PEMILIHAN umum (pemilu) telah menjadi mekanisme ketatanegaraan yang dipilih Indonesia untuk melakukan sirkulasi elite secara damai dan berkesinambungan. Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Mengertin 1945 meneguhkan praktik pemilu yang periodik dan murni melalui pelaksanaan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Sejak berdirinya, Indonesia telah menyelenggarakan 13 kali pemilu legislatif dan lima kali pemilu presiden dengan dua kali pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden secara serentak dalam satu hari yang sama–2019 dan 2024.
Dengan 204.807.222 pemilih yang tersebar di 823.236 TPS, Pemilu 2024 tercatat sebagai pemilu serentak satu hari terbesar di dunia (the biggest one day elections in the world). Pilkada serentak nasional pada 27 November 2024 juga menjadi pemilihan eksekutif tingkat lokal dalam waktu bersamaan terbesar di dunia.
Baca juga : Gerakan Nurani Bangsa Mantapkan Pemilu yang Bermartabat, Jujur, dan Transparan
Dalam perkembangannya, pemilu bukan sekadar dilakukan untuk mengisi posisi-posisi strategis pemerintahan, tetapi juga sebagai sarana untuk (i) meningkatkan kualitas representasi, (ii) memperkuat pelaksanaan sistem presidensial, (iii) mengefektifkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan antikorupsi, (iv) menyederhanakan sistem kepartaian, dan (v) memperkukuh integrasi bangsa berbasis otonomi daerah.
Berbagai upaya dan inovasi telah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, misalnya melalui penataan jadwal penyelenggaraan pemilu dan pilkada, pembentukan struktur kelembagaan penyelenggara pemilu yang mandiri, penggunaan teknologi untuk efektivitas dan efisiensi pemilu, serta penataan sistem keadilan pemilu yang terintegrasi.
Baca juga : Penyelenggaraan Pemilu 2024 Disebut Terburuk di Era Reformasi, Begini Indikasinya
Pemilu bermakna
Secara prosedural, dari masa ke masa pemilu semakin menunjukkan peningkatan kualitas. Tetapi, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memastikan pemilu mampu menghadirkan praktik demokrasi substansial yang berkontribusi bagi pencapaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Rendahnya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia di tengah sistem demokrasi yang membutuhkan adanya representasi, pemenuhan hak, aturan hukum, serta partisipasi berlandaskan nilai dan perilaku antikorupsi merupakan persoalan serius yang harus diatasi. Skor IPK sebesar 34 menempatkan Indonesia pada posisi 115 pengukuran global. Ironisnya, Indonesia juga tercatat sebagai negara ketiga di Asia yang paling terpapar politik uang setelah Thailand dan Filipina (Mendunia Corruption Asia, 2020).
Baca juga : Syair Musik Reformasi Rhoma Irama untuk Perubahan Anies-Muhaimin
Maka itu, pemilu harus dipastikan bukan sekadar ritual seremonial, melainkan hadir sebagai instrumen yang bermakna bagi sistem demokrasi Indonesia. Pemilu yang bermakna akan terwujud bila tersedia enam kondisi minimal berikut, yaitu (i) adanya kerangka hukum pemilu yang pasti dan demokratis; (ii) pemilih berdaya yang kritis dan terinformasi baik (well informed voters); (iii) penyelenggara pemilu yang independen, profesional, dan berintegritas. Lampau, (iv) peserta pemilu yang kompetitif dan bersaing dalam arena kontestasi yang adil dan setara; (v) birokrasi dan aparat keamanan yang netral dan profesional; serta (vi) penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan.
Kerangka hukum yang berkepastian dan demokratis memberikan sumbangan besar bagi tata kelola pemilu berintegritas. Pemilu serentak 2024 ialah pemilu pertama era reformasi yang tidak mengalami penggantian UU Pemilu sebagai dasar hukum penyelenggaraannya. UU 7/2017 tentang Pemilihan Standar tetap digunakan sebagai landasan mengatur dan melaksanakan seluruh tahapan pemilu oleh jajaran penyelenggara.
Keajegan aturan main bisa berkontribusi positif dalam memberikan kepastian bagi semua pihak dalam suatu kontestasi elektoral. Akan tetapi, berbagai evaluasi dari penyelenggaraan pemilu terdahulu yang membutuhkan perbaikan pengaturan pada level undang-undang menjadi tidak terwadahi. Berbagai inovasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pemilu juga tidak bisa optimal dilakukan.
Baca juga : Aktivis 98 Beri Mandat Kepada Amin untuk Tuntaskan Agenda Reformasi
Selain itu, pengaturan pemilu dan pilkada dalam dua rezim undang-undang berbeda seperti saat ini mengakibatkan terjadinya kondisi penerapan norma yang berbeda untuk suatu peristiwa hukum yang sama. Terjadi perbedaan, tumpang tindih, dan inkonsistensi aturan dalam pengelolaan tahapan pemilu dan pilkada. Misalnya terkait dengan nomenklatur, administrasi tahapan, prosedur pengawasan, dan skema penegakan hukum.
