Tasyrih Kongres Bahasa Indonesia KBI XII

Tasyrih Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII
M.Abdul Khak, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Bahasa Kemendikbudristek.(Ist)

PELAKSANAAN KBI XII telah berakhir pada 28 Oktober 2023. Terdapat banyak pemikiran dan gagasan yang mengemuka. Sesuai dengan tema KBI, yaitu “Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Bangsa” dan tiga subtema, yaitu literasi, pelindungan bahasa daerah, dan internasionalisasi bahasa Indonesia, berikut ini akan saya tasyrih­kan gagasan yang terkait literasi dan pelindungan bahasa daerah. 

Literasi dalam Bingkai “Indonesia”

Kongres Bahasa Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini selalu dilaksanakan di bulan Oktober. Hal itu tidak lepas dari Oktober sebagai bulan lahirnya Sumpah Pemuda. Tiga butir Sumpah Pemuda merupakan kristalisasi pemikiran para pemuda yang terdidik, yang literat, yang lahir dari pergumulan pemikiran dan perjuangan yang panjang. Sumpah Pemuda diikrarkan setelah melalui fase-fase pembibitan lahirnya ideologi baru bernama “Indonesia”. 

Hakikatnya bangsa Indonesia tidak pernah dijajah, yang dijajah adalah beberapa kerajaan atau keraton yang ada di Nusantara karena Indonesia sebagai bangsa dan negara memang belum lahir. Para pemuda Nusantara yang terdidik pendidikan Eropa mulai menyadari perlunya sebuah “pemarkah” sebagai magnet atau ideologi perjuangan. Pada 1905 Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam. Haji Samanhudi sengaja memilih permarkah “Islam” sebagai magnet untuk menghimpun para pemuda dalam melawan penjajah. Sebuah pilih­an yang cerdas mengingat Islam adalah agama mayoritas di Nusantara.

Kelahiran Sarekat Dagang Islam kemudian diikuti oleh lahirnya organisasi lain, seperti Jong Sumatra, Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, dengan “permarkah” atau ideologi daerah asal atau suku. Tetapi, mereka segera menyadari bahwa terlalu banyak ideologi yang berbeda yang diusung tidak akan menguntungkan bagi perjuangan. Kemudian, mereka menggelar Kongres Pemuda I pada 1926. Para pemuda dari berbagai organisasi dan asal daerah tersebut menemukan “pemarkah” atau “ideologi” baru yang bernama “Indonesia”. Kata “Indonesia” menjadi pengikat bersama para pemuda sehingga pada Kongres Pemuda II diikrarkan Sumpah Pemuda (1928), yang di semua butirnya mencan­tumkan kata Indonesia.

Cek Artikel:  Biodiesel Sawit dan Ancaman Deforestasi

Penemuan ideologi baru bernama “Indonesia” itu menunjukkan tingkat literasi yang tinggi dari para pemuda. Intervensi “rumah tanda” yang bernama “Indonesia” telah menjadi “rumah bersama”. Para pemuda waktu itu sudah memberi contoh bagaimana pendidikan yang mengantarkan tingkat lite­rasi yang tinggi menjadi “sesuatu yang dipuja”. Para kaum terpelajar menjadi kaum “bangsawan baru”. Telah terjadi pembalikan pola pikir, “bangsawan keturunan itu masa lalu, bangsawan pemikir (literat) perlu diagung­kan”.

Pada era digital saat ini, sayangnya pola pikir yang mengantarkan Indonesia merdeka itu kembali berbalik arah. Media sosial telah mengantarkan manusia Indonesia (warganet) kembali menghancurkan akal sehat, kembali memuja bangsawan keturunan atas nama fanatisme golongan/kelompok. Hadirnya ungkapan “kampret”, “cebong”, “kadrun”, “Jawa/non-Jawa” menunjukkan warganet telah terjebak pada pemikiran bahwa “kalau tidak hitam, pasti putih”. Telah terjadi polarisasi yang begitu kuat. Kebenaran akal sehat telah dikebiri, digantikan oleh kebenaran fanatisme kelompok. Karena itu, tidak heran jika akhirnya muncul ungkapan “dungu”, “tolol”, “sesat pikir” sebagai ekspresi kekecewaan atas kondisi yang ada.

Betul adanya bahwa demokrasi dalam arti praktiknya hanyalah soal kalkulasi jumlah suara. Tetapi, mestinya jumlah suara itu adalah kalkulasi akal sehat manusia yang bersandar pada kebenaran, nilai-nilai luhur yang dianut bangsa, setidaknya yang bersandar pada kepentingan ideologi bersama, yang bernama “Indonesia”. Jumlah suara yang banyak mestinya menggambarkan tingkat literasi manusia Indonesia, yang menggunakan suaranya karena akal sehatnya, bukan suara akibat kerja pendengung bayaran, yang banyak menyebarkan hoaks dan sejenisnya.

