Belajar dari Kesalahan

Belajar dari Kesalahan
(Dok. Pribadi)

DI Distrik Higashi Ogu, Aarakawa-ku, Tokyo, Jepang, terdapat sebuah restoran, yang para pelanggan tidak keberatan dan malah berbahagia menikmati pelayanan buruk.

 

Mereka tidak selalu mendapatkan apa yang mereka pesan. Pelanggan bisa saja memesan sushi, tetapi mereka akan mendapatkan ikan panggang. Memesan sup, tetapi mendapatkan pangsit di piring mereka.

 

Sebuah pemandangan biasa saat pelayan di restoran salah membawa makanan yang dipesan, atau bahkan meminum air minum yang semestinya harus mereka sajikan untuk pelanggan. Segala kesalahan itu bukanlah atraksi disengaja, melainkan kesalahan manusiawi yang dilakukan pelayan yang semuanya mengidap demensia.

The Restaurant of Mistaken Order— Restoran Salah Pesanan— digagas Shiro Oguni, sutradara televisi Jepang, dengan niat awal membangun kesadaran banyak orang dan menepis imaji buruk tentang orang dengan demensia melalui cara memupuk toleransi terhadap keadaan penderita dan memanusiakan mereka.

Meskipun restoran dikelola dan didesain untuk mengurangi kesalahan, di awal berdirinya, terjadi setidaknya 37% pesanan yang dilayani dengan salah. Tetapi, pada saat bersamaan, 99% pelanggan menyatakan bahagia dengan dengan makanan lezat yang mereka dapatkan.

Pada akhirnya, pelanggan menikmati berbagai kesalahan sebagai sebuah pengalaman belajar baru, yakni bagaimana menoleransi kesalahan, dan yang paling penting menjadikan kesalahan sebagai pengalaman belajar demi pemahaman lebih baik.

 

Menoleransi kesalahan

Dalam kerangka organizational learning, pembelajaran dari kesalahan dianggap sebagai komponen penting dalam proses pembelajaran. Ide dasarnya ialah bahwa organisasi dapat mengalami perkembangan positif melalui beragam pengalaman yang menjadi sumber pengetahuan baru.

Cek Artikel:  Haji Tapak Tilas Pemikiran Kemanusiaan Universal

Dalam konteks pendidikan, kesalahan sebenarnya memicu ingatan yang memacu respons yang lebih baik, merangsang pembelajaran yang lebih aktif, meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, dan memberikan wawasan kepada guru terkait dengan fokus pengajaran mereka (Metcalfe, 2017).

Belajar dari kesalahan mensyaratkan sebuah kondisi, yaitu keyakinan bahwa kesalahan-kesalahan bisa diterima dan kesalahan ialah sumber pengetahuan baru. Sekolah, sebagai organisasi, perlu memiliki kemampuan menoleransi kesalahan; keadaan dalam organisasi yang memungkinkan anggotanya berani mengambil risiko, mengupayakan solusi-solusi inovatif, dan mengembangkan pengetahuan tanpa rasa takut konsekuensi dihukum saat melakukan kesalahan (Edmondson, 2004).

Dalam konteks kelas, guru dan murid perlu memiliki mentalitas toleran terhadap kesalahan untuk menjamin keterlibatan aktif murid dalam pembelajaran dan eksplorasi berbagai solusi kreatif dan inovatif atas masalah yang mereka hadapi. Begitu guru dapat mempraktikkan toleransi terhadap kesalahan, sesungguhnya ia sedang memberi ruang bagi murid melakukan kesalahan, mengambil risiko untuk melakukan berbagai kesalahan dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan tanpa rasa takut.

Kemampuan menoleransi kesalahan bisa dimulai dari komitmen sekolah menjadi organisasi yang terus belajar. Standarnya, organisasi memberikan respons yang berbeda atas kesuksesan atau kegagalan/kesalahan. Kesuksesan akan diterima (hanya) sebagai validasi atas pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki organisasi sehingga perubahan atau pengembangan pengetahuan dan kemampuan baru cenderung bukan menjadi prioritas, atau bahkan dianggap tidak perlu dilakukan.

Padahal, kesalahan dan kegagalan memberi ruang bagi perbaikan dan pengembangan, selama sebuah organisasi mampu mengenali dan mengakui bahwa kesalahan atau kegagalan yang terjadi ialah bukti bahwa kemampuan atau pengetahuan yang dimiliki tidak lagi mencukupi sehingga perlu dikembangkan (Edmonson, 2011).

