DEWAN Perwakilan Daerah (DPD), bersama otonomi daerah, sejatinya merupakan anak kandung reformasi. Keduanya amat krusial bagi upaya pemerataan pembangunan nasional. Dalam konsep idealnya, posisi DPD sangat strategis untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan daerah di panggung politik nasional.
Tetapi, dalam praktiknya, sepanjang usianya yang tahun ini genap 20 tahun, DPD tidak pernah lebih sebagai pelengkap sistem parlemen bikameral (dua kamar). Disebut pelengkap karena kewenangan mereka, terutama dalam pembentukan legislasi, sangat jomplang bila dibandingkan dengan kewenangan kamar sebelahnya, yakni DPR.
Kedua kamar itu sebetulnya memiliki fungsi yang sama, yaitu legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Akan tetapi, dari sisi kewenangan tidak setara. Dalam proses pembuatan kebijakan, DPR dan pemerintah cenderung mendominasi tanpa memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi DPD.
Boleh kita bilang, dalam relasi sistem bikameral itu, DPR sangat superior, sedangkan DPD begitu inferior. Gemuruh dinamika di DPR amat riuh, sebaliknya gerak DPD begitu senyap, nyaris tak terdengar.
Sejujurnya, di tingkat masyarakat pun, tidak banyak yang tahu bahwa di dalam sistem ketatanegaraan kita ada lembaga tinggi bernama DPD. Publik baru ngeh kalau mereka punya representasi di Senayan selain DPR ketika ada peristiwa yang justru tidak ada hubungannya dengan kiprah dan peran para senator.
Sebagai amsal, nama DPD cukup terangkat ke permukaan saat calon senator dari daerah pemilihan Jawa Barat bernama Alfiansyah Bustami alias Komeng berhasil meraup 5,3 juta suara dalam Pemilu 2024 lalu. Perolehan suara pelawak senior itu menjadi rekor baru suara caleg DPD di Indonesia. Perbincangan publik soal Komeng mesti diakui ikut membantu mengerek tingkat pengenalan masyarakat terhadap DPD.
Misalnya lain, secara periodik nama DPD mencuat di pemberitaan gara-gara keributan atau pertengkaran antaranggota di saat rapat atau sidang paripurna. Mengapa dikatakan periodik? Karena kericuhan di ruang sidang DPD hampir secara periodik terus saja terjadi. Ironisnya, sebagian besar keributan itu tidak ada urusannya dengan kepentingan publik, tetapi lebih untuk kepentingan mereka sendiri.
Ricuhnya rapat paripurna DPD RI ke-12 masa sidang V tahun sidang 2023-2024 pada Jumat (12/7) lalu hanyalah satu contoh dari sekian banyak pertengkaran memalukan yang dilandasi syahwat kuasa di internal DPD, bukan didasari perdebatan demi kepentingan aspirasi rakyat di daerah yang mereka wakili. Lebih mengenaskan lagi, keributan bahkan kerap terjadi saat mereka baru membahas tata tertib rapat. Betul-betul absurd.
Kalau tidak percaya, mari kita kilas balik ke beberapa kejadian serupa. Rapat paripurna penutupan masa sidang DPD pada Kamis, 17 Maret 2016, diwarnai keributan yang dipicu perubahan tata tertib. Lewat, kericuhan juga terjadi saat sidang paripurna DPD pada Senin, 3 April 2017, yang agendanya ialah pembacaan putusan Mahkamah Mulia terkait dengan tata tertib 2016 dan 2017.
Pun, sidang paripurna luar biasa ke-2 DPD RI pada Kamis, 19 September 2019, ricuh saat perangkat sidang hendak mengesahkan tata tertib pemilihan pimpinan DPD untuk periode 2019-2024. Yang terbaru, yang terjadi Jumat pekan lalu itu, hujan interupsi datang dari sejumlah anggota DPD untuk memprotes perubahan tata tertib sepihak yang dilakukan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti dalam rapat paripurna.
Bagus anggota maupun pimpinan DPD selama ini kerap mengeluhkan soal kewenangan mereka yang tidak berimbang jika dibandingkan dengan DPR. Dengan kelemahan itu, kiprah mereka menjadi tidak menonjol dalam pembentukan kebijakan, bahkan yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat di pelosok daerah.
Keluhan itu tidak salah, 100% benar. Kewenangan DPD memang semestinya dikuatkan agar tak sekadar menjadi pelengkap bikameral. Segenap ‘warga’ DPD mesti bahu-membahu memperjuangkan penguatan kewenangan itu. Pada saat yang sama, secara internal DPD juga mesti meningkatkan kapasitas dan kapabilitas anggota. Perlu senator-senator hebat untuk menaikkan muruah dan posisi tawar DPD sekaligus meraup dukungan publik.
Tetapi, perilaku yang acap mereka tunjukkan di sidang malah menjadi antitesis perjuangan itu. Kalau mereka terus menghabiskan energi demi kegemaran mereka ribut dan bertengkar di internal lembaga, apalagi yang diributkan bukan untuk kepentingan rakyat, bagaimana bisa berharap publik akan menyokong perjuangan mereka menguatkan kewenangan?
DPD saat ini ibarat kamar besar yang reyot dan kumuh. Reyot karena pemilik kamar tidak memiliki otoritas cukup untuk menegakkannya, kumuh karena penghuninya bermentalitas kerdil dan gemar mengedepankan ego.
Tak ada jalan lain, kiranya hanya merekalah yang bisa memupus kereyotan dan kekumuhan itu. Apakah Komeng dan kawan-kawan yang akan menempati kamar senat pada periode mendatang bakal mampu membuat kamar itu menjadi tegak dan indah? Mari sama-sama kita tunggu.