HARAPAN selalu ada dalam kehidupan politik. Ia bahkan menjadi ‘bahasa jualan’ atau barang dagangan para politikus. Masyarakat selalu menaruh harapan agar kehidupan mereka menjadi lebih baik kepada calon atau pemimpin mereka.
Banyak macam harapan yang disampirkan ke para politikus dan calon pemimpin, mulai harapan akan lapangan kerja, layanan kesehatan, hingga fasilitas pendidikan. Sebaliknya, para politikus memanfaatkan harapan itu untuk menggalang dukungan atau menjaring calon pemilih.
Rekanan semacam itu sah-sah saja selama harapan itu dapat diwujudkan dengan program visi-misi yang jelas dan mumpuni. Yang menjadi masalah ialah ketika para pemimpin atau calon pemimpin itu memanfaatkan kekuasaan mereka dengan menghalalkan segala cara untuk memenuhi harapan tersebut.
Program bantuan sosial (bansos) pada pemilu lalu, misalnya, diduga telah dijadikan komoditas politik oleh sejumlah politikus dan pejabat partisan dengan memanfaatkan kekuasaan mereka demi kepentingan elektoral. Begitu pula dengan berbagai fasilitas negara yang secara sewenang-wenang telah digunakan untuk kepentingan memenangi kontestasi pemilu.
Itulah yang dikhawatirkan Ombudsman RI bakal terulang pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), November mendatang. Karena itu, mereka merekomendasikan seleksi calon aparatur sipil negara (CASN) 2024 ditunda hingga penyelenggaraan pilkada serentak selesai. Penundaan itu diperuntukkan menjaga agar seleksi CASN tidak dimanfaatkan sebagai kepentingan atau komoditas politik.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menegaskan usul penundaan itu bertujuan proses seleksi calon pegawai negara tersebut tidak dimanfaatkan kepala daerah tertentu untuk menggalang dukungan dengan menebar janji meloloskan para calon ASN yang bersedia mendukung mereka.
Rekomendasi atau usul Ombudsman itu sangat beralasan dan masuk akal. Hal itu diperuntukkan menutup celah ketidakadilan kompetisi akibat penyalahgunaan wewenang dalam pilkada nanti. Segala celah yang dapat menodai pelaksanaan pesta demokrasi itu memang sudah semestinya ditutup serapat mungkin.
Tengah pula usul tersebut juga baik untuk menjaga kualitas para calon abdi negara karena mereka disaring berdasarkan kapasitas dan kapabilitas, bukan atas dasar kedekatan atau afiliasi dengan calon kepala daerah tertentu yang memiliki kekuasaan.
Penundaan seleksi CASN seperti yang diusulkan Ombudsman sekaligus juga jadi momentum membenahi pelaksanaan seleksi agar transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi berdasarkan catatan lembaga itu, dari 1.138 kasus yang diadukan masyarakat dalam setahun terakhir, masalah ketidaktransparanan mendominasi seleksi CASN.
Harus kembali ditegaskan bahwa segala sumber kebobrokan di negara ini, termasuk rusaknya sendi demokrasi, ialah masih suburnya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Itu yang semestinya diberantas habis. Langkah itu bisa dimulai dengan menyeleksi para calon abdi negara atau CASN dengan cara-cara yang fair dan profesional, bukan malah dibajak untuk kepentingan politik segelintir elite.
Sekecil apa pun celah penyelewengan harus bisa dicegah agar penyalahgunaan kekuasaan itu tidak terjadi kembali di pilkada serentak 2024, November mendatang.