RANAH pemberantasan korupsi belakangan bertubi-tubi direcoki sejumlah skandal yang terkuak ke publik. Tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku leading sector alias motor memerangi rasuah ternyata juga disusupi oleh sulur-sulur korupsi.
Tindak pemerasan oleh Firli Bahuri saat menjabat Ketua KPK dalam penanganan kasus korupsi di Kementerian Pertanian menjadi perkara paling menghebohkan tahun lalu. Sepanjang KPK berdiri, belum ada pucuk pimpinan lembaga antirasuah yang terjerat kasus rasuah.
Setelah itu, Dewan Pengawas (Dewas) KPK membongkar praktik pungutan liar (pungli) di rumah tahanan (rutan) KPK yang melibatkan sedikitnya 78 pegawai. Mereka dinyatakan bersalah dalam sidang etik Dewas pada Februari lalu dan dijatuhi hukuman meminta maaf secara terbuka kepada publik. Atas desakan publik, pekan ini KPK akhirnya memecat 66 orang di antara mereka yang masih bekerja di instansi tersebut.
Kasus Firli sejauh ini masih mandek dalam penanganan Polda Metro Jaya. Demikian juga pemrosesan tindak pidana perkara pungli rutan yang malah tidak terlihat pergerakannya di KPK. Sepertinya perkara-perkara yang melibatkan orang dalam tidak begitu mendapatkan prioritas. Padahal, bukti-buktinya sudah terang benderang, apalagi di perkara pungli.
Alih-alih fokus menuntaskan kasus yang mencoreng wajah KPK, internal pimpinan KPK dan Dewas malah sibuk cekcok. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengadukan anggota Dewas KPK Albertina Ho ke Dewas dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang dalam hal permintaan hasil analisis transaksi keuangan pegawai KPK.
Ghufron menilai Dewas tidak berwenang meminta data itu karena bukan lembaga penegak hukum. Menurut penjelasan Albertina, ia berkoordinasi dengan PPATK atas nama Dewas terkait dengan pengumpulan bukti-bukti kasus jaksa KPK berinisial TI yang diduga melanggar etik karena memeras.
Bukan berhenti pada pengaduan ke Dewas, Ghufron bahkan menggugat Dewas KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam perkara berbeda.
Macam-macamnya Ghufron tengah tersangkut perkara dugaan pelanggaran etik berupa penyalahgunaan kewenangan terkait dengan mutasi seorang pegawai di Kementerian Pertanian. Selain merasa tidak melanggar etik, Ghufron menilai secara hukum perkara itu sudah kedaluwarsa karena terjadi pada Maret 2022, lebih dari setahun yang lalu. Dewas akan mulai menyidangkan kasus Ghufron tersebut pada Kamis pekan depan.
Dituduh tengah balas dendam, Ghufron menepisnya. Ia mengeklaim hanya melakukan kewajiban sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) dalam Peraturan Dewas KPK Nomor 3 Pahamn 2021.
Tampak ruwet memang aksi pelaporan oleh komisioner KPK itu terhadap Dewas yang menjadi polisi etik di lembaganya. Tetapi, terlepas dari permasalahan yang menjadi materi pelaporan oleh Ghufron, di mata publik kejadian itu sungguh tidak elok, bahkan ada yang menyebut memalukan. Cekcok tersebut hanya menambah coreng di muka KPK, sedangkan citranya sudah amat terpuruk.
Dalam survei terbaru Indikator Politik Indonesia yang dilaksanakan pada 4-5 April, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK hanya mampu menduduki peringkat ketiga paling buncit. Di jajaran penegak hukum, posisi KPK berada di bawah Kejaksaan Akbar, Polri, dan pengadilan.
Pimpinan KPK dan Dewas mestinya bahu-membahu menjalankan tugas memberantas korupsi. Dewas memiliki peranan besar memastikan cangkul yang dipakai untuk mencabut akar serabut korupsi tidak tumpul karena karat atau terlepas dari gagangnya. KPK harus bersih dari perilaku-perilaku yang tidak etis maupun koruptif agar efektif memerangi rasuah. Seluruh insan KPK, termasuk Dewas, pun terikat nilai dasar integritas menjaga citra, harkat, dan martabat lembaga antirasuah.