Liputanindo.id MAKASSAR – Fenomena gugatan pers yang terjadi di tengah masyarakat seringkali menimbulkan upaya membangkrutkan perusahaan media.
Hal itu diungkapkan Pengamat Media Siber UIN Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad, saat menjadi narasumber dalam diskusi publik di Hotel Arthama, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu, 20 Maret 2024.
Prof Firdaus mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kecemasan yang berlebihan. Meskipun demikian, dia juga mengakui bahwa energi yang terkuras dalam menghadapi situasi tersebut bisa berdampak negatif bagi perusahaan.
“Jadi, saya juga bertanya-tanya. Tingkat kerugian yang dialami itu, Rp700 miliar, Rp100 miliar setiap orang itu terlalu besar,” katanya.
Prof. Firdaus menyarankan untuk mengklarifikasi informasi yang tidak benar dan menggunakan hak jawab jika merasa dirugikan.
“Bangkrut itu bukan tentang berapa kerugian nominal, susahnya kita membangun media dan terverivikasi dewan pers, dan semau-maunya menyebut angka sekian ratus miliar,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perlunya mitigasi dan edukasi bagi media untuk meningkatkan pemahaman terhadap isu tersebut. Ia juga menekankan pentingnya kerja sama dengan pihak seperti kepolisian dalam menghadapi bahaya tersebut.
Pengamat Hukum Unhas Makassar, Prof. Judhariksawan, mengatakan bahwa banyak masyarakat yang merasa mekanisme yang disediakan oleh sistem seringkali tidak memberikan kepuasan yang diharapkan. Sebagai akibatnya, mereka sering kali mengambil langkah hukum untuk menyelesaikan gugatan pers yang terjadi.
“Secara hakikatnya, kalau ada karya jurnalistik yang bermasalah, maka kita sendiri sudah memberikan satu keistimewaan dalam sistem bagi pers,” katanya.
Menurut Judhariksawan, seharusnya sistem telah memberikan keistimewaan bagi pers dalam menyelesaikan kasus-kasus yang muncul dalam karya jurnalistik. Salah satu mekanisme yang menjadi fokus adalah hak jawab atau pengaduan kepada dewan pers.
“Pers memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung demokrasi sebagai kekuatan keempat. Negara telah menyepakati untuk menjaga integritas pers sebagai pilar utama dalam penyampaian informasi yang akurat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Judhariksawan menekankan perlunya penguatan sistem perlindungan pers untuk melindungi pers dari upaya kriminalisasi.
Hal itu menurutnya, tidak hanya untuk menjaga demokrasi tetapi juga memastikan pers dapat menjalankan perannya sebagai pemberi informasi yang benar dan akurat.
“Oleh karena itu, untuk menjaga pers dari upaya kriminalisasi. Yang harus diperkuat adalah sistem perlindungan pers,” jelasnya.
Tantangan lainnya yang dihadapi adalah dalam penerapan kode etik jurnalistik yang berlaku. Pers perlu konsisten dalam menjaga kebenaran dan akurasi dalam setiap informasi yang disampaikan kepada masyarakat.
Diharapkan dengan adanya perhatian yang lebih serius terhadap mekanisme penyelesaian gugatan pers, masyarakat dapat lebih puas dengan pelayanan yang diberikan oleh sistem dan pers dapat menjalankan fungsinya dengan lebih efektif dalam mendukung demokrasi. (KEK)