Pilpres dan Karma Kartelisasi Elite

Pilpres dan Karma Kartelisasi Elite
(Dok. Pribadi)

PASCAKEPUTUSAN ‘kontroversial’ Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka pintu bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka dan ‘dikuningkannya’ jubah politik Gibran, kegalauan politik pun membelukar di level elite hingga rakyat akar rumput.

Di lini masa media sosial menjamur meme, video berisi bahasa sarkas, sindiran, bahkan provokasi yang mewakili pertempuran batin politikus dan rakyat terkait dengan politik dua kaki, kutu loncat, loyalitas dan militansi partai yang terkhianati oleh kader sendiri, hingga isu politik dinasti yang ‘menabraki’ dinding istana dengan derivat ancaman pada netralitas dan keadilan Pilpres 2024. Eksis kekhawatiran, dengan kondisi tersebut, kegaduhan dan polarisasi politik bakal memanas dan menajam menjelang kontestasi.

Diundangnya tiga bakal calon presiden (Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto) untuk makan siang bareng (maksibar) dengan Presiden Joko Widodo di istana, di satu sisi diharapkan bisa menetralkan suasana rivalitas politik yang kian mengeskalasi di masyarakat.

Tetapi, di sisi lain, maksibar tersebut bisa jadi hanya proforma, basa-basi, ketika di lapangan, realitas berkata lain. Misalnya merebaknya fenomena baliho kontestan yang dicopot paksa dan ada wakil menteri yang mengampanyekan kontestan tertentu.

Bahkan jauh sebelumnya dua wali kota jelas-jelas mempromosikan bakal calon presiden lewat video. Sekalian itu bertolak belakang dengan arahan Presiden terhadap ratusan penjabat kepala daerah (23 pj gubernur, 133 pj bupati, dan 37 pj wali kota) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (30/10), terkait dengan keniscayaan menjaga netralitas di Pemilu.

 

Klientalistik

Arahan tersebut sebenarnya berpotensi menjadi back fire (tembakan balik) bagi eksekutif kementerian, yang dipimpin Presiden, itu sendiri. Pasalnya, terdapat 14 menteri yang memiliki kaitan dengan partai politik peserta pemilu, empat terdaftar merupakan anggota tim sukses pilpres, dan dua merupakan capres dan cawapres. Plus anak Presiden menjadi bagian dari kontestan yang berlaga pada 2024.

Cek Artikel:  Cawe-Cawe Menkes dalam Urusan Etika Profesi Dokter

Sulit percaya mereka mampu menjaga netralitas politik, terlebih ketika sudah menyangkut penggunaan fasilitas jabatan, pengaruh, kuasa, yang memang dalam sejarah politik elektoral kita selalu mengidap persoalan dimaksud.

Sebenarnya, patologi sikap elite mbalelo yang memvibrasi kekecewaan dan sakit hati politik rakyat karena inkonsistensi pendirian politik tersebut merupakan buah politik transaksional dan klientalistik yang dirawat sejak proses elektoral dimulai (Aspinall & Barenschot, 2019). Tetap ingat bagaimana keputusan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari semula enam tahun dalam tiga periode menjadi sembilan tahun dalam dua periode?

Banyak yang mencurigai keputusan tersebut bagian dari kongsi politik kepala desa dan politikus di parlemen sebagai resiprokal kepentingan elektoral. Perpanjangan jabatan itu dikhawatirkan akan merusak demokrasi (lokal) karena melegitimasi konservasi politik rezim merawat ‘raja-raja kecil’ di desa sebagai vote getter bagi politikus.

Ironisnya, hal tersebut didiamkan saja oleh para akademisi, LSM, serta masyarakat antikorupsi dan bahkan parpol nonseat di parlemen yang notabene tidak terafiliasi dengan kepentingan politik pemilu pun tidak mau mempersoalkan. Padahal perpanjangan masa jabatan kades tersebut jelas-jelas awal dari konspirasi dan bencana netralitas politik 2024 yang akan menggembosi fondasi demokrasi.

 Reproduksi kerusakan demokrasi terus berlanjut dan meluas pada degradasi kredibilitas institusi vital negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tersandera politisasi penegakan hukum terhadap calon presiden dan wakil sehingga dianggap sebagai alat menyingkirkan lawan politik Hingga problem etik dan hukum yang menimpa pemimpin mereka, Firli Bahuri, dalam kasus pemerasan, merupakan contoh konkret KPK telah menginsiasi katastrofe demokrasi.

