tetapi, ia segera pudar ketika berhadapan dengan diri sendiri, yakni nafsu untuk berkuasa.

Tentu kita selalu ingat ‘mantra sakti’ dari Sumpah Pemuda. Para pemuda yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) pada 27-28 Oktober 1928 tersebut mengikrarkan sumpah sakti: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa persatuan bersumbu keindonesiaan. Ikrar itu merupakan penanda bagi terbentuknya visi nasionalisme modern yang tidak dibangun identitas suku, wilayah, dan agama, tetapi oleh kehendak menjadi bangsa.

Pada dekade 1920, gerakan nasional kita memang mulai tumbuh. Di kalangan muslim, gerakan nasionalisme Islam justru lahir dari kalangan tradisional, yakni pesantren. Misalnya, gerakan pendidikan kebangsaan bernuansa Islam yang dibangun Kiai Wahab Hasbullah melalui Sekolah Kebangsaan (Nahdlatul Wathon). Gerakan pendidikan itu mengenalkan nasionalisme di kalangan santri, perspektif Islam.

Hal serupa dikembangkan kaum sosialis muslim melalui Sarekat Islam (1912). Sebagai pusat pergerakan nasional, Sarekat Islam menjadi tempat bertemunya aktivis lintas ideologi, sejak kiri sekuler hingga kiri Islam.

Berbagai gerakan tersebut mencerminkan nasionalisme karena melakukan pertemuan di tengah perbedaan. Beberapa ideologi besar, seperti nasionalisme, Islamisme, dan sosialisme saling menyatu di bawah semangat antipenjajahan. Titik temu ideologi itulah, yang menemukan momentumnya dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai penegasan nasionalisme Indonesia modern.

Sudah tepat ketika Soekarno dalam usulan awalnya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945 menempatkan kebangsaan sebagai nilai utama dari dasar negara. Terdapat tiga ciri bangsa menurut Sang Penggali ini. Pertama, bangsa terbentuk oleh kesatuan nasib yang membentuk kesatuan karakter. Penjajahan telah membentuk kesatuan nasib itu yang membentuk karakter bangsa Indonesia.

Cek Artikel:  Jadi Mantan Presiden, Lezat

Kedua, bangsa terbentuk oleh kehendak untuk menjadi bangsa. Dengan demikian, kita menjadi bangsa bukan karena unit keragaman, melainkan karena kehendak menyatukan keragaman. Pada titik itulah persatuan nasional menjadi kunci. Itulah mengapa para pendiri bangsa meredaksikan nilai kebangsaan dalam Pancasila dengan kalimat: Persatuan Indonesia. Ketiga, bangsa terbentuk oleh kesatuan geopolitik.

Sumpah Pemuda menggambarkan pembentukan bangsa berdasarkan visi kebangsaan. Dalam pembentukan itu, para pemuda lintas suku, wilayah dan agama dengan sadar menaikkan diri dari perbedaan kelompok, menuju nasionalitas yang baru. Pada momen Sumpah Pemuda, kebangsaan menjadi ideologi yang ampuh demi satu cita-cita: merdeka dari penjajahan!

 

Pendirian negara

Keampuhan kebangsaan juga ditegaskan para pendiri bangsa dalam proses pendirian negara. Keampuhan itu terdapat dalam Pancasila yang disepakati sebagai dasar negara, sejak 1 Juni hingga 18 Agustus 1945. Bagaimanakah keampuhan Pancasila sebagai bentuk dari nasionalisme khas Indonesia?

Sebagaimana ikrar Sumpah Pemuda, Soekarno menawarkan Pancasila sebagai jembatan ideologis yang menyatukan Islamisme dan nasionalisme. Definisinya, persatuan suku, ras, dan agama yang berhasil terjadi pada Sumpah Pemuda 1928 dilanjutkan Soekarno dalam bentuk penyatuan ideologi pada proses pendirian negara. Proses penyatuan ideologi melalui Pancasila itu dilakukan melalui beberapa hal.

Pertama, menempatkan kebangsaan sebagai nilai utama dan pertama dari Pancasila. Itu berarti, dasar negara kita bukan agama, melainkan kebangsaan ‘plus’. Dengan menempatkan kebangsaan sebagai ‘urat tunggang’ Pancasila, Indonesia gagal menjadi negara agama, melainkan negara bangsa, satu untuk semua.

Soekarno menambahkan, kebangsaan kita bukan kebangsaan yang menjajah, melainkan kebangsaan yang membangun tata dunia manusiawi. Satu nilai yang dalam Pancasila diredaksikan menjadi sila ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’.

Kedua, memasukkan demokrasi sebagai bagian dari Pancasila sebab demokrasi ialah sistem politik yang menyalurkan aspirasi apa pun, termasuk aspirasi Islam. Dengan demikian, melalui demokrasi, Soekarno memberikan kesempatan bagi kelompok Islam agar bisa menetapkan hukum Islam dalam negara bangsa Pancasila, bukan negara Islam.