Bahasa Daerah Era Kiwari

Isu tentang bahasa daerah selalu berhubungan dengan mengapa jumlah penutur menurun, apa manfaat melindungi bahasa daerah, dan kepedulian pemerintah (daerah) pada bahasa daerah di wilayahnya. Pada lingkup lebih global, bahasa daerah juga menjadi isu yang selalu dibahas, misalnya di forum UNESCO.

Cek Artikel:  Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok Menyambut 75 Pahamn Rekanan Diplomatik Dua Bangsa

Sebuah penelitian dari Balai Bahasa Jawa Barat pada 2016, pada 900 keluarga suami-istri Sunda-Sunda, di 9 kota/kabupaten menunjukkan bahwa tingkat pewarisan bahasa Sunda di lingkungan keluarga hanya sekitar 40%. Selebihnya 60% keluarga yang lain beralih menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi di rumah mereka dengan berbagai alasan. Penelitian serupa di Jawa Tengah juga menunjukkan hal yang hampir sama. Ini berarti bahwa penurunan jumlah penutur bahasa daerah tidak hanya terjadi pada bahasa-bahasa daerah dengan jumlah penutur kecil (bahasa-bahasa di Indonesia Timur), tetapi juga pada bahasa daerah dengan jumlah penutur besar seperti bahasa Sunda dan Jawa.

Fakta di atas yang menjadi alasan mengapa Badan Bahasa, Kemendikbudristek, melaksanakan program revitalisasi bahasa da­erah di berbagai provinsi di Indonesia. Dengan mengajak pemerintah daerah se­tempat, melalui Balai dan Kantor Bahasa di daerah, Badan Bahasa melaksanakan revitalisasi bahasa daerah dengan sasaran penutur muda, yaitu usia SD dan SMP. Dengan prinsip Merdeka Belajar, siswa usia SD dan SMP diberi pilihan atau merdeka untuk mempelajari bahasa daerahnya, sesuai dengan minatnya, misalnya mempelajari melalui menulis cerpen dalam bahasa daerah, berpidato, komedi tunggal, menulis aksara daerah, menyanyi/nembang, dan menulis puisi.

Agar secara kor­pus bahasa daerah tetap lestari, Badan Bahasa melakukan konservasi bahasa daerah, yakni melalui pencatat­an berbagai aspek bahasanya, misalnya aspek bunyi, kosakata, struktur kata, struktur kalimat, dan kekayaan sastra yang ada dalam bahasa daerah tersebut. Selain itu, dilakukan pula upaya inventarisasi kosakata daerah yang berpotensi memperkaya Andas Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Peserta KBI XII berharap pendokumentasian kosakata bahasa daerah dengan memasukkannya ke dalam KBBI dapat terus di­tingkatkan jumlahnya agar “warna” KBBI benar-benar bercita rasa Indonesia, sekaligus sebagai salah satu bentuk perwujudan kebinekaan Indonesia.

Cek Artikel:  Pertaruhan Menegakkan Demokrasi

Catatan lain yang perlu disampaikan di sini bahwa saat ini belum semua pemerintah daerah mempunyai kepedulian yang sama terhadap bahasa daerah yang ada di wilayahnya. Padahal, menurut UU No. 23 Pahamn 2014 tentang Pemerintahan Daerah, jelas disebutkan bahwa pelin­dungan dan pembinaan bahasa daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota dan/atau pemerintah provinsi. Serempakan dengan isu ini, mencuat juga isu tentang pengangkatan guru bahasa daerah yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum membuat rencana atau formasi penerimaan guru bahasa daerah secara baik.

Obrolan tentang manfaat bahasa daerah dalam konteks kehidupan saat ini sangat menarik. Setidaknya karena terjadi dua pandang­an yang berbeda. Pertama, pandang­an yang berpikir bahwa bahasa daerah saat ini sudah tidak relevan lagi dilindungi mengingat ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari luar, sementara bahasa daerah lebih banyak berbicara peradaban masa lalu. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa bahasa daerah sebagai keunikan Indonesia justru relevan untuk dilindungi karena pada era globalisasi saatini, sesuatu yang tidak bernilai global menjadi unik dan dicari, yang tentu saja bernilai tinggi.

Terdapat pula pandangan yang mengambil jalan tengah, yang juga patut disampaikan di sini bahwa beberapa kata dalam bahasa daerah juga dapat mengungkapkan konsep-konsep kehidupan modern. Sebagai contoh, di Jakarta ada JakLingko, sebuah sistem transportasi yang saling terhubung dan terpadu. Siapa yang menyangka bahwa kata lingko adalah kosakata bahasa Manggarai, yang dalam bahasa aslinya bermakna ‘sistem pengairan sawah yang saling terhubung’. Konsep dalam lingko dalam bahasa daerah dapat dipakai untuk menggambarkan konsep sistem transportasi yang terpadu. Dengan demikian, bahasa daerah “masih” layak menjadi sasaran pembangunan bangsa mengingat perannya yang masih relevan dalam kehidupan kiwari. (S-4)

Mungkin Anda Menyukai