DALAM tiga hari terakhir, hujan mampir di kawasan tempat tinggal saya. Kebiasaanlnya ia datang sore menjelang malam. Jika tidak pernah lebih dari sejam, air yang tercurah dari langit lumayan untuk menyirami keladi dan selada di pekarangan yang selama ini mulai layu dilingkupi debu dan sengatan terik matahari. Kata lembaga pemantau cuaca, Indonesia kini mulai memasuki musim pancaroba, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Namanya baru peralihan, kondisinya tidak menentu, berubah-ubah. Kondisi ini biasanya disertai cuaca ekstrem berupa hujan lebat disertai angin kencang dan petir.
Sejauh ini di wilayah tempat tinggal saya alhamdulillah masih baik-baik saja. Tetapi, pada Jumat (3/11) lalu, di sejumlah wilayah di Bogor, Jawa Barat, hujan yang disertai petir dan angin kencang menyebabkan beberapa pohon tumbang serta merusak puluhan rumah. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), lembaga pemantau cuaca yang dipimpin Dwikorita Karnawati, itu pun sebetulnya telah mewanti-wanti warga untuk waspada terjadinya bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan tanah longsor.
Imbauan itu mesti dicermati, terutama oleh para pemangku kepentingan, jangan masuk telinga kanan keluar di telinga kiri. Jangan menyesal ketika bencana telah berubah jadi kubangan air mata. Kita kini hidup di era modern. Tafsir tunggal atas peristiwa yang terjadi di alam ini bukan lagi monopoli para tabib atau dukun-dukun kuno. Kita harus mendengarkan para ahli, terutama pakar lingkungan. Berbagai bencana alam, seperti kebakaran lahan dan hutan, banjir dan tanah longsor, menurut mereka, lantaran aktivitas manusia yang berlebihan dalam mengeksploitasi alam.
Ironisnya, sejauh ini tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dari para politikus terkait hal itu. Konferensi iklim yang sudah belasan kali diselenggarakan juga tidak lebih dari sekadar seremoni. Buktinya, Bumi kini malah semakin memanas, baik secara denotatif maupun konotatif. Luas lahan pertanian dan sumber daya alam yang kian menyusut, polusi, juga perang yang berkecamuk di sejumlah wilayah, merupakan wujud ambisi nafsu serakah manusia yang kian tidak terkendali.
Mungkin ini yang disebut penyair mistis Jawa, Ronggorwarsito, sebagai zaman edan. Di zaman semacam ini, kata pujangga dari Kasusunan Surakarta itu, agar bisa selamat manusia harus eling dan waspada. Ia memang bukan penafsir tunggal atas peristiwa yang terjadi di alam ini. Tetapi, nasihatnya secara tidak langsung berkorelasi dengan imbauan Dwikorita Karnawati yang memimpin lembaga pemantau cuaca itu. Minimal, kita sebagai warga, peduli terhadap kondisi lingkungan sekitar. Pangkas pohon yang sudah tinggi menjulang dan rapuh atau bersihkan sampah yang menyumbat comberan di depan rumah. Itu juga bagian dari sikap eling dan waspada.
Dalam Andas Besar Bahasa Indonesia (KBBI), selain mengacu pada kondisi cuaca, pancaroba juga dapat diartikan keadaan yang tidak menentu, termasuk kondisi sosial dan politik. Maksud konotatif itu mungkin juga selaras dengan kondisi yang sedang terjadi di negeri ini. Peta koalisi yang begitu cepat berubah serta naluri berkuasa yang menghalalkan segala cara dari sebagian para politikus mungkin dapat dibaca sebagai tanda-tanda ke arah itu. Ini tentu saja tafsir saya sebagai orang awam yang bukan dukun, apalagi pakar politik. Tetapi, sekali lagi, sebagai warga biasa, tidak ada salahnya kita untuk selalu waspada. Wasalam.