Bunyi Muhammadiyah, Cermin Spirit Literasi Berkemajuan

Suara Muhammadiyah, Cermin Spirit Literasi Berkemajuan
(Dok. Pribadi)

PHILIP Meyer dalam The Vanishing Newspaper (2004) meramalkan koran terakhir terbit pada April 2040. Menurut prediksi ini, tidak sampai dua dekade lagi batas akhir kehidupan koran di muka bumi. Setelah itu, generasi baru sudah tidak lagi mengenal media cetak.

Tanda-tanda menuju ke arah itu perlahan terlihat terang. Pada akhir Juni 2023, Wiener Zeitung sebagai surat kabar tertua di dunia menerbitkan edisi terakhirnya (30/6/2023). Koran Austria yang terbit sejak 1703 itu mencatatkan rekor usia 320 tahun.

Di Indonesia, beberapa koran populer yang pernah berjaya juga terpaksa mengakhiri edisi cetaknya, seperti dialami Sinar Cita-cita, Bola, Koran Tempo, Bunyi Pembaruan, dan Republika. Pelambatan laju oplah koran cetak menjadi salah satu alasan klasik di balik bergugurannya banyak media. Perkembangan internet dan teknologi informasi telah memicu pergeseran pola konsumsi informasi, dari media cetak ke media daring.

Ketika banyak media cetak bertumbangan, Bunyi Muhammadiyah (SM) merayakan ulang tahun yang ke-108 pada Agustus 2023. Pada 2016, SM diganjar rekor Muri sebagai majalah Islam yang terbit berkesinambungan terlama. SM menyambung mata rantai media Islam yang terinspirasi ide-ide reformisme Islam di Mesir pada abad ke-19 dan 20 yang tersebar melalui media seperti Al-Urwatul Wusqa, Al-Mu’ayyad, As-Siyasah, Al-Liwa, dan Al-Adl.

 

Aktualisasi diri gerakan rakyat

Pada 1915, KH Ahmad Dahlan, Fachrodin, dkk memulai penerbitan majalah SM di masa yang tidak mudah ketika Hindia Belanda di bawah kuasa Belanda. Sementara pribumi masih belum terlalu melek literasi serta menganggap semua ide dan gaya hidup modern identik dengan Barat dan kafir. Alam pikir seabad yang lalu misalnya tergambar dalam SM edisi Februari-Maret 1923, ada pertanyaan ke redaksi, “Orang sembajang berpakaian tjara Barat (berpantolan) memakai dasi serenta kepalanja ta’ memakai iket, bagaimanakah sjah atau charam?”

SM menjadi salah satu bentuk ekspresi gerakan rakyat yang tampil ke muka dalam gelombang kebangkitan bumi putera pada awal abad ke-20. Ketika itu, menurut Takashi Shiraishi dalam Era Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (2023), tiap-tiap gerakan rakyat bergerak mencari bentuk pergerakannya untuk menampilkan kesadaran politik mereka yang baru.

Terbangunnya nasionalisme yang melahirkan kemerdekaan Indonesia ditopang oleh gerakan pers atau penerbitan. Hal ini berbeda dengan proses kemerdekaan di negeri-negeri lainnya yang tidak selalu dimediasi pers.

Seabad kemudian, dunia pers mengakui peran kepeloporan SM. Pada peringatan Hari Pers 9 Februari 2018 di Padang, Sumatra Barat, SM dianugerahi penghargaan kategori Kepeloporan sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia. SM merepresentasikan media dakwah pembaruan Islam dan sekaligus ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Cek Artikel:  Setelah Menang Presiden, Pezeshkian Kini Menghadapi Jalan Terjal

Bunyi Muhammadiyah membangkitkan semangat nasionalisme melalui ide dan media penyampaiannya. Pada 1920-an, SM mulai memelopori penggunaan bahasa Melayu (sebagai cikal bakal bahasa Indonesia) jauh sebelum tonggak Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Bukan hanya menggunakan bahasa Melayu dalam seluruh halamannya, bahkan kata ‘Indonesia’ sebagai ganti Hindia Belanda sudah ditemukan dalam SM 1924. Mengganti nama sebutan Tanah Air ini mewakili semangat anti pada penjajahan dan semua gagasannya.

Bunyi Muhammadiyah menjadi salah satu bentuk media penyebaran gagasan kemajuan. Wacana kemajuan sendiri telah dirintis oleh kaum guru sejak abad ke-19. “Wacana dominan pada fase kecambah ruang publik modern ini berkisar pada isu kemadjoean. Kemadjoean dalam arti ini mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal; kemajuan pendidikan, modernisasi (yang secara luas diasosiasikan dengan westernisasi), kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup,” ungkap Yudi Indah dalam Menyemai Kepribadian Bangsa (2009).

