Penerbitan SBN Jadi Jalan Pemerintah Atasi Gap Pengeluaran dan Penerimaan Negara

Gedung Kementerian Keuangan. Foto: Berkas Kementerian Keuangan

 

Pemilihan instrumen pembiayaan yang efektif diyakini dapat menutup defisit anggaran dan menjalankan roda pembangunan.

 

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Riko Amir menjelaskan, melalui pengelolaan utang yang cermat, pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN dan membangun pasar SBN domestik.

 

Penerbitan SBN dan penarikan pinjaman dilakukan secara efisien, seimbang antara biaya dan risiko, serta akseleratif mendukung peran APBN sebagai peredam guncangan dan menjaga momentum pertumbuhan.

 

Pemenuhan target pembiayaan tetap on-track dengan cost of fund yang terkendali. Per 31 Agustus 2024, dari desain pembiayaan anggaran APBN 2024 yang ditetapkan sebesar Rp522,8 triliun, telah terealisasi sebesar Rp291,9 triliun.

 

Seiring pertumbuhan ekonomi yang positif, tren rasio utang pascapandemi pun terus menurun. Dari 40,73 persen terhadap PDB di 2021 menjadi 39,70 persen di 2022; 39,21 persen di 2023; dan 38,49 persen PDB per Agustus 2024.
 

Cek Artikel:  Memahami Inflasi di Indonesia dan Strategi Pengendaliannya


Ilustrasi. Foto: MI

 

Rasio utang Indonesia juga tercatat relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan dan global.

 

“Kita tentu dalam berutang tidak cuma besaran saja yang kita cermati atau kita kelola. Tapi juga risikonya harus sesuai,” ujar Riko dilansir dari laman Kemenkeu, Kamis, 3 Oktober 2024.

 

Riko juga menerangkan risiko utang pemerintah berada dalam kondisi terkendali dan terkelola baik. Hal ini setidaknya dapat terlihat dari pengelolaan risiko nilai tukar dan jatuh tempo.

 

Safiri tukar menjadi salah satu risiko yang patut diwaspadai karena komposisi utang valas pemerintah sebelum 2019 sangat tinggi.

 

Tetapi, pemerintah berhasil terus menurunkan porsi utang dengan mata uang valas terhadap total outstanding utang. Dari 37,9 persen porsi utang valas di 2019, berhasil terus diturunkan menjadi hanya 27,9 persen per Agustus 2024.

Cek Artikel:  Bahana TCW Prediksi Banyak Sentimen Positif Terjadi di Pasar Investasi 2024

 

“Apabila terjadi kenaikan nilai tukar, kita terdampak tapi tidak langsung collapse gitu ya. Karena ada 27,9 persen saja yang terdampak, sisanya (72,1 persen tidak terdampak karena) dalam porsi rupiah,” ungkap Riko.

 

Selanjutnya, dari sisi jatuh tempo. Rata-rata tertimbang jatuh tempo utang (average time to maturity) pemerintah berkisar 7,95 tahun per Agustus 2024.

 

“Kami memandang untuk jatuh tempo, tenor yang ideal, yang save bagi pemerintah adalah antara 8 sampai 10 tahun. Buat per Agustus (2024) ini kita di 7,95 tahun. Itu artinya rata- rata seluruh utang kita akan jatuh tempo di 7,95 tahun. Jadi, tidak tiba tiba melonjak di tahun pertama tinggi, tahun keduanya sangat rendah, tahun ketiganya sangat tinggi. Dan kita profiling utang kita dalam kondisi yang lebih merata,” tutur Riko.

Cek Artikel:  Dunia Usaha Lebih Suka Pemilu Dua Putaran? Begini Pendapat BI

 

Riko lanjut menjelaskan, hal penting lainnya yang perlu diperhatikan ketika berutang, khususnya dalam denominasi valas adalah peringkat kredit (credit rating) karena dengan credit rating yang baik, cost atau biaya yang dikeluarkan dapat lebih efisien.

 

Dengan kinerja pengelolaan utang yang baik, credit rating Indonesia telah mencapai investment grade dengan outlook stabil dari berbagai lembaga pemeringkat internasional.

Mungkin Anda Menyukai