Masyarakat Pesisir Berjuang untuk Mendapatkan Hak Hidup Mereka

Masyarakat Pesisir Berjuang untuk Mendapatkan Hak Hidup Mereka
(MI/Despian N)

KOALISI Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Humanis, Trend Asia, Bina Desa, YLBHI, PIKUL, WGII, JKPP, Indonesia for Mendunia Justice (IGJ), Greenpeace Indonesia, memperkuat advokasi dan solidaritas masyarakat pesisir Indonesia, serta keberlanjutan kelestarian ekosistem pesisir utama Indonesia dari segala kebijakan yang sewenang-wenang yang belakangan ini makin merajalela dari peraturan yang dikeluarkan di era pemerintah Presiden Joko Widodo.

Gerakan dukungan masyarakat pesisir oleh organisasi sipil akar rumput ini digaungkan dalam Temu Akbar Masyarakat Pesisir 2024 bertajuk Memperjuangkan Kebaharian Indonesia, yang berlangsung 8-10 Oktober 2024, di Jakarta. 

Temu Akbar ini dilakukan untuk berbagi pengalaman, menguatkan solidaritas, dan merumuskan langkah-langkah konkret untuk memperjuangkan hak masyarakat pesisir. Mereka juga menyoroti beberapa isu kritis pesisir, termasuk eksploitasi wilayah pesisir oleh industri ekstraktif, kriminalisasi nelayan kecil, dan ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Hal-hal tersebut erat kaitannya dalam memperjuangkan penegakan kedaulatan pangan, kedaulatan ruang, serta keadilan iklim.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengatakan bahwa pertemuan ini merupakan momentum menghadirkan kawan-kawan pesisir yang berjuang untuk mendapatkan ruang hidupnya. 

“Saya belajar di KIARA selama 13 tahun terakhir untuk hidup dengan keberanian karena ini satu-satunya modal kita hidup hari ini. KIARA tidak pernah berjanji atas nama apa pun dan setia berjuang untuk kawan-kawan. Ini bukan perjuangan KIARA sendiri tapi bersama dan milik kawan-kawan yang harus menjadi penguasa lautnya. Kita berakhir dalam kantung kemiskinan untuk mempertahankan ruang hidupnya. Poros maritim dunia hanya menciptakan kemiskinan. Saya percaya gerakan di kampung-kampung berjuang tanpa harus ada media. Saya yakin masih ada orang yang berdiri, berjuang dan menolak,” ungkapnya di Jakarta, Selasa (8/10).

“Selama ini, masyarakat pesisir telah berjuang sendiri menghadapi ketidakpastian. Melalui Temu Akbar ini, kami berharap bisa membangun kekuatan kolektif yang lebih besar dan mendesak pemerintah untuk lebih memikirkan keberlanjutan kelestarian ekosistem pesisir, dan juga keadilan bagi masyarakat pesisir. Kami juga menilai, justru dalam 10 tahun terakhir keputusan-keputusan rezim ini sering kali mengutamakan kepentingan investor, sementara hak-hak konstitusional masyarakat pesisir yang telah dijamin oleh MK No. 3 Mengertin 2010 diabaikan,” sambungnya.

Cek Artikel:  Lokbin dan Loksem UMKM Jakarta Barat Terlindungi Program BPJS Ketenagakerjaan

Putusan MK ini menegaskan bahwa masyarakat pesisir memiliki hak konstitusional dalam mengakses laut secara bebas, berhak mengelola wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan komunitasnya, masyarakat juga berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya laut dan pesisir, serta bisa menikmati perairan yang bersih dan sehat.

Di tempat yang sama, Peneliti Senior Agrarian Resources Center, Dianto Bachriadi menambahkan bahwa selama 70 tahun lebih Indonesia merdeka, tidak ada yang namanya kedaulatan kebaharian. 

“Kapal-kapal asing lalu lalang mengambil ikan minyak di bor habis. Masyarakat tersingkir. Itu tidak bisa dibayar dengan reforma agraria. Negara hadir untuk menggusur berbagai macam kesempatan kesejahteraan yang seharusnya dimiliki oleh rakyatnya. Negara telah mengabaikan hak masyarakat yang menggantungkan hidupnya di wilayah pesisir,” tegas pria yang akrab disapa Gepeng tersebut.

Lebih lanjut, menurutnya hak atas wilayah pesisir sebagian besar dianggap oleh pengelola negara sebagai wilayah tak bertuan. Orang-orang yang tinggal di situ dianggap hanya sementara. Negara juga dikatakan tidak pernah memberikan pengakuan, terlebih di wilayah perairan. 

“Ini terjadi karena kita punya konsep hak penguasaan negara yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan. kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Tapi sialnya masyarakat yang terkena imbasnya,” ujarnya.