Dalam catatan Yudi Indah, keterlibatan kaum bumi putera di dunia pers sebenarnya telah dimulai pada abad ke-19. Tetapi para redaktur atau jurnalis pribumi saat itu hanya sebagai pekerja dalam media pers milik orang Belanda atau orang keturunan Tiongkok.

Barulah pada abad ke-20, peran kaum pribumi dalam dunia pers menjadi lebih substansial. Bukan hanya jumlah mereka yang bekerja di dunia pers meningkat, tetapi juga adanya para inteligensia pribumi yang telah mampu mendirikan media pers yang sepenuhnya dimiliki dan dijalankan oleh para pribumi.

Bunyi Muhammadiyah mengakomodasi para intelektual pribumi yang mengabdikan diri kepada dunia ilmu. Di masa-masa awal abad ke-20, banyak orang lebih tertarik dengan dunia pergerakan politik atau memulai pergerakan ekonomi.

Tetapi, hanya sedikit di antara mereka yang memilih untuk terlibat dalam dunia wacana dan berkecimpung dalam dunia literasi. Mereka tidak mencari kekuasaan politik atau keuntungan ekonomi, tetapi menyemai spirit keilmuan sebagai landasan pembangunan manusia Indonesia di kemudian hari.

Dunia pers mencerminkan dunia keberaksaraan atau dunia literasi. Pers mengupayakan peningkatan derajat literasi masyarakat. Suatu masyarakat dengan tingkat literasi yang tinggi mengarah pada munculnya institusi-institusi yang rasional dan demokratis.

Literasi punya relasi yang sangat erat dengan kemajuan sosial di seluruh dunia. Kata Francis Bacon pada abad ke-17, “Yang telah mengubah seluruh wajah dan keadaan sesuatu di muka bumi ialah percetakan, mesiu, dan magnet.”

MI/Seno

 

Cermin spirit berkemajuan

Cek Artikel:  Ketahanan Pangan, Petani Guram, dan Kemiskinan

Dunia keaksaraan menjadi instrumen budaya dalam upaya memajukan dunia sains dan peradaban. Tulisan menjadi penopang kemunculan beragam pemikiran rasional, dari gagasan filsafat, sains, hingga dunia kedokteran.

Sebaliknya, dunia yang tidak terliterasi menjadi penopang bagi tumbuh suburnya takhayul, mitos, magis, dan hal-hal yang tidak rasional. Peradaban-peradaban maju selalu selaras dengan kemajuan dunia literasi, termasuk di dalamnya perbukuan dan pers.

Penerbitan Bunyi Muhammadiyah mencerminkan spirit kemajuan yang dibawa oleh para intelektual Muhammadiyah. Penerbitan SM membawa semangat rasionalitas dan intelektual modern, antara lain kemampuan membaca dan menulis aksara Latin, mengerti bahasa Melayu dan sedikit bahasa Belanda, pengetahuan tentang dunia jurnalistik, penguasaan atas isu-isu dan informasi mutakhir, serta kemampuan menggunakan mesin percetakan.

Kalau melihat ke belakang, penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada abad ke-15 tidak hanya membawa manfaat pada dunia percetakan, tetapi juga turut mengubah wajah dunia. Gutenberg untuk pertama kalinya mengembangkan metode penggunaan huruf cetak yang bergerak dan mesin cetak dalam bentuk yang lebih baik.

Dengan modal itu, beragam jenis tulisan dapat dicetak dengan cepat dan tepat serta memungkinkan proses produksi besar-besaran. Penemuan Gutenberg telah menjadikan Eropa melesat cepat ke arah kemajuannya.

Evolusi selanjutnya ditandai dengan kehadiran komputer yang kembali membawa perubahan besar bagi dunia. Komputer membuat banyak pekerjaan menjadi lebih mudah dan efisien. Kehadiran komputer memberi konstribusi positif bagi proses produksi koran. Penemuan komputer lantas diikuti oleh kemunculan internet sejak 1969.

Berbeda dengan kehadiran mesin cetak dan komputer, munculnya internet membuat koran terusik. Internet telah memungkinkan lahirnya media baru berbasis daring yang mengusung pemberitaan cepat. Dalam media daring berlaku prinsip running news, berita terus bergulir setiap saat guna memperbarui pemberitaan sebelumnya. Informasi pertama muncul hanya beberapa menit, dan lalu ditimpa berita-berita selanjutnya.