Padahal, baik pemilu maupun pilkada diselenggarakan dengan asas, prinsip, dan penyelenggara yang sama. Teladan konkretnya ialah pengaturan politik uang yang kontradiktif antara UU Pemilu dan UU Pilkada. Dalam UU Pemilu hanya pemberi politik uang yang dipidana, sedangkan dalam UU Pilkada baik pemberi maupun penerima sama-sama bisa dipidana.
Pengaruh lain pengaturan dalam dua UU berbeda, yaitu menguatnya fenomena yudisialisasi politik (judicialization of politics) dalam pengaturan pemilu. Yudisialisasi politik ialah kondisi ketika hakim dan pengadilan makin berpengaruh dan menjadi tumpuan dalam pembentukan aturan. Dalam hal ini, saat pembentuk undang-undang tidak membuat aturan sebagaimana diharapkan dan UU Pemilu tidak diubah, para pihak ramai-ramai pergi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji UU dan memperjuangkan pengaturan yang dikehendaki.
Hal itu dapat menjelaskan mengapa UU Pemilu dan UU Pilkada menjadi dua UU yang paling banyak diuji konstitusionalitasnya selama berdirinya MK. Tercatat di laman MK, UU 7/2017 tentang Pemilu sudah diuji lebih dari 151 kali dan UU Pilkada (UU 8/2015 dan UU 10/2016) sudah diuji lebih dari 116 kali.
Banyak uji materi yang dilakukan karena menginginkan adanya pemberlakuan pengaturan yang sama antara pemilu dan pilkada. Teladannya, pengujian persyaratan pencalonan mantan terpidana, kebolehan kampanye di tempat pendidikan, dan kewenangan pengawasan pilkada oleh Bawaslu.
Kodifikasi pengaturan
Pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada untuk memastikan pengaturan yang pasti, adil, dan demokratis telah melahirkan sejumlah putusan MK yang merekonstruksi berbagai variabel sistem, manajemen, aktor, dan penegakan hukum kepemiluan. Salah satu putusan MK yang fundamental bagi bangunan hukum pemilu Indonesia ialah Putusan No 55/PUU-XVII/2019 dan No 85/PUU-XX/2022.
Dua putusan MK itu tidak lagi mendikotomi pemilu dan pilkada dalam konstruksi rezim yang berbeda. MK menegaskan bahwa pilkada ialah pemilu. MK juga meminta pembentuk undang-undang untuk tidak acap kali mengubah pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilu. Melalui Putusan No 116/PUU-XXI/2023, MK berpendapat agar besaran ambang batas parlemen sebesar 4% dalam UU 7/2017 perlu segera dilakukan perubahan.
Penyatuan pilkada sebagai bagian dari pemilu dengan asas, prinsip, dan penyelenggara yang sama–KPU, Bawaslu, dan DKPP–membutuhkan tindak lanjut segera berupa sinkronisasi dan harmonisasi aturan. Definisinya, pengaturan pemilu dan pilkada tidak lagi dilakukan terpisah dalam dua undang-undang berbeda.
Kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah mendesak dilakukan untuk mencegah kebingungan dalam pelaksanaan pemilihan di lapangan, mewujudkan kepastian hukum, dan menjaga koherensi dalam tata kelola pemilu. Langkah itu dibutuhkan untuk mencegah terjadinya politisasi yudisial (politicization of the judiciary), yakni suatu kondisi di tengah maraknya praktik yudisialisasi politik dan aktor-aktor politik berusaha memengaruhi pengadilan untuk mendapatkan legitimasi hakim atas kepentingan politik partisan mereka. Karena itu, mendesak untuk diwujudkan pengaturan pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu kepala daerah, dan penyelenggara pemilu dalam satu naskah undang-undang yang terkodifikasi.
Kodifikasi pengaturan tersebut harus dilakukan melalui proses pembentukan yang (i) menyertakan partisipasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan secara bermakna, (ii) dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum aturan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan. Selain itu, (iii) memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas konsekuensi pilihan model sistem, manajemen, dan kelembagaan yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap dalam kerangka mewujudkan pemilu yang berkualitas serta (iv) memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berkualitas. Seluruh prasyarat tersebut secara eksplisit ditegaskan MK dalam Putusan No 114/PUU-XX/2022.
Semangat reformasi pengaturan kepemiluan tersebut telah terangkum pula dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Mengertin 2025-2045 yang tertuang dalam UU 59/2024 yang mana pembangunan demokrasi diarahkan pada terwujudnya demokrasi substansial yang mengemban amanat rakyat.
Demokrasi substansial akan dilaksanakan melalui arah kebijakan yang meliputi, antara lain penguatan lembaga demokrasi melalui perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu dengan melakukan kodifikasi UU mengenai pemilu dan UU mengenai pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, serta mewujudkan peran partai politik yang akuntabel melalui revisi UU mengenai partai politik.
Melalui kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada yang solid, konsisten, dan koheren, diharapkan akan tercipta kompetisi pemilu yang mampu menghasilkan pejabat publik yang kompeten dan berintegritas sebagai penyelenggaraan negara. Perbaikan substansi pengaturan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada.
