Masuki Era the Attention Economic, Remaja dan Perempuan Rawan Terobsesi atas Penampilan

Masuki Era the Attention Economic, Remaja dan Perempuan Rawan Terobsesi atas Penampilan
Ilustrasi(freepik.com)

BEAUTY priviledge is real, demikian kata banyak orang. Perempuan yang cantik, dianggap akan lebih mudah mendapatkan apapun dalam kehidupannya, seperti pasangan, dan bahkan pekerjaan. 

Media sosial pun menjadi etalase bagi wajah-wajah menawan baik perempuan maupun laku-laki. Standar kecantikan pun menyebar dengan rata, pada kalangan remaja maupun perempuan dewasa. Kecantikan sering kali diidentifikasi dengan karakteristik fisik tertentu, yang berujung pada pencarian tanpa henti untuk mencapai citra tubuh ideal. 

Tak heran banyak perempuan yang mengejar standar kecantikan yang seperti utopia. Sering kali, upaya ini diikuti konsekuensi negatif yang serius, seperti depresi, gangguan makan, hingga mengabaikan kesehatan demi mencapai kecantikan ideal.

Baca juga : Remaja Perempuan Lagi Berjuang dengan Kesehatan Mental Sejak Pandemi

Pengamat sosial Devie Rahmawati mengungkapkan di era peradaban visual saat ini, tampilan memang merupakan satu mata uang yang yang menjadi alat pertukaran. Definisinya, jika seseorang ingin mendapatkan pujian, tentu ia harus menampilkan tampilan visual terbaiknya.

“Anda ingin mendapatkan pekerjaan, misalnya, jauh sebelum teknologi visual secanggih hari ini, jelas ada riset-riset yang menunjukkan bahwa orang-orang yang dengan tampilan menarik, profesional dan proporsional, punya peluang untuk memiliki gaji lebih tinggi, lalu promosi lebih cepat, misalnya. Itu ada penelitian demikian,” kata Devie saat dihubungi, Selasa (20/8).

Cek Artikel:  Taffware, Brand Lokal dengan Ribuan Produk Inovatif Berkualitas yang Terjangkau

Ditambah, karakter teknologi yang memungkinkan setiap orang menampilkan tampilan visual terbaik mereka. Ini yang kemudian, kata Devie, bertemu dengan kultur postkolonial, yang salah satunya ialah standar kecantikan yang terbentuk. Di negara-negara bekas jajahan seperti Indonesia, kata dia, standar kecantikan terlihat dari tampilan fisik seperti kulit putih, hidung mancung dan postur tubuh tertentu. 

Baca juga : Budayawan Kecam Pendayagunaan Perempuan Badui di Medsos

“Makanya, seperti di Asia, termasuk Indonesia, pemutih itu laku. Kalau di Eropa tidak,” imbuh dia.

Eksisnya pembentukan standar dari akar budaya dan peradaban visual, menurut Devie, menjadikan orang semakin gandrung memastika bahwa mereka bisa memberikan tampilan visual terbaik mereka, kapanpun dan di manapun.

Terlebih, persaingan menjadi begitu kompetitif di era sekarang. Ia pun menyebut saat ini kita hidup di era the attention economic, artinya semua orang ingin mendapatkan perhatian. Pasalnya, dengan perhatian mereka akan mendapatkan keuntungan ekonomi. 

Baca juga : Di Balik Tren Pick Me, Mengapa Remaja Berusaha Terlihat Berbeda?

“Ini yang kemudian ditangkap betul oleh industri kecantikan yang menawarkan banyak sekali upaya-upaya untuk bisa memperkuat tampilan visual, baik secara online maupun offline,” kata dia.

Cek Artikel:  Tingkatkan Kualitas Hidup, Ajak Kerabat Lansia Bermain Puzzle dan Senam Otak

Bagi dia, tidak ada yang salah dengan upaya meningkatkan kualitas diri dan kualitas visual. Tetapi, ia mengingatkan masyarakat afar memerhatikan aspek kesehatan, kemampuan dan mental. 

“Karena kalau kemudian terus terobsesi, itu akan membuat anda tidak sehat secara mental. Dan ini tentu saja akan memengaruhi tampilan visual anda. Karena visual yang baik tidak cukup hanya tampilan luar, tapi harus didukung oleh kemampuan diri yang baik, sehingga yang disebut kecantikan yang paripurna ialah kecantikan yang bukan hanya sifat fisik, tapi juga diperkuat dengan kapasitas dan etika,” pungkas Devie.

Baca juga : Apa yang Dimaksud dengan Sadfishing dan Mengapa Remaja Melakukannya?

Krisis kepercayaan diri bukan hanya terjadi pada perempuan Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Menurut Jess Weiner, seorang ahli budaya dari University of Southern California, tingkat kecemasan di kalangan remaja saat ini berada pada titik tertinggi sepanjang masa. “Kagak mengherankan bahwa tingkat kecemasan secara keseluruhan di kalangan remaja berada pada puncaknya,” ungkap Weiner.

Hal ini sejalan dengan temuan yang dipaparkan dalam Dove Mendunia Girls Beauty and Confidence Report 2017. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa tekanan atau titik krisis dalam kehidupan remaja perempuan, yang sering kali berawal dari kecemasan terkait penampilan, dapat berkembang menjadi kecemasan umum yang berdampak negatif jangka panjang terhadap kebahagiaan mereka.

Cek Artikel:  4 Jenama Fesyen Lokal akan Tampil di ASEAN International Fashion Week

Dalam laporan tersebut, menunjukkan bahwa lebih dari setengah, atau sekitar 54% dari semua remaja perempuan di dunia, tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap tubuh mereka. “Hal ini dapat berdampak jangka panjang pada kepercayaan diri dan kepuasan hidup mereka secara keseluruhan,” tambah Weiner.

Tetapi, masalah ini tidak berhenti di situ. Menurut National Institute of Mental Health, 30% remaja perempuan di Amerika Perkumpulan pernah mengalami gangguan kecemasan, dibandingkan dengan 20% remaja laki-laki. 

Tingkat kecemasan yang tinggi juga berkontribusi pada diagnosa gangguan mental yang lebih serius di China, di mana 1,2 juta remaja berusia 15 hingga 24 tahun mengalami gangguan depresi. Kecemasan ini sering kali muncul sejak dini.

Sebuah studi terbaru di Inggris mengungkapkan bahwa 36% remaja perempuan berusia 7 hingga 10 tahun merasa bahwa penampilan adalah sifat terpenting mereka, sementara 25% merasa perlu menjadi sempurna di hadapan orang tua, pendidik, dan mentor mereka. “Bilangan-angka ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua,” tutup Weiner. (H-2)

Mungkin Anda Menyukai