Independensi Hakim

Independensi Hakim
Methodius Kossay(Dok pribadi)

HAKIM kembali jadi sorotan. Kali ini sorotan publik mengarah ke gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia. Lokusnya, keputusan hakim yang tidak relevan dengan asas-asas hukum dalam memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan.

Perihal independensi hakim menjadi sentra diskusi tak hanya masyarakat kelas paling bawah (grassroot) namun juga ahli hukum, aparat penegak hukum, elite politik hingga perguruan tinggi. Independensi dalam menangani hingga memutus sebuah perkara konstitusi adalah prasyarat mutlak seorang hakim. Independensi sejatinya dijaga hakim dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya demi menjaga wibawa lembaga peradilan.

Lembaga peradilan sejatinya menjadi alas, tumpuan, dan harapan masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Apesnya, lembaga peradilan malah tercoreng akibat ulah oknum hakim. Kepercayaan masyarakat terjun bebas disusul sikap apatis terhadap Lembaga. Tudingan miring terhadap peradilan pun terjun bebas tidak terhindarkan di mata publik.

Profesi hakim

Profesi hakim sebagai panggilan mulia. Ia mutlak ditopang landasan moral dan etika dalam praktik hukum sehingga pemerintahan menjadi semakin kuat dan kokoh. Kesadaran seorang hakim terus berkobar dan menyala dalam nadi pengabdiannya demi menjaga tertib hukum perjalanan bangsa dan negara.

Pertimbangan hakim yang termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila menjadi tumpuan penegakan supremasi hukum di Indonesia. Maka sebagai negara demokrasi dan negara hakum tanpa independensi, jaminan terwujudnya hukum dan keadilan tidak dapat tercapai. Bahkan melewati jalan terjal berliku.

Mengapa? Demokrasi dan hukum dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka memiliki tautan, hubungan yang erat. Dengan demikian hakim yang akan menangani perkara, baik di pengadilan tingkat pertama diharapkan bersikap netral. Hakim mesti independen dalam kerja-kerja hukum guna mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi pencari keadilan.

Cek Artikel:  Kiai Ahmad Dahlan dan Gayung Rusak

Benteng terakhir

Begitu ini dan memasuki Pemilu 2024 adalah tahun politik. Tentu, lembaga peradilan diharapkan menjadi benteng terakhir dalam proses penegakan keadilan dan kepastian bagi para pihak, terutama dalam proses penanganan kasus pemilu.

Jikapun hakim dan lembaga peradilan kini menjadi sorotan publik yang tidak luput dari pantauan masyarakat, profesionalisme, netralitas dan independensi seorang hakim diperlukan dan dipertarukan.

Hakim dengan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, harus memiliki sikap yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta. Hal tersebut merupakan cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam sikap dan perilakunya.

Sikap dan perilaku itu berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur. Hakim dalam lembaga peradilan juga diharapkan dan diharuskan terus-menerus menggaungkan kinerja yang baik dan profesional untuk mengembalikan citra dan kepercayaan publik.

Kode etik

Kini dan di masa akan datang, masyarakat merindukan contoh dan teladan seorang hakim yang mampu menjaga independensinya dan bersikap profesional serta etika moral. Publik membutuhkan sosok hakim yang mampu memegang dan mengetuk palu keadilan bagi masyarakat pencari keadilan tanpa terkooptasi kepentingan pragmatis.

Lembaga peradilan dan publik tidak membutuhkan hakim yang terlibat dalam konflik kepentingan, jual beli perkara, gratifikasi dan lainnya. Publik tidak membutuhkan hakim yang minus etika dan moral, bobrok dan mudah dirayu, atau gampang diintervensi pihak-pihak tertentu sekadar meloloskan kepentingan insidental.

Cek Artikel:  Kondisi Iklim yang Berubah, Generasi Muda Harus Berbenah

Memasuki tahun politik mesti menjadi momentum mengembalikan trust muruah hakim. Kepercayaan publik kepada peradilan di Indonesia, harus dibuktikan dengan mengutamakan kode etik hakim sebagai prinsip utama dalam pembuktian kinerja.

Dalam proses menjalankan wewenang dan tugasnya, seorang hakim memiliki kode etik. Kode etik ini menjadi pijakan atau landasan dalam menjalankan kinerja di pengadilan maupun di luar pengadilan.

Hal itu penting mengingat dalam menunaikan tugasnya, hakim selalu dipantau dan diawasi oleh publik. Selain tentu lembaga negara yang berwenang mengawasi kode etik hakim yaitu Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia dan Mahkamah Akbar (MA) Republik Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Serempak Ketua Mahkamah Akbar RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/Kma/Skb/IV/2009 02/Skb/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Panduan Perilaku Hakim, ada sejumlah prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diimplementasikan dalam sepuluh aturan perilaku.

Prinsip-prinsip dasar dan aturan dimaksud yaitu berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap profesional.

Pelayanan yang prima  

Pesta demokrasi melalui pemilu untuk memilih Presiden dan legislatif tinggal menunggu waktu. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh KPU selaku penyelenggara, baik di pusat maupun daerah dan peserta Pemilu yang rencananya akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.

Demikian halnya dalam hal prosedur dan administrasi peradilan perlu dibenahi, sehingga tidak memakan waktu dan tidak berbelit-belit dalam pengurusan administrasi pelayanan di peradilan. Tiga komponen utama baik hakim, panitera maupun staf administrasi menjadi tonggak pelayanan prima.

Cek Artikel:  Pertaruhan Menegakkan Demokrasi

Proses pelayanan lembaga peradilan yang diberikan kepada masyarakat harus efektif dan efisien. Proses pelayanan kelembagaan suatu peradilan baik atau buruknya sangat ditentukan oleh hakim, panitera maupun staf adminstrasi.

Maka hakim, panitera dan staf administrasi di lembaga peradilan sebaiknya juga dibekali dengan kualitas personal agar tetap berkompeten, jujur, berintegritas dan memiliki ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal-hal ini yang melandasi prinsip-prinsip tata cara kerja baku atau prosedur operasi standar bagi hakim, panitera dan staf administrasi.

Termasuk prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi hakim yang bermakna pengamalan tingkah laku sesuai agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kepribadian seorang hakim, panitera dan staf administrasi yang berintegritas harus menjadi landasan utama dalam rangka perbaikan kualitas lembaga peradilan untuk masa kini dan masa depan.

Selain itu juga ketersediaan infrastruktur dan sistem administrasi penanganan perkara agar berfungsi dengan efektif dan efisien dalam pemberian pelayanan.

Sebaik apapun sistem pengadilan, namun bila sistem dan mekanisme tersebut tidak di bawah kendali hakim yang memiliki integritas dan komitmen etika serta moral mumpuni, maka sulit untuk mewujudkan proses peradilan yang dicita-citakan pemerintah dan masyarakat.

Bahkan sebagus apapun mekanisme yang tersedia atau seideal apapun konsep peradilan, namun bila sistem, mekanisme, dan etika moral tanggal di tangan hakim yang baik dan jujur upaya meraih proses peradilan yang baik utopis.

Mungkin Anda Menyukai