Permasalahan hari ini menurutnya berada pada orang yang berkuasa sehingga tidak ada kedaulatan. “Kagak ada kemakmuran untuk rakyat seperti yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Reforma agraria saat ini tidak bisa menyelesaikan hal ini. Enggak ada program reforma agraria yang berjalan. Buat saya yang penting negara mengakui kedaulatan itu dan membuat kebijakan yang berbasis pada hak warga bukan membuat kebijakan yang mengizinkan investasi demi kepentingan ekonomi,” ucap Gepeng.

Cek Artikel:  Langkah Strategis HighScope Indonesia Bertransformasi Jadi Redea Institute

Di lain pihak, Staf Spesialis Menteri Kelautan dan Perikanan, Mohamad Abdi Suhufan menambahkan bahwa saat ini memang tidak bisa dipungkiri banyak program pemerintah yang memberikan dampak pada komunitas nelayan. Tetapi demikian, di pihak pemerintah tidak mudah untuk menyusun kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat pesisir.

“Rupanya di pemerintah tidak mudah. Eksis banyak spektrum dan kepentingan yang harus dikelola. Sehingga terkadang suara dari bawah kalah dibandingkan suara oligarki atau elit politik yang selama ini berhadap-hadapan dalam pengambilan keputusan,” ujar Abdi.

Dia juga menyoroti terkait dengan pengaplikasian Undang-Undang Nomor 7 Mengertin 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, khususnya mengenai asuransi nelayan. 

“Beberapa tahun lalu pemerintah ketika UU 7/2016 diputuskan tentang nelayan, ada dua Keppres untuk mengeksekusi asuransi nelayan. Tapi setelah covid-19 itu berhenti dan belum dilanjutkan lagi. Karena ada kepentingan penanganan covid-19. Ini sedang berusaha diaktifkan lagi karena kita punya penduduk miskin ekstrem di pesisir ada 210 ribu jiwa nelayan yang ada di pesisir dan akan dipertimbangkan untuk memiliki asuransi nelayan. Anggarannya tidak banyak berkisar Rp20 miliar sampai Rp25 miliar,” tuturnya.

Abdi merasa forum ini menjadi penting karena menuju pemerintah baru dan isu maritim dan laut perlu terus disuarakan. Paling tidak harapannya isu ini akan menjadi salah satu prioritas pembangunan yang penting ke depannya.

“Selain itu saya melihat Kementerian Kemaritiman sepertinya akan dihilangkan dari rencana portofolio Prabowo. Padahal ini menjadi harapan. Jadi konsistensinya perlu kita pertanyakan karena dari portofolio kabinet baru belum saya lihat keberpihakan dalam sektor maritim,” ucap Abdi.

Cek Artikel:  3000 Peserta Hadiri Festival Kekayaan Intelektual Bali

Kepala Badan Pengembangan dan Informasi (BPI), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Ivanovic Agusta menambahkan bahwa dalam UU 3/2024 tentang Desa memiliki pasal baru yaitu untuk wilayah konservasi darat, laut, hutan dan lain sebagainya.

“Selama ini kan tidak bisa membangun, tapi dengan revisi UU Desa ini dipastikan boleh membangun dan dibantu pendanaan, baik dari dana desa dan dana konservasi,” kata Ivan.

Dia juga merasa bahwa diskusi dalam forum seperti ini menjadi hal yang penting untuk dilakukan antara para pemangku kepentingan dengan masyarakat.

“Jadi diskusi bersama merupakan hal yang penting agar dapat memecahkan permasalahan. Memang masih banyak masalah tapi kalau kita tahu sebabnya kita bisa mencari solusinya,” jelasnya.

Sementara itu, Member DPR RI, Daniel Johan menekankan bahwa permasalahan kedaulatan bahari ini menjadi salah satu masukan yang penting dalam rangka penyempurnaan RUU Masyarakat Eksist. 

“Ini selalu gagal dan PKB menjadi terdepan untuk mengusung pengesahan RUU Masyarakat Eksist dan semoga bisa masuk bagian Prolegnas,” urai Daniel.

Dia mengatakan bahwa dirinya sangat membutuhkan masukan dari masyarakat pesisir termasuk dari KIARA untuk kita dapat memperjuangkan sektor bahari. 

“Apakah kehidupan bahari semakin baik atau tidak? Termasuk menyangkut kedaulatan bahari. Bagaimana respons terhadap penangkapan ikan terukur? Apakah sudah mengakomodir persoalan kedaulatan bahari? Masukan ini menjadi penting sebagai pembentukan kebijakan termasuk ekspor pasir. Ngomongnya sedimen tapi yang dijual pasir. Akibatnya bagi masyarakat nelayan akan seperti apa? Itu penting sehingga jangan sampai kebijakan ini merontokkan kehidupan masyarakat pesisir karena akan ada 7 titik yang hadir. Masukan itu akan menjadi sangat penting bagi kami di DPR RI,” pungkasnya. (S-1)

Mungkin Anda Menyukai