Meneguhkan Supremasi Hukum dan Penegakan Etika

Meneguhkan Supremasi Hukum dan Penegakan Etika
Ilustrasi MI(MI/Duta)

IMMANUEL Kant (1724-1804), filsuf populer dari Jerman, pernah membedakan antara hukum dan etika. Kant berfilosofi, “Dalam hukum seorang bersalah ketika ia melanggar hak orang lain. Dalam etika dia bersalah jika ia hanya berpikir untuk melakukannya.”

Pandangan dikotomis hukum-etika tersebut layak dikutip terkait dengan fenomena pelanggaran hukum dan etika. Kedua jenis pelanggaran itu mengemuka dengan dipicu banyaknya kasus hukum dan pelanggaran etika akhir-akhir ini di Indonesia, terutama menjelang pemilihan presiden (pilpres). Kasus menonjol ialah pelanggaran etika di Mahkamah Konstitusi (MK).

Seusai Majelis Kehormatan MK (MKMK) memutus Ketua MK Anwar Usman melanggar etika tatkala mengabulkan gugatan batas usia minimal capres-cawapres, bergaung desakan pembatalan salah satu figur cawapres.

Sewajarnya MK membatalkan legitimasi putusan meloloskan cawapres berdasar putusan yang tak beretika pula. Putusan hukum itu patut diragukan setelah Ketua MK terbukti melakukan pelanggaran etik berat.

Sementara itu, kasus pelanggaran hukum berupa korupsi, misalnya, banyak dilakukan pejabat. Pada semester pertama 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 2.707 laporan dugaan korupsi di kementerian/lembaga, pemerintah daerah, serta BUMN dan BUMD.

Dengan merujuk pandangan filosofis Kant, pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) telah melanggar hak orang lain dan harus dihukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Denda dijatuhkan dengan objektif agar menimbulkan efek jera mencegah pihak lain melakukan tindakan serupa. Pelaku tipikor dihukum penjara selama bertahun-tahun, seumur hidup, bahkan hukuman mati sesuai dengan kadar kesalahannya. Hukuman bagi pelaku korupsi diatur dalam UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan sinergis dengan KUHP.

Cek Artikel:  Ketulusan Mengelola Negara

 

Kecewakan publik

Masyarakat berharap pelaku tipikor dihukum berat. Sayangnya, sanksi hukum bagi pelaku tipikor acap mengecewakan publik. Hukuman jauh dari objektivitas memicu pelanggaran serupa oleh pejabat publik lainnya.

Akibatnya, upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi belum menunjukkan tren membaik. Apalagi pengusutan kasus tipikor oleh pejabat publik diduga dibumbui aroma politik demi kepentingan pihak tertentu.

Pemerintah seolah kehilangan momentum melakukan koreksi atau refleksi diri terhadap upaya pemberantasan korupsi. Tak mengherankan secara global pemberantasan korupsi Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain berdasarkan berbagai ukuran.

Apabila merujuk corruption perception index (indeks persepsi korupsi/IPK), misalnya, pada 2022 Indonesia hanya meraih skor 34 di peringkat ke-110 dari 180 negara. Posisi itu merosot empat poin dari 2021 sekaligus menurun dramatis sejak 1995 dan skor terendah sejak 2015.

Sejak IPK diluncurkan pada 1995, Indonesia merupakan salah satu negara yang dipantau terus kasus korupsinya oleh Transparency International (TI). Berdasarkan IPK 2022, Indonesia dinilai TI menghadapi masalah dan tantangan serius dalam melawan korupsi.

‘Prestasi’ Indonesia sekadar mampu meningkatkan skor CPI sebesar dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Hal itu menunjukkan respons terhadap praktik tipikor cenderung melemah dan kian memburuk akibat minimnya dukungan pemerintah.

 

Di bawah Timor Leste

Karena itu, pemerintah harus mampu menciptakan momentum yang pas agar segera dapat diambil langkah strategis. Langkah itu diperlukan untuk memperbaiki martabat bangsa Indonesia di depan mata internasional.

Cek Artikel:  Mencari Ruang Kondusif Digital bagi Perempuan

Di tingkat regional pun Indonesia menanggung malu.

