PMI Manufaktur RI masih Kontraksi, Produk Impor Jadi Biang Keladi

PMI Manufaktur RI masih Kontraksi, Produk Impor Jadi Biang Keladi
Pengaruh produk impor di Kampung Rajut Binong Jati: Pekerja menyelesaikan produksi pakaian rajut dengan menggunakan mesin khusus di Sentra Produksi Kampung Rajut Binong Jati, Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/7/2024). Pengusaha rumah produksi pakaian rajut meng(ANTARA/Raisan Al Farisi)

PURCHASING Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada September 2024 meningkat tipis menjadi 49,2. Tetapi demikian, angka tersebut menunjukkan aktivitas manufaktur Indonesia masih di zona kontraksi yang terjadi sejak Juli 2024.

Pada Juli 2024, penurunan terjadi cukup dalam dengan kinerja manufaktur tercatat di bawah ambang batas ekspansi 50 yakni 49,3. Kontraksi berlanjut pada Agustus menjadi 48,9.

“Meskipun ada sedikit kenaikan pada PMI manufaktur bulan September namun kondisinya masih kontraksi,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resmi, Selasa (1/10)

Baca juga : Mendag Zulhas: PMI Manufaktur Lemah karena Impor Ilegal dan Pabrik Sepuh

Dalam rilisnya, S&P Dunia menyebutkan penurunan kinerja PMI manufaktur Indonesia menggambarkan penurunan bulanan pada output dan pesanan baru selama September dan telah berjalan selama tiga bulan berturut-turut. Kondisi itu ditanggapi perusahaan dengan mengurangi aktivitas pembelian mereka, memilih menggunakan inventaris, serta menjaga biaya dan efisiensi pengoperasian dengan sangat ketat.

Cek Artikel:  PNM Komitmen Genjot Inklusi Keuangan

Ekonomi dunia hingga akhir triwulan III 2024 yang mengalami perlambatan menjadi penyebabnya.

Menperin mengatakan, jika diamati lebih dalam, penurunan pesanan baru yang muncul sebagai hasil survei PMI manufaktur Indonesia pada September 2024 juga ditunjukkan oleh Indeks Kepercayaan Industri (IKI) edisi September 2024. IKI pada bulan lalu mengalami penurunan pesanan pada subsektor industri pengolahan lainnya.

Baca juga : Relaksasi Impor Jadi Biang Kerok Turunnya Indeks Manufaktur Indonesia

Subsektor tersebut, lanjut Agus, mengalami penurunan pesanan, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Subsektor industri lain yang mengalami kontraksi IKI pada pesanan baru adalah industri pengolahan tembakau, tekstil, pakaian jadi, kayu, kertas, bahan kimia, komputer dan elektronik, serta jasa reparasi. Selain itu, sembilan dari 23 subsektor industri pengolahan juga mengalami kontraksi IKI pada variabel pesanan baru di September lalu.

Cek Artikel:  Langkah Kementan Menjaga Konsistenitas Pasokan dan Harga Ayam Tingkat Peternak

Menperin menyampaikan, untuk bisa kembali ekspansif, sektor industri butuh dukungan regulasi yang tepat dari berbagai kementerian/lembaga seperti pengendalian produk impor. Hal itu supaya industri dalam negeri bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

“Karenanya, kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan masuknya barang ke Indonesia amat diperlukan. Ketika ini kita terus berupaya menciptakan demand bagi produk dalam negeri. Karena demand-nya ada namun pasar juga dibanjiri dengan produk impor,” pungkas Menperin. (E-2)

Mungkin Anda Menyukai