Cek Artikel:  Urgensi Koalisi Gagasan

 

Sekolah yang belajar

Kemampuan menoleransi kesalahan ialah bagian dari proses belajar. Ia memberikan ruang refleksi atas setiap pengalaman untuk kemajuan. Dalam praktik lima disiplin organisasi yang belajar (Senge: 2000), misalnya, ruang dan pengalaman dari kesalahan/kegagalan bisa dijadikan momen atau cara menimbang antara hasil yang diharapkan dengan pencapaian yang dihasilkan.

Kesenjangan antara harapan dan kenyataan menyediakan ketegangan kreatif yang menjadi asal refleksi perbaikan. Kemampuan mengelola ketegangan kreatif ialah bagian dari praktik disiplin personal mastery, yaitu keseimbangan menakar tujuan belajar yang diinginkan dan kemampuan yang dimiliki.

Kesalahan/kegagalan juga merupakan momen menguji komitmen dalam mencapai tujuan belajar yang disepakati bersama, sebuah visi yang ingin dicapai. Menoleransi kesalahan/kegagalan dalam mencapai tujuan belajar akan mendorong upaya menciptakan, menentukan strategi, prinsip-prinsip, dan pilihan praktik baru mencapai tujuan sehingga dalam prosesnya, praktik itu ialah kesempatan baik untuk menakar visi bersama (shared vision)dan mempertegas komitmen mencapainya.

Sementara itu, kemampuan organisasi menoleransi kesalahan ialah juga praktik untuk menumbuhkan dan memperkuat mental model/bangun mental pemaknaan dan kesadaran terhadap kesalahan itu sendiri. Apabila kesalahan/kegagalan dianggap sebagai aib, kesadaran bahwa ia ialah sumber belajar yang dapat membawa perbaikan tidak berpeluang tumbuh.

Pemaknaan ulang kesalahan/kegagalan sebagai tacit knowledge yang berbeda dalam setiap individu dapat dilakukan dengan menyediakan ruang yang nyaman terhadap kesalahan/kegagalan. Ruang tempat guru atau murid dapat melakukan evaluasi, refleksi, dan mempertanyakan berbagai kesalahan/kegagalan dengan nyaman dan terbuka.

Cek Artikel:  Tionghoa dan Tiongkok dalam Dinamika Nahdlatul Ulama NU

Lebih jauh, bangun mental yang tumbuh dari lingkungan dialogis dan positif semacam ini dapat menjadi titik awal kerja sama perbaikan proses pembelajaran di sekolah. Di kelas, saat semua murid dan guru menyepakati bangun mental dan memiliki persepsi yang sama atas kesalahan/kegagalan sebagai asal belajar dan memberikan ruang toleransi terhadapnya, mereka akan merasa berada dalam perjalanan belajar yang sama dengan berbagai peran berbeda, yakni sebuah praktik disiplin team learning

.

Terakhir, praktik berpikir sistemis mengakui kesalahan/kegagalan sebagai bagian alami dari proses pembelajaran, memungkinkan kemampuan melihatnya dalam konteks sistemis yang lebih luas daripada kejadian terpisah. Begitu pencapaian belajar tidak sesuai target, pendekatan itu menempatkan masalah tersebut dalam kerangka kerja manajemen sekolah yang kompleks.

Itu melibatkan evaluasi metode pengajaran guru, pertimbangan latar belakang dan situasi keluarga siswa, serta dukungan fasilitas sekolah. Tujuannya ialah agar guru, siswa, dan sekolah dapat merespons kesalahan/kegagalan dengan cara yang tidak reaktif, berfokus pada solusi jangka pendek, dan berusaha mencegah kesalahan/kegagalan serupa di masa depan melalui strategi dan kebijakan yang tepat.

Kesalahan dan kegagalan ialah bagian dari proses belajar. Berangkat dari semangat Restoran Salah Pesanan, saat semua orang bisa belajar menikmati, memahami, dan menoleransi kesalahan pesanan makanan mereka, mungkin kita bisa mengelola sekolah dengan cara pandang baru, yakni bahwa dalam setiap kesalahan dan kegagalan, semestinya selalu tersedia asal peluang mendapatkan pengetahuan dan pemahaman baru.

Mungkin Anda Menyukai