RAMAINYA bursa calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Jakarta, menggema hingga ke pelosok negeri tak terkecuali di Papua. Di kalangan akademisi, aktivis partai dan masyarakat sipil muncul pertanyaan, apa arti dan manfaat Pilpres 2024 untuk Papua.
Realitas politik menunjukkan selama 20 tahun terakhir konflik dan kekerasan masih mewarnai beberapa wilayah, bahkan intensitas dan kompleksitasnya semakin ruwet. Saban hari Papua berlumuran darah dan tangisan yang membasahi bumi Cenderawasih.
Dari anak–anak bangsa seperti TNI/ Polri, masyarakat biasa, tenaga medis, guru, ASN, pedagang, tukang ojek hingga KKB. Lagi juga menyisakan PR sandera pilot Susi Air yang sudah 10 bulan tak kunjung dibebaskan, tak tahulah seperti apa nasibnya.
Kasus penyanderaan telah memberikan dampak buruk terjadi pengungsian besar–besaran di wilayah Pegunungan Tengah, memprihatinkan kita bersama. Selain itu kemiskinan dan kesenjangan menjadi masalah akut yang membahayakan masa depan keberlangsungan eksistensi kehidupan Orang Asal Papua (OAP).
Konflik dan kekerasan serta kemiskinan, stunting, dan kesenjangan grafiknya semakin tinggi. Bahkan menurut sebagian kaum cerdik pandai, kekhawatiran terhadap realitas sosial derasnya arus migrasi dari luar pascaterbentuk daerah otonomo Papua (DOB), semakin masif dan memacu akselarasi marginalisasi di Papua.
Dengan adanya kecurigaan migrasi dan DOB merupakan desain terselubung di balik kebijakan politik kependudukan Pemerintah untuk Papua. Suatu nada keprihatinan dan apatisme, sebab belum adanya program perlindungan atau proteksi yang dapat mengeliminasi kekhawatiran itu.
Konflik dan kekerasan, kemiskinan, stunting dan kesenjangan mau pun marginalisasi, bukan saja dalam bentuk ketidakadilan yang menistakan martabat kemanusiaan tetapi juga menyoal makna kebangsaan ‘penyatuan’ Papua dengan RI. 60 tahun inheren implikasi dari kehadiran presiden dan wakil presiden produk Pilpres 2024 terhadap Papua yang beralaskan pada keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Investasi
20 tahun terakhir keadilan dan kesejahteraan sosial yang menjadi tujuan dari awal mula integrasi Papua dengan RI, sepertinya masih jauh untuk diwujudkan. Jangankan di Papua, di seluruh wilayah lain di Republik pun masih menjadi Impian. Lagi menjadi obsesi yang belum terealisasi. Fenomena 10 tahun ini derasnya investasi dengan mengimpor tenaga kerja asing untuk mengerjakan mega proyek di Indonesia.
Indonesia mengalami pergeseran topik pembangunan dari rezim pertumbuhan ekonomi menjadi rezim investasi. Papua pun menjadi sasasaran investasi besar–besaran dari kebijakan pemerintah nasional. Fakta di lapangan menunjukkan wilayah ini telah di kavling–kavling oleh para pemodal baik nasional dan global.
Selama dua dekade (2001–2021) implementasi otsus pun tak dapat disangkal menunjukkan adanya kemajuan yang dirasakan dan dialami Papua. Kemajuan dan kesejahteraan itu bukan milik bersama masyarakat asli Papua, tapi di pangkuan elite lokal yang berkuasa bersama keluarga, kelompok, dan kronik- kroniknya serta oligarki yang memetik keuntungan dari kebijakan otsus. Meskipun 20 tahun pelaksanaan otsus impian keadilan dan kesejahteraan sosial masih jauh dari tujuannya.
Menurut pendapat saya, mesti ada kejujuran dan keberanian bersikap atas realitas bahwa permasalahan mendasar di Papua. Lagi banyak yang belum tersentuh mulai dari kesenjangan, kemiskinan, stunting
, konflik dan kekerasan, kelaparan, korupsi, marginalisasi, kerusakan hutan, perebutan penguasaan SDA hingga rendahnya kualitas pendidikan dan sumber daya manusia. Permasalahan mendasar ini menorehkan ‘kegelisahan intelektual’ dan kegetiran hidup OAP.
Terobosan eksperimen Presiden Jokowi yang 17 kali berkunjung ke Papua, baru pada level permukaan. Banyak yang belum menyentuh hal mendasar, bahkan terkesan parsial serta mewariskan permasalahan baru. Dengan begitu belum menyentuh kehidupan berbangsa dan bernegara– national building keindonesiaan– dan menurut hemat saya, inilah ketidaksuksesan Pemerintah kita di Tanah Papua.