Pada 9 Juli 1998, detik.com menjadi pembuka jalan lahirnya media daring di Indonesia. Media daring ini bertahan hidup dengan bergantung pada iklan. Beberapa media cetak di Indonesia juga tergiur merambah platform digital.

Harian Kompas mendirikan kompas.com. Media Tempo membuat tempo.co. Media Indonesia melahirkan mediaindonesia.com. Belakangan muncul berbagai media daring dengan aneka orientasi dan kepentingannya.

Kualitas pemberitaan di platform digital lebih rendah ketimbang versi media cetak. Gejala kedangkalan ini disebabkan oleh faktor matinya kepakaran, dalam istilah Tom Nichols. Di media daring banyak orang merasa menjadi pakar dalam semua hal. Terjadi pergeseran otoritas keilmuan.

Di dunia digital, kemampuan berpikir sebagai pengendali akal budi kadang terkalahkan oleh kelincahan jari jemari dalam memproduksi konten yang menuntut kecepatan dan hal sensasional. Kecepatan membuat orang tidak punya waktu jeda untuk merenung dan memilah informasi.

Cek Artikel:  Transformasi Kepolisian, Keteladanan Hoegeng, dan Listyo Sigit

Proses produksi media daring yang serba-instan berbeda dengan koran cetak. Di balik dapur koran cetak, berjibaku banyak orang di setiap lapisan proses produksi informasi dan pengetahuan. Taatp koran atau media cetak bergantung pada kerja para jurnalis, editor, kolumnis, dan para redaktur mumpuni yang menawarkan kevalidan data dan kedalaman analisis.

Berbeda dengan media cetak, kapabilitas dan kredibilitas media daring terkadang masih diragukan. Karena alasan ini, beberapa media seperti Kompas mengevaluasi keberadaan Kompas.com dengan menerbitkan Kompas.id pada 2017.

Kompas.id dimaksudkan sebagai media daring bermutu dan tepercaya. Media Indonesia juga menerbitkan e-paper. Tetapi tentu saja, media daring bermutu membutuhkan sokongan dana, tidak bisa diselenggarakan secara gratisan.

 

Tumbuh tanpa pemilik modal

Muncul tanggapan bahwa media daring harus gratis seiring dengan penetrasi digital. Masyarakat merasa tak perlu lagi berlanggaran koran, cukup membaca di kantor atau di tempat publik. Sebagai pengganti, mereka mengakses media daring secara gratisan dari layar gawai.

Menurut survei Nielsen Consumer and Media View 2017, media cetak hanya dibaca oleh 4,5 juta orang. Nomor ini mengalami penurunan drastis jika dibandingkan dengan jumlah pembaca media cetak pada 2013 yang masih mencapai 9,5 juta orang.

Media-media cetak yang masih bisa bertahan menggantungkan hidup dari suntikan para pemilik modal. Dalam hal ini, Bunyi Muhammadiyah menjadi pengecualian. Bukan ada pemilik modal dominan yang mendanai SM dan lalu mengarahkan para redaksi.

Dengan cara itu, SM mempertahankan pembaca ideologis. Rekanan SM dan pembaca tidak hanya hubungan bisnis yang menggunakan kalkulasi untung-rugi, tetapi juga dilandasi oleh relasi batin.

Sepanjang usianya, Bunyi Muhammadiyah melekat dengan banyak tokoh besar yang telah mengabdikan diri untuk mengantarkan SM hingga ke abad kedua. SM sekaligus menjadi wadah bagi mereka untuk menyuarakan gagasan, semisal Kiai Dahlan, Fachrodin, Syuja, Farid Ma’ruf, Yunus Anis, Mohammad Diponegoro, Ahmad Basuni, Djazman Al Kindi, Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, hingga Haedar Nashir.

Atas berbagai kiprah dan ragam pertimbangan, Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah sedang mengadakan kajian akademik untuk proses pengajuan Bunyi Muhammadiyah sebagai warisan budaya benda dan tak benda.

SM dinilai telah memelopori kesadaran membaca, menulis, dan berdiskusi tentang masalah keagamaan, keumatan, dan kebangsaan dengan berpijak pada ide-ide berkemajuan. SM menjadi tonggak penggerak tajdid Muhammadiyah yang telah banyak berkonstribusi bagi Indonesia dan bahkan dunia.

 

 

Mungkin Anda Menyukai