Ilustrasi emas. Foto: MI/Usman Iskandar.
Jakarta: Harga emas (XAU/USD) terus mengalami pelemahan pada perdagangan Senin (7/10), dibuka pada level psikologis USD2.650-an setelah penurunan yang signifikan di akhir pekan lalu.
Pada Jumat (4/10), emas sempat tertekan hingga ke level USD2.650 karena para investor lebih memilih menjual aset berisiko dan beralih ke dolar Amerika Perkumpulan (AS) yang menguat tajam akibat data pasar tenaga kerja AS yang kuat.
“Pergerakan harga emas ini masih berada di bawah bayang-bayang pelemahan jangka pendek, terutama setelah laporan Nonfarm Payrolls (NFP) AS yang menunjukkan peningkatan signifikan di berbagai indikator,” ucap analisis dari Dupoin Indonesia Andy Nugraha, dikutip dari analisis hariannya, Senin, 7 Oktober 2024.
Berdasarkan indikator Moving Average yang terbentuk saat ini, Nugraha mencatat tren bullish emas mulai memudar. Indikator ini memberikan sinyal tekanan bearish bisa terus berlanjut dalam waktu dekat.
Ia memproyeksikan harga emas (XAU/USD) memiliki potensi untuk turun lebih lanjut hingga mencapai level USD2.625. Tetapi, apabila harga gagal menembus support ini dan mengalami rebound, harga diperkirakan bisa kembali naik dengan target terdekat di sekitar USD2.667.
“Potensi pergerakan emas hari ini sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor teknikal dan fundamental. Di satu sisi, secara teknikal, tren bearish yang mulai terbentuk menambah kekhawatiran emas akan terus terkoreksi. Tetapi, ada kemungkinan pemulihan jika terjadi rebound yang didukung oleh kekuatan beli dari para trader yang masih melihat emas sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian global,” urai dia.
Tertekan laporan penambahan tenaga kerja AS
Laporan Nonfarm Payrolls (NFP) AS untuk September menjadi salah satu faktor utama yang membebani harga emas saat ini. Laporan tersebut menunjukkan adanya penambahan 254 ribu karyawan baru, jauh di atas ekspektasi pasar yang hanya sebesar 140 ribu, serta lebih tinggi dari revisi data Agustus yang mencapai 159 ribu. Selain itu, tingkat pengangguran AS turun ke 4,1 persen, lebih rendah dari 4,2 persen pada bulan sebelumnya, serta lebih baik dari prakiraan.
Pusingkatan ini juga didukung oleh kenaikan penghasilan per jam rata-rata yang tumbuh 4,0 persen secara tahunan, lebih tinggi dari revisi bulan sebelumnya yang mencapai 3,9 persen. Data ini mengisyaratkan pasar tenaga kerja AS dalam kondisi sehat dan kuat, memberikan indikasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) tidak akan segera menurunkan suku bunga secara signifikan dalam waktu dekat.
“Hal ini memperkuat posisi dolar AS dan menekan harga emas, yang cenderung melemah ketika ekspektasi penurunan suku bunga berkurang,” jelas Nugraha.
Kendati data NFP memberikan tekanan pada harga emas, potensi penurunan emas mungkin akan terbatas. Hal ini disebabkan oleh arus safe haven yang didukung oleh meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
(Ilustrasi pergerakan harga emas. Foto: dok Bappebti)
Menurut dia, ketegangan ini meningkat setelah Israel diperkirakan akan melancarkan serangan balasan terhadap Iran, menyusul serangan rudal yang diduga diluncurkan oleh Iran untuk membalas kematian Hassan Nasrallah, kepala kelompok Hizbullah yang didukung Iran.
“Ketidakpastian ini membuat beberapa investor tetap beralih ke emas sebagai aset aman, yang dapat membatasi penurunan lebih lanjut,” terangnya.
Menurut Nugraha, faktor geopolitik ini bisa memberikan dukungan tambahan bagi harga emas, terutama jika ketegangan di Timur Tengah semakin meningkat. Meski demikian, investor tetap harus waspada karena faktor penguatan dolar AS dan potensi kebijakan moneter The Fed yang lebih ketat masih menjadi tantangan utama bagi emas dalam jangka pendek.
“Secara keseluruhan, emas menghadapi tekanan dari dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, data ekonomi AS yang kuat dan penguatan dolar AS cenderung menekan harga emas. Di sisi lain, ketegangan geopolitik di Timur Tengah memberikan dukungan bagi emas sebagai aset safe haven,” tutup Nugraha.