Peneguhan Poros Islam Wasatiah Dunia Kontribusi Muhammadiyah, NU, dan UIII

Peneguhan Poros Islam Wasatiah Global: Kontribusi Muhammadiyah, NU, dan UIII
(Dok. Pribadi)

BELUM lama ini, 14 muslim/muslimah dari Australia yang tergabung dalam program AIMEP (Australia Muslim Exchange Program) mengunjungi Universitas Islam Global Indonesia (UIII). Delegasi AIMEP berdiskusi dengan pimpinan, dosen, dan mahasiswa UIII dari mancanegara. Menurut Rektor UIII Komaruddin Hidayat, untuk tahun ketiga ini pendaftar sekitar 2009 orang dari 61 negara, dan yang akan diterima hanya 250 orang dengan skema beasiswa penuh.

Kampus UIII tahun ini menjadi salah satu destinasi yang dikunjungi oleh delegasi AIMEP dari Australia untuk belajar dan mencandra Islam Indonesia. Dari tahun ke tahun, yang tidak akan pernah absen dikunjungi oleh delegasi AIMEP maupun oleh tamu luar negeri yang ingin mengenal Islam Indonesia ialah Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU), baik kantor pusatnya maupun lembaga pendidikannya. Dua ormas besar Islam yang dikenal dan terbukti tangguh (robust) mengawal dan melintasi segala zaman dalam dinamika pergumulan (interplay) antara Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jikapun keduanya memiliki banyak perbedaan, terutama dalam praktik ibadah (furuiyah), mereka satu gerak seirama dalam hal muamalah dan beberapa prinsip-substantif untuk kemaslahatan dan keutuhan bangsa. Seperti mencari titik temu hubungan Islam dan negara, Islam dan demokrasi, atau Islam dan Pancasia. Sebagai contoh, Muhammadiyah menafsirkan Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi wa Al-syahadah (Negara Konsensus dan Kesaksian). Eksispun NU berpandangan bahwa Pancasila adalah Mu’ahadah Wathaniyah (Kesepakatan Kebangsaan). Bahkan keduanya tak segan mengadopsi kemajuan peradaban Barat, terutama dalam dunia pendidikan. Dalam satu kesempatan, pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan pernah berujar, “Musuhilah Barat sebagai penjajah. Tetapi, jadikanlah Barat sebagai teman berdialektika dalam membangun peradaban.”

Maka tak mengherankan, ketika hubungan Islam dan Barat jatuh dalam titik nadir setelah aksi terorisme 9/11, Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim dan memilih jalan demokrasi pascareformasi terpanggil untuk menjadi jembatan antara peradaban Islam dan Barat. Muhammadiyah dan NU kala itu menjadi aset strategis dalam politik luar negeri Indonesia.

Oleh karena itu, dalam dua dekade terakhir, kedua ormas Islam ini dikenal sebagai dua pilar Islam wasatiah atau Islam moderat yang konsisten mempromosikan nilai-nilai perdamaian, mengedepankan dialog, dan membangun kerja sama intensif dengan berbagai kelompok dari lintas negara, lintas budaya, dan terutama lintas iman (interfaith dialogue).

MI/Seno

 

Autentisitas Islam Indonesia dan kekokohan masyarakat Madani

Menurut begawan Islam dan demokrasi yang tahun lalu baru saja meninggalkan kita semua, Azyumardi Azra, jauh sebelum terjadinya Peristiwa 9/11, Menteri Keyakinan Republik Indonesia Tarmizi Taher (1992-1997), misalnya, sangat tekun mengampanyekan Islam Indonesia sebagai contoh aktualisasi ummatan wasathan dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam pada masa kontemporer. Gagasan umatan washatan yang dikembangkan oleh Tarmizi Taher, menurut Azra (1989), berlandaskan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143.

Azra (1998) menambahkan, Tarmizi Taher menafsirkan ayat itu bahwa umat Islam adalah umat yang menghindari semua tindakan yang melampaui batas atau esktremisme dan mengikuti cara moderat dalam usaha-usahanya. Itulah cara Islam.

Cek Artikel:  Kontemplasi Migrasi Kerja Dunia

Karya-karya Tarmizi Taher mengenai umatan wasathan sendiri diterbitkan hingga dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab, dan Inggris) dalam buku Aspiring for the Middle Path: Religious Harmony in Indonesia (1997). Aktualisasi penting wasatiah (tengah-tengah/moderat) di Indonesia terlihat dalam dasar negara. Para pendiri bangsa (founding fathers) bersepakat menjadikan Indonesia bukan sebagai negara sekuler, sekaligus juga bukan negara berdasarkan agama Islam (walaupun mayoritas). Wasatiah menurut Azra (2010) terlihat dalam Pancasila sebagai kalimatun sawa atau common platform di antara suku bangsa yang majemuk.