Perbaikan dilakukan secara komprehensif mencakup aspek sistem pemilu beserta variabelnya, manajemen siklus pemilu, aktor-aktor pemilu (pemilih, penyelenggara, dan peserta), serta pengawasan dan penegakan hukum pemilu. Salah satu pintu masuk dalam melakukan penataan tersebut harus dimulai melalui pilihan keserentakan pemilu yang benar-benar tepat dan relevan dalam menopang pencapaian tujuan pemilu dan program pembangunan di Indonesia.
Model keserentakan
Sebagai penataan, secara substansial direkomendasikan agar pemilu serentak dilakukan dengan dua model. Pertama, pemilu serentak nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Kedua, pemilu serentak lokal untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal terdapat jarak penyelenggaraan selama dua tahun.
Pemisahan model keserentakan seperti itu bertujuan agar mesin partai selalu bekerja selama siklus lima tahunan pemilu. Pemilih juga secara berkesinambungan bisa terus mengevaluasi performa partai dan elite politik mereka di antara dua pemilu serentak yang berlangsung. Karena itu, senantiasa terbangun relasi konstituensi antara partai dan fungsionaris mereka dengan pemilih.
Berdasarkan evaluasi atas pelaksanaan pemilu dan pilkada pads tahun yang sama dan beririsan tahapan satu sama lain, penyelenggara pemilu menjadi sangat kerepotan akibat beban teknis dua pemilihan yang amat berat pada waktu bersamaan. Partai juga tidak optimal melakukan rekrutmen politik akibat agenda politik yang terlalu intens dan berhimpitan satu sama lain. Pragmatisme politik makin dominan dan politik gagasan sulit dihadirkan ke tengah-tengah masyarakat akibat partai dan pemilih yang mengalami kelelahan politik (political fatigue).
Selain model keserentakan, kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada mesti mengakomodasi perbaikan pengaturan yang menyeluruh. Beberapa hal krusial yang mendesak untuk dilakukan meliputi (i) evaluasi atas sistem pemilu DPR dan DPRD mutlak dilakukan agar dapat diperoleh pemilu yang lebih mudah untuk digunakan pemilih, menghindari banyaknya suara tidak sah (invalid votes), menyediakan insentif bagi kader partai untuk bisa terpilih, dan terwujud diskursus gagasan yang lebih kuat. Menimbang itu, tawaran sistem pemilu campuran jadi layak untuk serius dipertimbangkan
Lampau, (ii) pemanfaatan teknologi kepemiluan secara optimal untuk menopang tata kelola pemilu yang lebih berkualitas serta dipersiapkan serius melalui uji coba berulang dan audit sistem yang kredibel guna menghindari gangguan/serangan dan memastikan keamanan sistem yang digunakan.
Kemudian, (iii) evaluasi dan penguatan pengaturan pemilu di luar negeri dari aspek penyelenggara, teknis, dan penegakan hukum dalam rangka menghindari kompleksitas pelaksanaan, memastikan akurasi data pemilih, dan mencegah terjadinya kecurangan. Misalnya, metode pemberian suara via pos dilakukan jika ada permintaan langsung dari pemilih (by request), bukan diputuskan oleh PPLN.
Pun, (iv) penegakan hukum pileg, pilpres, dan pilkada perlu disinkronkan dari sisi kelembagaan, hukum acara, dan jenis sanksi agar tercipta kepastian hukum dan keadilan pemilu yang tidak ambigu.
Lampau, (v) rekrutmen penyelenggara pemilu dilakukan serentak sebelum dimulainya periode pemilu serta didesain dengan lebih independen agar menghasilkan penyelenggara yang profesional dan kredibel.
(vi) Sesuaiisasi keserentakan pelantikan pasangan calon terpilih dalam pilkada sehingga sejalan dengan isi pertimbangan hukum Putusan MK No 46/PUU-XXII/2024. Keserentakan pilkada diperlukan dalam rangka menciptakan efektivitas dan efisiensi kebijakan pembangunan antara pusat dan daerah.
Kemudian (vii) anggaran pilpres, pileg, dan pilkada bersumber dari APBN dan (viii) PPATK diberikan wewenang mengawasi dana kampanye disertai dengan aturan pembatasan transaksi tunai. Sejatinya, masih banyak hal yang perlu ditinjau ulang, tetapi usulan di atas merupakan proposal yang mendesak untuk diperjuangkan.
Kalau proposal reformasi pemilu tersebut bisa diwujudkan pemerintahan baru di bawah nakhoda Presiden Prabowo Subianto, keluhan demokrasi Indonesia yang sangat mahal dan melelahkan seperti dilontarkan Prabowo pada awal Maret 2024 bisa terurai dan mendapatkan penyelesaiannya.
Kita berharap kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah UU Pemilu bisa terwujud dan demokrasi substansial yang adil dan menyejahterakan bisa direalisasikan. Kita perjuangkan dan kawal bersama!