Memupus Perlawanan Ghufron

KIRANYA tidak salah mengatakan bangsa ini sedang mengalami krisis etika. Teladan buruk soal etika berkali-kali dipertontonkan justru oleh para elite dan pemegang jabatan tinggi di negeri ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara institusi dipercaya punya kredibilitas dan integritas tinggi pun nyatanya tidak kebal dari virus pengabaian etika ini.

Pekan lalu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memperlihatkan lagi dengan sangat gamblang contoh buruk itu. Awalnya dia diduga melanggar etik dalam proses mutasi pegawai di Kementerian Pertanian (Kementan). Perkara itu kemudian ditangani Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Tetapi, apa yang terjadi, ketika Dewas KPK memanggilnya untuk persidangan kasus tersebut, Ghufron malah sengaja mangkir.

Ghufron berdalih proses sidang etiknya di Dewas KPK terkait dengan dugaan penyalahgunaan wewenang di Kementan seharusnya tidak dilanjutkan karena sudah kedaluwarsa. Selain itu, ia juga berkilah tidak datang memenuhi panggilan sidang etik karena tengah mengajukan gugatan terhadap Dewas KPK ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan mengajukan uji materi peraturan Dewas KPK ke Mahkamah Akbar.

Cek Artikel:  Simsalabim Bunyi PSI

Orang yang diduga melanggar etik, kemudian sengaja mangkir dari panggilan sidang etik, bukankah itu membuat pengabaian etiknya menjadi berganda? Ibarat orang berbohong, sekali dia berbohong akan selalu diikuti oleh kebohongan-kebohongan berikutnya.

Ghufron tak ubahnya seperti para terduga atau tersangka korupsi yang selama ini kerap menghindar dari panggilan KPK dengan beragam dalih. Disebut tak beralasan karena sesungguhnya gugatan ke PTUN dan uji materi ke MA tidak menggugurkan kewajiban Ghufron menghadiri persidangan kode etik Dewas KPK.

Kagak ada sisi positif dari tindakan mangkir yang dilakukan Ghufron. Perlawanan dia terhadap Dewas KPK hanya makin menambah coreng di wajah KPK yang pada periode ini memang sudah coreng-moreng. KPK yang dulu bagaikan lembaga berwibawa, tegas, dan mendapat kepercayaan tinggi dari publik, belakangan berubah amburadul akibat ulah sejumlah pimpinan dan pegawai mereka yang tak memedulikan etika.

Dugaan tindak pemerasan oleh Firli Bahuri saat menjabat Ketua KPK dalam penanganan kasus korupsi di Kementan menjadi perkara paling menghebohkan tahun lalu. Sepanjang KPK berdiri, belum ada pucuk pimpinan lembaga itu yang terjerat kasus rasuah.

Cek Artikel:  Eling dengan Pancasila

Sebelumnya, komisioner KPK Lili Pintauli Siregar juga diduga melakukan pelanggaran etik dalam hal penerimaan fasilitas menonton Moto-GP Mandalika pada 2022. Tetapi, Lili mundur sebagai pimpinan KPK tepat di hari sidang putusan etik yang digelar Dewas pada Juli 2022. Ia memang lolos dari sanksi etik Dewas karena sidangnya tidak dilanjutkan. Akan tetapi, di mata publik, ia tetap akan dicatat sebagai pelanggar etik.

Lampau, belakangan Dewas membongkar praktik pungutan liar (pungli) di rumah tahanan (rutan) KPK yang melibatkan sedikitnya 78 pegawai. Atas desakan publik, KPK akhirnya memecat 66 orang di antara mereka yang masih bekerja di instansi tersebut.

Kini, Ghufron menambah daftar catatan buruk itu. Ia bahkan berani melawan Dewas yang dulu didirikan salah satunya untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Keberanian Ghufron salah alamat karena yang seharusnya dia lawan dengan gagah berani ialah para penjahat dan pencuri uang rakyat alias koruptor.

Cek Artikel:  Debat Capres bukan Alat Gosip

Pada akhirnya, KPK sebagai institusilah yang mesti menanggung beban. Lembaga itu, harus diakui, kini lebih menyerupai sapu kotor, bukan lagi sapu bersih. Ketiadaan keteladanan dari pemimpin membuat lembaga antirasuah itu menjadi lemah. KPK butuh pemimpin yang memiliki standar integritas tinggi, bukan pemimpin yang gampang melakukan pelanggaran.

Karena itu, perlu kiranya publik mendukung langkah-langkah yang dilakukan Dewas KPK untuk membersihkan lembaga tersebut. Setidaknya, coreng-coreng di muka KPK harus disingkirkan dulu sebelum melakukan pembenahan-pembenahan selanjutnya.

Dalam perkara Ghufron, kita perlu mendorong Dewas tidak gentar dengan berbagai gertakan dan alasan. Peradilan itu sudah menjadi sorotan publik dan perlu diputus dengan cepat. Sidang etik pada 14 Mei 2024 mendatang mesti jalan terus untuk memupus perlawanan Ghufron. Bila perlu, gelar sidang in absentia jika ia memilih untuk kembali mangkir.

Mungkin Anda Menyukai