Eksispun pada level kemasyarakatan, Azra (2010) melihat umatan wastahan terwujud dalam berbagai organisasi besar Islam yang umumnya berdiri jauh sebelum kemerdekaan RI. Seperti Muhammadiyah dan NU, yang keduanya mengambil ‘jalan tengah’ (moderat) bukan hanya dalam hal pemahaman dan praksis keagamaan, tetapi juga dalam sikap sosial, budaya, dan politik. Dalam konteks politik, kita mengetahui keduanya menghindari politik praktis dan menjaga jarak yang sama dengan partai politik mana pun yang berebut kekuasaan dalam pemilu lima tahunan.

Sikap mandiri dan menjaga jarak dengan politik praktislah yang membuat Muhammadiyah dan NU menjadi masyarakat madani (civil society) yang kokoh (robust) dan bertahan hingga saat ini, bahkan menjadi kekuatan civil Islam dalam proses transisi demokrasi pada 1998 (Hefner, 2002). Selain itu, keduanya menjadi elemen penting dalam menggulingkan rezim otoriter di Indonesia yang berkuasa selama puluhan tahun.

Berkaitan dengan pentingnya kekokohan (robustness) masyarakat madani, kita bisa melihat studi Eva Bellin (2012) tentang kuatnya rezim otoritarianisme di Timur Tengah, yang menemukan beberapa penyebab mengapa rezim otoriter di Timur Tengah sangat kuat. Pertama, negara-negara Timur Tengah kaya akan sumber daya alam. Hal tersebut dipertahankan oleh negara adidaya karena saling menguntungkan (menyuplai energi untuk negara adidaya tersebut) sehingga cenderung dibiarkan melanggengkan rezimnya.

Kedua, dengan adanya sumber keuangan yang mapan karena energi yang berlimpah tersebut, mereka berhasil mendapatkan dukungan internasional untuk mempertahankan rezimnya.

Ketiga, adanya aparat negara yang koersif di lembaga-lembaga negara yang merupakan alat rezim. Dan, terakhir, karena di beberapa negara Timur Tengah, kelompok masyarakat madani cenderung lemah sehingga kurangnya mobilisasi sosial dalam masyarakat untuk melawan rezim otoriter. Oleh karena itu, masyarakat di beberapa negara Timur Tengah tidak memiliki social capital yang mumpuni untuk menggulingkan rezim otoriter dan menata transisi demokrasi.

Di tengah ancaman menurunnya kualitas demokrasi (regression of democracy), ketika dalam beberapa tahun terakhir maraknya cohesive ruling elite, yaitu elite yang cenderung menikmati kekuasaan bersama-sama tanpa ada yang mau menjadi oposisi dan mengabaikan aspirasi warga negara (Levitsky dan Way 2022). Muhammadiyah dan NU tampil di depan sebagai kelompok penekan (pressure group) bagi negara. Sebagai contoh, dalam kasus konflik agraria di Rempang dewasa ini, keduanya kompak mendorong pemerintah meninjau kembali proyek tersebut agar menghindari cara-cara kekerasan dan mencari solusi bersama dan melindungi kepentingan rakyat kecil.

Cek Artikel:  Memunggungi Demokrasi Substansial

 

Pendirian UIII dan konsepsi nasional

Keberadaan Muhammadiyah dan NU menjadikan Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk muslim bercorak Islam wasatiah yang genuine dan autentik. Karena lahir dari kelompok masyarakat madani yang mandiri dan teruji durabilitasnya di tengah pancaroba politik, maka dengan modal sosial tersebut, pada 2018 Presiden Joko Widodo mengajak ulama dunia bersatu untuk membentuk poros wasatiah Islam dunia. Agenda besar yang dipimpin oleh Utusan Tertentu Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Keyakinan dan Peradaban (UK DKAAP) Din Syamsuddin (Ketua Standar PP Muhammadiyah 2005-2010 dan 2010-2015) tersebut melahirkan Bogor Messages, yakni tujuh poin yang menjadi pijakan bagi pembentukan poros Islam wasatiah dunia.

Ketujuh poin tersebut ialah tawassut, posisi di jalan tengah atau jalan lurus; i’tidal, berperilaku proporsional, adil, dengan tanggung jawab; tasamuh, mengenali dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan; syura, mengedepankan konsultasi dan menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus; islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama; qudwah, merintis inisiatif mulia dan memimpin umat untuk kesejahteraan manusia; dan muwatonah, mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan.

Di samping konferensi tingkat tinggi (KTT) di atas, untuk meneguhkan Indonesia sebagi poros Islam wasatiah global, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No 57/2016 tentang Pendirian Universitas Islam Global Indonesia (UIII) pada 29 Juni 2016. Ini merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) di atas lahan 142,5 hektare di Cimanggis, Depok.

