Cacar Monyet

Cacar Monyet
Adiyanto Informasiwan Media Indonesia(MI/Ebet)

DALAM sebulan terakhir merebak berita mengenai penyakit cacar monyet (monkeypox). Dalam konferensi pers secara daring, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan di Indonesia sampai 26 Oktober 2023 sudah 14 kasus terkonfirmasi, dua probable, dan sembilan suspek. Sebagian kasus yang terkonfirmasi itu, kata Maxi, ditemukan pada usia 25–29 tahun, sebanyak 64%, sedangkan sisanya pada umur 30–39 tahun. Ia menambahkan 14 orang yang terkonfi rmasi cacar monyet seluruhnya laki-laki dan penularan itu terjadi melalui kontak seksual.

Dalam menanggulangi kasus cacar monyet di Indonesia, Kemenkes telah melakukan sejumlah upaya dari melacak penemuan kasus aktif di seluruh fasilitas kesehatan, melakukan penyelidikan epidemiologi, penyiapan laboratorium rujukan dan vaksin, hingga pelaporan real time dan melapor ke Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).

Sejumlah langkah itu tentu saja tepat. Tetapi, menurut saya, hal yang tidak kalah krusial ialah mengomunikasikannya kepada publik bagaimana sebenarnya metode penularan penyakit itu, terutama terkait mekanisme penularannya. Misalnya, apakah kursi yang bekas diduduki si penderita atau pakaian yang digunakan pasien dapat menjadi perantara penularan virus tersebut? Hal-hal kecil semacam ini penting dijelaskan kepada masyarakat agar tidak menimbulkan stigma bagi kelompok rentan seperti kaum LGBT dan pekerja seksual seperti halnya saat merebaknya kasus HIV/AIDS dulu. Kita juga harus belajar dari kasus pademi covid-19 yang awalnya memunculkan kesimpangsiuran lantaran banyak pernyataan para ahli yang berubah-ubah terkait penularan penyakit yang disebabkan virus korona itu.

Cek Artikel:  Waktunya Memilih dengan Hati Nurani

Itu sebabnya selain memerangi virusnya, komunikasi di bidang kesehatan ini tidak kalah penting, terutama untuk memberantas informasi-informasi yang menyesatkan. Fenomena ini bukan hanya di Indonesia, melainkan juga terjadi hampir di seluruh negara, termasuk di negara maju sekalipun. Kita lihat bagaimana munculnya gerakan antimasker dan antivaksin ketika pandemi covid-19 melanda sehingga menghambat dan menyulitkan pemberantasan penyakit itu di sejumlah negara.

Sejauh ini, informasi mengenai reaksi masyarakat terhadap berita yang beredar tentang cacar monyet masih terbatas dan terutama merujuk pada wabah yang pernah terjadi sebelumnya di negara-negara sub-Absahara (Afrika). Studi pendahuluan mengenai reaksi paling populer di Twitter (sekarang X) terhadap wabah cacar monyet pada Mei 2022 yang dilakukan Ortiz-Martinez dkk dari Department of Internal Medicine, Universidad Industrial de Santander, Bucaramanga, Kolombia, menunjukkan sebagian besar utas diunggah oleh individu atau kelompok tidak jelas/kompeten (60%), diikuti oleh layanan  kesehatan/kesehatan masyarakat (32%), dan situs berita atau jurnalis (8%). Terkait topik, mayoritas (52%) memuat misinformasi dan informasi yang tidak dapat diverifikasi, sebanyak 20% berisi konten lucu/tidak serius dan hanya 28% yang memberikan informasi penting terkait cacar monyet.

Cek Artikel:  Menunggu Persembahan Terakhir Juergen Klopp

Saya tidak tahu bagaimana reaksi netizen di Indonesia terkait penyakit ini. Yang pasti, informasi yang benar dan akurat harus disampaikan ke publik sejelas-jelasnya. Ini tentu bukan semata menjadi tugas para epidemiolog atau pakar kesehatan, pers juga harus ikut berperan mengedukasi masyarakat dengan pemberitaan yang mencerdaskan, bukan malah menakut-nakuti. Misalnya, bagaimana cara mencegah dan mengobati dan lain sebagainya ketimbang heboh pada pertumbuhan jumlah kasus.

Belajar dari pandemi Covid-19 kemarin, masyarakat juga jangan mudah begitu saja percaya dengan berita-berita yang tidak jelas asal-usulnya di media sosial terkait penyakit ini. Maklum banyak ‘monyet iseng’ yang berkeliaran di dunia maya yang kerjaannya memang hanya membuat gaduh ruang publik, entah karena dibayar atau memang hobi dan tabiatnya seperti itu. “Ya, namanya juga ‘tenyom’,” begitu kalau istilah arek Malang. Waspadalah.

Cek Artikel:  Umur Mengalahkan Prestasi di PPDB, Adilkah

Mungkin Anda Menyukai