Di antara negara di Asia Tenggara (ASEAN), eradikasi tipikor Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan negara lainnya. Yang paling memalukan, posisi IPK Indonesia di bawah Timor Leste.

Pusingkatan reputasi Indonesia sangat urgen karena kini hampir semua negara maju memasuki koridor pencegahan korupsi berfokus sektor swasta untuk meningkatkan integritas dunia usaha. Sementara itu, Indonesia tak beranjak dari kasus korupsi pejabat publik.

Kondisi runyam korupsi sepatutnya menjadi fundamen yang kuat bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pemberantasan korupsi. Tingginya intensitas kasus tipikor perlu diiringi dengan tekad menjunjung tinggi supremasi hukum dan etika.

Supremasi hukum (law’s supremacy) harus diartikulasikan sebagai penempatan hukum pada tingkat tertinggi. Pemberantasan korupsi bebas dari intervensi politik seraya menegakkan hukum di posisi tertinggi yang bertujuan melindungi kepentingan masyarakat.

Supremasi hukum berperan strategis mengatasi kepentingan politik di Indonesia. Kepentingan politik semisal dapat dilihat dari keberhasilan pemerintah dalam merevisi UU KPK atau berbagai aturan lain yang justru membuka pintu kesempatan lebar bagi pelaku tipikor.

Revisi UU KPK pada 2019 berdampak serius bagi kedudukan lembaga yang semula powerful menjadi kian lemah. Hasil kesepakatan pemerintah-legislatif untuk memasukkan pasal-pasal dalam revisi UU KPK bahkan dinilai kontroversial karena mengandung unsur pelemahan.

Selama 20 tahun sejak didirikan 29 Desember 2003, KPK berperan penting dalam eradikasi korupsi sekaligus sebagai role model bagi semua lembaga yang berpegang teguh pada prinsip integritas. Tetapi, reputasi tersebut memudar karena berbagai kasus pelanggaran etika.

Cek Artikel:  Tantangan Meniti Jalur Kesetaraan Gender

 

Kasus pelanggaran etika

Tak sekadar pelanggaran hukum, melunturnya warna indah KPK sebagai role model etika berdasarkan nilai-nilai moral dan integritas ditandai munculnya berbagai kasus pelanggaran etika. Pelanggaran itu justru menyeret pimpinan yang kian menjauhkan KPK dari ekspektasi ideal.

Kasus dugaan pemerasan pimpinan KPK terhadap mantan menteri pertanian, misalnya, merupakan tindakan tak terpuji. Kasus pemerasan itu telah masuk ke tahap penyidikan di kepolisian. Masyarakat berharap aparat hukum menghasilkan putusan seadil-adilnya.

Sebagai upaya penegakan supremasi hukum dan etika guna mewujudkan kebenaran dan keadilan, pemerintah harus menempatkan diri secara tegas berdasar konstitusi UUD 1945 yang menyatakan Indonesia sebagai negara hukum.

Sementara itu, sebagai salah satu lembaga penegak hukum, pimpinan dan insan KPK serta lembaga lainnya harus bekerja secara ideal. Terjaminah dijalankan berpegang teguh pada nilai-nilai dasar, kode etik, dan perilaku yang membentengi pelaksanaan tugas dan pekerjaan mereka.

Aparat dan pejabat birokrasi pemerintahan tak boleh ketinggalan untuk memberikan penguatan dan penegakan etika. Teringat pada 2022 tatkala ada seorang menteri yang dinilai telah melakukan pelanggaran etika.

Demi anak, seorang menteri melakukan kampanye terselubung, yakni sharing minyak goreng gratis untuk konstituen. Itu melanggar etika. Aksi menteri seolah mengajak masyarakat memilih calon pemimpin sekadar alasan material, tetapi tak berdasarkan ide dan komitmen.

Meneguhkan supremasi hukum dan penegakan etika sangat penting, apalagi memasuki masa kampanye pilpres akhir November ini. Sesuai dengan pandangan Kant, jangan ada pelanggaran hak orang lain dan beraksi hanya untuk kepentingan sendiri atau kelompok.

Mungkin Anda Menyukai