Pendirian UIII, jika dilihat dari kacamata kajian kebijakan luar negeri, merupakan pengejawantahan dari konsepsi nasional Indonesia dalam dua dekade terakhir. Konsepsi nasional memperlakukan pengalaman sejarah sebagai faktor yang dapat menjelaskan konsepsi peran negara saat ini (Beneš dan Harnisch 201), serta dengan pendekatan konsepsi nasional kita bisa melihat agenda kebijakan luar negeri suatu negara dalam mengartikulasikan statusnya (Karim 2018).

Apabila dalam periode kepemimpinan Megawati dan SBY, Islam moderat atau Islam wasatiah hanya merupakan ‘brand image’ sebagai negara muslim terbesar yang seiring sejalan dengan demokrasi dan menjadi jembatan antara Barat dan Islam, maka dalam 10 tahun terakhir Indonesia berusaha menjadikan dirinya berperan sebagai negara yang berstatus middle power, di antaranya sukses menjadi tuan rumah G-20 pada 2022, menghelat event internasional (Moto-GP), dan pada tahun ini menjadi Ketua ASEAN. Maka, pendirian UIII dapat diartikan merupakan bagian dari peneguhan Indonesia sebagai poros Islam wasatiah global untuk meningkatkan kapasitas pengaruh diplomasi (diplomatic influence), khsusnya di dunia muslim. Dengan visi UIII, yakni menciptakan dunia yang lebih baik melalui pendidikan pascasarjana yang unggul dan penelitian tentang Islam dan masyarakat di dunia muslim.

Cek Artikel:  Pemilu dan Isu Kesehatan

Oleh sebab itu, Indonesia memiliki kepentingan untuk terus meneguhkan diri sebagai negara mayoritas muslim yang mempromosikan demokrasi, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menginisiasi perdamaian baik di tingkat regional dan global, serta mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Bagi sebagian dan bahkan mayoritas dunia muslim, nilai-nilai tersebut masih harus diperjuangkan dengan susah payah bahkan dengan konflik berdarah-darah.

Hingga saat ini, menurut data The Economist Intelligence Unit 2021, dilihat dari berbagai variasi sistem pemerintah, Indonesia, Malaysia, dan Tunisia menempati kategori sebagai tiga negara muslim teratas dengan skor demokrasi tertinggi walaupun belum sepenuhnya masuk kategori demokrasi yang sempurna yakni di atas 6% (Zulfadli 2022).

Eksispun negara-negara berpenduduk muslim lainnya rata-rata masih di bawah 5%, baik itu yang masuk kategori pemerintah otoriter (authoritarian regime), lalu pemerintah campuran yaitu mereka mengaku rezim demokratis tapi masih melakukan kecurangan pemilu, pembungkaman pers dan pelemahan oposisi, serta pelanggaran HAM (hybrid regime), dan terakhir pemerintahan yang demokratis tapi belum sepenuhnya sempurna (flawed democracy).

Dalam kategori yang terakhir ini biasanya masih ditemukan beberapa kasus yang berkaitan dengan ancaman kebebasan beragama, main hakim sendiri (vigilante violence), dan beberapa kasus intoleransi. Tetapi, secara umum bisa dikatakan sudah on the track dalam proses konsolidasi demokrasi.

Dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros Islam wasatiah dunia, pendirian UIII bagaikan kepingan puzzle kecil untuk melengkapi kontribusi besar dan nyata yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dalam dua dekade terakhir. UIII memiliki misi besar untuk fokus menjadi center par excellence dalam dunia riset dan publikasi. Menjadi rujukan bagi akademisi dunia dan mahasiswa dari berbagai negara yang ingin mengkaji Islam dan dunia muslim dalam beberapa dekade ke depan.

Tantangan ke depan dalam misi besar ini, seperti yang sudah disampaikan oleh Dewi Fortuna Anwar (2010) pada 13 tahun yang lalu, ialah ilmu pengetahuan yang otoritatif melalui publikasi ilmiah yang dapat diakses oleh masyarakat dunia. Secara sederhana, dalam konteks konsepsi nasional di atas, pendirian UIII adalah untuk melihat sejauh mana Indonesia dapat berkontribusi pada dunia (terutama dunia muslim) dan bagaimana dunia melihat Indonesia saat ini (Vermonte, 2022). Selain merupakan salah satu legasi terbaik pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan Jokowi-Ma’aruf Amin, UIII dapat memperkuat Muhammadiyah dan NU untuk meneguhkan Indonesia menjadi poros Islam wasatiah global dalam dunia riset dan publikasi. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan wacana poros maritim dunia yang pelan-pelan ditelan masa.

Mungkin Anda Menyukai