Mengoreksi Gemuknya NIM Perbankan

Mengorek(si) Gemuknya NIM Perbankan
Ilustrasi MI(MI/Seno)

INDUSTRI perbankan nasional tampaknya masih dihadapkan pada margin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang gemuk. Disparitas antara pendapatan bunga dan beban bunga terbilang terus melebar dengan akselerasi yang kencang pula.

Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata NIM industri perbankan nasional pada akhir tahun lalu berada di level 4,71%. Pada September 2023, rata-rata NIM perbankan menanjak ke level 4,85% sehingga menjadikannya sebagai salah satu yang tertinggi di dunia.

Tambunnya NIM terkonfirmasi dari spread. Selisih suku bunga pinjaman dan simpanan juga menganga. Bank Indonesia (BI) melaporkan rata-rata tertimbang suku bunga kredit pada September 2023 bertengger di posisi 9,36%. Sementara itu, suku bunga simpanan untuk tenor 12 bulan, misalnya, mencapai 5,02%.

Rezim suku bunga tinggi tidak pas dipakai sebagai alibi untuk menjustifikasi tebalnya NIM. Tingginya NIM sejatinya bukan barang anyar di Indonesia. Ia sudah lama eksis terlepas dari era suku bunga tinggi atau suku bunga rendah. Definisinya, tingginya NIM bersifat permanen yang perlu dikorek lebih lanjut.

Pengorekan dini tertuju pada fungsi intermediasi perbankan. Peran utama perbankan toh menjembatani antara pihak yang berlebih dana dan pihak yang membutuhkan dana. Bank akan menanggung suku bunga simpanan kepada deposan dan menerima pembayaran suku bunga pinjaman dari debitur.

Oleh karenanya, bank senantiasa berupaya menekan beban bunga simpanan. Secara simetris, bank juga akan mematok suku bunga simpanan yang tinggi. Data BI yang disajikan di atas sudah dengan sendirinya menunjukkan bahwa bank memaksimisasi spread guna mempertahankan NIM yang tinggi.

Cek Artikel:  Mengenalkan Kebudayaan Islam dari Nusantara ke Publik Eropa

Tesis di atas tidak mengada-ada. Kecenderungan bank menekan beban bunga simpanan didukung oleh struktur dana kelolaannya. Di satu sisi, dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan masih bertumpu pada dana murah, berupa rekening giro dan rekening tabungan (current account saving account).

Ironisnya lagi, deposan jumbo yang mennyimpanan dananya di bank acapkali meminta suku bunga khusus (special rate) yang lebih tinggi daripada suku bunga pasar. Fenomena ini ditengarai sebagai penyebab perbankan alot menurunkan suku bunga kredit lantaran biaya dana susah dipangkas.

Di sisi lain, gemuknya NIM dipicu tingginya suku bunga kredit. NIM yang tebal menjadi prasyarat untuk memenuhi ekspektasi pemegang saham. Ketika peraturan transparansi SBDK (suku bunga dasar kredit) diterapkan, tuntutan dividen yang tinggi mendorong bank kembali menekan beban bunga simpanan.

Kalaupun beban bunga simpanan tidak bisa ditekan, biaya overhead lainnya harus dapat ditutup dari fee based income. Tetapi, dominasi pendapatan berbasis biaya justru menjauhkan bank dari fungsi intermediasi. Pilihan strategi pada ekspansi bisa mengarah pada penurunan kualitas kredit yang disalurkan.

Alhasil, NIM yang gemuk bisa merecoki realisasi target dua digit pertumbuhan kredit perbankan nasional pada tahun berjalan. Dengan pertumbuhan kredit yang ‘normal’ saja, perbankan toh sudah bisa menikmati NIM yang gemuk. Apalagi risiko ketidakpastian ekonomi ke depan masih mengadang.

Cek Artikel:  Sepak Bola dan Demokrasi

Dalam sekup yang lebih luas, tebalnya NIM menarik minat pemodal asing menjadi pemilik bank nasional atau mendirikan bank campuran. Dampak sampingnya, kredit bisa mengucur ke grup sendiri, atau bahkan ke pihak sendiri di luar negeri. Isu pemerataan dan inklusivitas kredit pun muncul di sini.

Tamat di sini, tingginya NIM perbankan di Tanah Air tampaknya perlu dikoreksi. Pada kutub yang ekstrem, besaran NIM perbankan mutlak dibatasi. Dengan regulasi tertentu dari BI, OJK, atau LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), NIM perbankan dipatok dalam rentang toleransi tertentu.

Alternatif di atas sangat terbuka lantaran kebijakan suku bunga acuan BI tidak seketika berdampak pada perubahan suku bunga pinjaman. Demikian pula perubahan suku bunga penjaminan LPS memerlukan jeda waktu yang lama bagi perbankan untuk menyesuaikan suku bunga simpanannya.

Kendati efektif, strategi pengendalian NIM di atas terkesan memaksa. Sementara itu, kondisi riil tiap bank berlainan. Dengan spirit akomodatif, opsi pembatasan NIM bisa ditempuh tidak langsung berdasarkan rute yang dikorek. Sejumlah rambu ekstra bisa ditetapkan pada faktor-faktor pembentuk NIM.

Dari sisi hulu, diversifikasi sumber dana murah anorganik seperti NCD (negotiable certificate of deposit), MTN (medium term note), atau pinjaman bilateral, bisa dikondisikan. Sejauh ini baru bank besar saja yang memiliki pendanaan nonkonvensional. Itu pun baru sebatas 10% dari dana kelolaan.

Dari ranah tata kelola, pembagian dividen perbankan hanya merujuk pada syarat minimum kecukupan modal, alih-alih faktor kesehatan bank. Dalam konteks ini, otoritas finansial bisa menambahkan aturan khusus tentang kesehatan institusional bank, baik individu maupun secara industri.

Cek Artikel:  Business Matching BISAID Menuju UMKM Go Export

Logika yang sama juga bisa diterapkan pada komponen biaya. Harus diakui, sejumlah bank yang mampu memberikan dividen tinggi ialah bank yang terindikasi sistemis. Oleh karenanya, otoritas finansial bisa memberlakukan ketentuan tambahan biaya pencadangan guna meredam efek sistemis tersebut.

Regulasi tak langsung di atas niscaya memberi ruang gerak lebih. Fleksibilitas diyakini melahirkan inovasi. Manuver efisiensi perbankan pun lebih ringan. Konkretnya, dengan perolehan NIM yang kompatibel, perbankan akan mampu memasok kredit dengan suku bunga yang lebih rendah.

Kecenderungan itu bisa disimak. Sekalian bank dalam lima tahun terakhir menempuh digitalisasi. Beberapa bank besar bahkan mengakuisisi bank kecil untuk dijadikan bank digital. Hal itu ditujukan untuk memperluas jangkauan layanan agar suku bunga kredit lebih kompetitif sesuai mekanisme pasar.

Terkait dengan prinsip kehati-hatian, bank mulai memanfaatkan data yang bersumber dari SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) dan LPIP (Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan). Pemanfaatan data itu menjadi ikhtiar nyata untuk mengurangi informasi asimetris antara bank dan debitur.

Bagaimanapun, dana ialah darah perekonomian. Sirkulasi dana akan lebih dinamis jika perbankan sebagai jantung dalam kondisi sehat. NIM yang gemuk bisa mengganggu kerja jantung. Alhasil, menjaga jantung tetap sehat harus berawal dari inisiatif sendiri, alih-alih selalu diawasi dokter. Bukan begitu?

Mungkin Anda Menyukai