Kesejahteraan dan keadilan
Tak suksesnya memperlakukan orang Papua dalam kebersamaan dan kesetaraan untuk mendekatkan mereka pada kesejahteraan dan keadilan. Bahkan ketidakberhasilan itu justru turut diperparah oleh perilaku dan sikap politik dari oknum–oknum pejabat di daerah yang menikmati ‘kue’ Otsus memperkaya diri sendiri, keluarga, kelompok dan kroni–kroninya.
Sederetan kasus kita saksikan dengan mata telanjang dan telah menjadi opini umum di masyarakat. Kasus tertunda–tundanya transaksi pembayaran biaya siswa untuk mahasiswa Papua yang studi di luar negeri maupun dalam negeri, merupakan contoh dan masih banyak pula kasus–kasus lainnya.
Tujuan dan cita–cita Presiden Soekarno tatkala menginjakkan kaki pertama kali di Cemburuan Barat atau Papua pascaintegrasi (1962/1963), berjanji mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial untuk masyarakat Papua dalam negara Indonesia. Ironinya, janji belum dapat diwujudkan oleh para pemimpin Indonesia hingga kini. Belum ada yang mampu meneladani spiritualitas perjuangan dan cita–cita Soekarno untuk Papua.
Pemimpin yang bukan hanya sekedar membaca, memahami dan menjiwai pikiran–pikiran masyarakat Papua, yang membangun infrastruktur saja. Pemimpin mesti mengetahui keinginan yang ada di backmindnya terutama generasi muda milenial yang lahir 20 tahun lebih setelah Pepera (1969), yang masih getol menyuarakan keabsahan integrasi dan tindakan memilih bebas Orang Papua. (PJ Drooglever, 2010)
Membaca, memahami dan mengerti bukan saja permasalahannya tapi ‘kebutuhan’ mereka untuk keadilan sosial, kesejahteraan, dan spirit perjuangan dan pengabdian luhur yang telah mereka kontribusikan bagi bangsa dan negara ini.
Mesti diingat bahwa Papua menyatu dengan Indonesia bukan dengan ‘tangan hampa’ tapi totalitas dengan SDA yang dimilikinya, noken Papua itu berisi kekayaan sumber dayanya.
Kalau Aceh menyumbang pesawat pada awal Indonesia merdeka, Papua integrasi dengan eksistensi dan SDA dari wilayahnya yang luas (3x pulau Jawa). Dengan kata lain Papua telah menunjukkan cintanya untuk Indonesia.
Indonesia pun telah banyak memperlihatkan hal yang sama terhadap Papua, tapi konflik dan kekerasan tak kunjung tuntas diselesaikan. Mestinya sejak pemberlakuan UU No 21/2001 tentang Otonomi Tertentu Papua konflik dan kekerasan pun berakhir.
Syaratnya bagaimana mengakhiri konflik dan kekerasan, betapa pun beratnya mewujudkan Papua tanah damai, termasuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial, bebas dari kemiskinan dan keterbelakangan serta jaminan masyarakat asli tidak tergusur atau termarginalisasi dari wilayahnya.
Di sinilah tugas dan tanggung jawab yang diwariskan oleh Soekarno kepada masyarakat Papua, yang mesti dijawab dan ditanggapi serius dan sungguh–sungguh oleh siapa pun yang kelak menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Dari aspek demografi dan akumulasi suara Papua jika dibandingkan dengan Jawa, tidak signifikan dalam kontribusi vote kepada pasangan capres dan cawapres. Tapi Papua memiliki keunggulan komparasi yaitu, pertama, sumber daya alam (SDA) yang dimilikinya, SDA itu menjadi rebutan berbagai kepentingan termasuk oligarki.
Kedua, letak geografis dan geostrategis Papua serta permasalahannya menjadi isyu dan sasaran dari berbagai kepentingan politik dan ekonomi global termasuk kepentingan nasional. Papua memiliki dampak yang berdimensi regional, nasional dan internasional.
Ketiga, meski pun dari vote yang disumbangkan untuk pasangan capres dan cawapres kurang signifikan, tapi Papua menjadi penentu kemenangan tatkala perolehan suara di Jawa atau daerah lain menjadi seimbang. Finalnya ditentukan dari Papua. Telah terbukti baik untuk Susilo Bambang Yudhoyono mau pun Joko Widodo 2019.
Presiden yang menjiwai kesadaran dan masa depan bangsa termasuk masa depan Papua dalam penyelenggaraan negara. Kebijakan yang dilandasi atas kesadaran penuh bahwa dalam negara yang pluralis ini, maka berpikir panjang ke depan untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua, mesti menjadi agenda dan program kerjanya.
Dengan begitu penyelesaian konflik dan kekerasan menjadi entry point penyelesaian masalah Papua. Dengan demikian masa depan Papua tidak terkunci dengan masa lalu seperti yang dikonstatir oleh Made Supriatma (Prisma No 42, 2023).