Cek Artikel:  Kondusifat Konstitusi dan Visi Politik Luar Negeri Para Calon Presiden 2024

Kini, MK ada dalam pusaran persoalan yang tak kalah mengerikan. Kolaps muruah MK termanifestasi lewat aksi ketua mereka, Anwar Usman, saat mengadili perkara uji materi terkait dengan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, yang ‘bermain api’ menguntungkan putra presiden petahana.

 

Dua ancaman

Kini integritas dan kemuliaan MK ‘terbakar’ oleh kemarahan dan ketidakpercayaan rakyat, terutama soal imparsialitas mereka dalam menangani perkara sengketa Pemilu Legislatif 2024 ataupun Pilpres 2024. Itu merupakan donasi bagi gelombang desepsi dan kehancuran politik jika MK tak dirombak. Sejak awal juga MK harus bertangung jawab atas pengebirian demokrasi yang membolehkan politik dinasti berkembang.

Ini bukan bercyandya! Kita kini sudah dihadapkan pada dua ancaman demokrasi. Pertama tirani mayoritas, dengan kepentingan mayoritas (parlemen, eksekutif) menjadi episentrum politik pendiktean terhadap fungsi-fungsi lembaga negara yang berdampak langsung (terutama) pada hak-hak politik rakyat, sehingga, kedua, melahirkan apa yang disebut sebagai enfeeblement of the political (pelemahan politik), dengan ruang politik terjebak dalam amoralitas dan kedangkalan irasionalitas (Carter & Stokes, 1998).

Kalau saat ini para elite bertengkar atas nama kepatutan dan etika politik, itu semua merupakan ‘karma’ dari kartelisasi elite yang dirawat dengan serakah selama ini. Sekian lama para elite sibuk mengalkulasi dan membagi-bagi keuntungan politik (lewat praktik KKN) yang menabrak hukum, akal sehat, kepatutan, dan nilai-nilai demokrasi (AS Hikam, 2023).

Institusi hukum diperalat lewat barter kasus korupsi demi mengamankan kekuasaan. Kasus-kasus hukum yang mendera politikus tidak diungkap, tetapi dijadikan ‘kartu truf’ untuk menyingkirkan lawan politik. Logika transaksi diselundupkan dalam kebijakan publik yang lebih berpihak pada kepentingan politik parsial dan oligarki (Slater, 2004).

Cek Artikel:  Jihad Ekonomi dan Persoalan Kemandirian

Kita masih ingat cerita Romulus yang membunuh saudaranya, Remus, untuk menjadi penguasa di Roma setelah dibangun mereka berdua. Romulus dianggap bengis dan tak berperikemanusiaan. Karena mereka berdua pernah disusui serigala, 1.500 tahun kemudian filsuf Thomas Hobbes menyebutnya sebagai homo homini lupus est, manusia serigala bagi sesamanya.

Sebaliknya, Machiavelli melihat apa yang dilakukan Romulus bukanlah sebuah keburukan, melainkan kebaikan karena membunuh saudara kembarnya dilakukannya demi kebaikan warga Roma. Menurutnya (dalam Machiavelli Statement), ‘Apa yang dilakukan Romulus adalah benar karena tindakan tersebut untuk kepentingan rakyat, bukan tindakan ambisi pribadi, dan itu yang saya yakini dengan pemenuhan tujuan dengan menghalalkan segala cara (the end justifies the means)’ (The Princes: 66).

Machiavelli Statement tersebut secara esensial dan kontekstual mau menegaskan tindakan kejam dan bengis yang dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar, demi rakyat dan negara kesatuan kota pada saat itu. Bukan untuk memuaskan kepentingan dan keserakahan pribadi.

Moral statement-nya bukan soal siapa paling benar, melainkan makna pervasifnya ada pada komitmen dan kemampuan radikal elite untuk mengorbankan kepentingan diri/pribadi (jabatan, prestise, kekayaan) demi menegakkan kepentingan yang lebih besar, dalam hal ini kepentingan rakyat dan bangsa.

Mentalitas pengorbanan politik seperti itu yang memudar di Republik ini. Kita sibuk saling menyalahkan, memaki, di tengah kapal Republik yang mau karam. Sayangnya, tragedi itulah yang akan menghantui bangsa ini di Pilpres 2024.

Mungkin Anda Menyukai