Cek Artikel:  Calon Presiden Keren

Atas demokrasi itu, Soekarno lalu menegaskan demokrasi kita bukan demokrasi politik, melainkan demokrasi sosial, yakni sistem dan praktik demokrasi yang memuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketiga, memasukkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa ke dalam Pancasila sehingga baik kelompok Islam maupun kebangsaan tetap bertuhan dalam praktik bernegara. Bagi kelompok Islam, sila ketuhanan tersebut dimaknai sebagai tauhid sehingga pada 18 Agustus 1945, selama 15 menit menjelang sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), mereka menerima sila Ketuhanan YME sebagai ganti dari sila Ketuhanan yang bersyariah Islam.

Berdasarkan ide-ide itu, Pancasila diterima baik oleh kelompok Islam ataupun kebangsaan. Mengapa? Karena pada satu sisi, Pancasila mewakili nilai kebangsaan ‘plus’ ketuhanan yang bersifat inklusif sebagaimana dicitakan kelompok kebangsaan. Pada saat bersamaan, Pancasila mewakili nilai kebangsaan berdasarkan tauhid yang diakui kelompok Islam.

Dalam proses pendirian negara, visi kebangsaan dalam bentuk Pancasila ampuh mengantarkan bangsa terjajah, menjadi negara merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri.

 

Diuji demokrasi

Pertanyaannya, masih ampuhkan visi kebangsaan yang berhasil dalam Sumpah Pemuda dan pendirian negara, di masa ketika Indonesia telah menjadi ajang pertarungan kekuasaan antaranak bangsa? Itulah pertanyaan yang relevan, terutama di tahun politik menjelang pemilihan presiden (pilpres) pada 2024.

Pertanyaan tersebut bisa didetailkan: ampuhkan kebangsaan dalam menyatukan anak negeri agar tidak terpecah akibat perbedaan politik? Tetapkah kita menjadikan kebangsaan sebagai visi dalam berdemokrasi? Pada titik itulah, visi kebangsaan yang ampuh di era perjuangan melawan penjajahan dan pendirian negara, kini diuji proses demokratisasi, ketika bangsa ini telah menikmati reformasi politik sejak 1998.

Persoalannya, kualitas demokrasi kita masih jauh dari ideal. Hal itu kita temukan dalam penilaian dunia internasional. Menurut Indeks Demokrasi Mendunia 2022 oleh Economist Intelligence Unit (EIU), demokrasi di Indonesia masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Pada 2022, skor demokrasi kita mencapai 6,71 dan menempatkan Indonesia di rangking ke-54. Rangking demokrasi Indonesia 2022 turun dari rangking ke-52 pada 2021.

Cek Artikel:  Makan Bergizi Gratis, From Farm to Plate

Cacatnya demokrasi Indonesia, menurut EIU, disebabkan banyak faktor. Sejak inkredibilitas pemerintahan hasil pemilu, kebebasan sipil yang masih terancam oleh intoleransi, hingga menguatnya oligarki. Pada titik itu, kualitas demokrasi kita telah menjauh dari visi kebangsaan Sumpah Pemuda dan pendirian negara. Mengapa demikian?

Pertama, meskipun politik identitas telah dilarang Pasal 280 ayat (1) UU No 7/2017 tentang Pemilihan Biasa yang melarang kampanye berbasis suku, agama, ras dan antargolongan. Akan tetapi, politik identitas akan tetap berkembang sebab hal tersebut bisa saja bersifat alamiah mengaliri identitas di masyarakat.

Dalam kaitan itulah, praktik demokrasi kita tidak boleh mencederai persatuan bangsa sebagaimana tecermin dalam kesatuan antara sila kerakyatan dan kebangsaan di dalam Pancasila.

Kedua, visi demokrasi Indonesia, yakni demokrasi berkeadilan sosial belum mampu terwujud dalam praktik demokrasi kita. Pada satu sisi, kualitas kebijakan publik yang dihasilkan, baik oleh legislatif maupun eksekutif, belum menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai nilai utama pembentukan kebijakan. Pada saat bersamaan, proses politik tidak mencerminkan kesetaraan politik, bahkan mengarah pada dinasti.

Pada titik itulah, visi kebangsaan Sumpah Pemuda dan pendirian negara diuji untuk kesekian kali. Berdasarkan sistem multipartai, masyarakat kini terbelah dalam kubu-kubu politik yang berbenturan. Padahal, sejak 1928, para pemuda telah meminggirkan ego kelompok demi persatuan nasional.

Dalam kerangka Pilpres 2024, kebangsaan kita ditantang, tidak hanya dalam keampuhannya untuk menyatukan bangsa, tetapi juga mewujudkan cita-cita utamanya. Itu karena sebagaimana ditegaskan pada pendiri bangsa, bahwa kebangsaan ialah jembatan emas bagi cita utama di seberang, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apabila Pilpres 2024 tidak mampu mewujudkan dua misi kebangsaan tersebut, pilpres kali ini tidak hanya akan memperlemah kualitas demokrasi, tetapi juga menjauhkan praktik bernegara dari tujuan utama pendiriannya.

Mungkin Anda Menyukai