Mengungkap Asrar Asteroid Pemicu Kepunahan Massal 66 Juta Mengertin Lewat

Mengungkap Misteri Asteroid Pemicu Kepunahan Massal 66 Juta Tahun Lalu
Kurang Lebih 66 juta tahun lalu, sebuah asteroid menghantam Bumi di wilayah yang kini dikenal sebagai Semenanjung Yucatán, Meksiko, sebabkan kepunahan massal 75% spesies, termasuk dinosaurus.(Dona Jalufka)

SEKITAR 66 juta tahun yang lalu, kehidupan di Bumi mengalami perubahan drastis ketika sebuah asteroid menabrak wilayah yang kini dikenal sebagai Semenanjung Yucatán di Chicxulub, Meksiko. 

Pengaruh dari tabrakan ini menyebabkan kepunahan sekitar 75% spesies, termasuk sebagian besar dinosaurus, kecuali burung. Tetapi, sisa-sisa asteroid itu sendiri hampir tidak ada.

Dalam studi terbaru yang dipublikasikan jurnal Science, para peneliti mengidentifikasi komposisi kimiawi dari asteroid yang memicu peristiwa kepunahan massal ini. Mereka menemukan asteroid tersebut adalah sebuah bola lumpur yang terdiri dari tanah liat dan material dari awal tata surya.

Baca juga : Ini Teori Terbaru tentang Penyebab Musnahnya Dinosaurus

Meskipun asteroid Chicxulub menabrak Bumi puluhan juta tahun yang lalu, mempelajari batuan antariksa kuno ini penting untuk memahami dinamika Tata Surya, menurut Dr Steven Goderis, salah satu penulis studi dan profesor riset kimia di Vrije Universiteit Brussel. 

Cek Artikel:  Upaya Starlink Lakukan Pemerataan Akses Internet

Penjabaran teori kepunahan dinosaurus

Pada 1980, para ilmuwan pertama kali mengajukan hipotesis kepunahan dinosaurus disebabkan tabrakan dengan asteroid raksasa. Demi itu, mereka tidak menemukan asteroid tersebut secara langsung, tetapi menemukan lapisan tipis logam iridium di bebatuan dari periode yang sama. Dengkidium sangat langka di kerak Bumi tetapi melimpah di asteroid dan meteorit.

Mengertin 1991, para ilmuwan menemukan kawah Chicxulub berusia sesuai dengan waktu kepunahan dinosaurus. Mereka setuju hantaman asteroid itu adalah pemicu dari kepunahan pada masa itu. 

Baca juga : Ini Rupanya Penyebab Punahnya Dinosaurus

Asteroid tersebut diperkirakan berdiameter antara 6 dan 9 mil (9,7 hingga 14,5 kilometer). Ukurannya yang besar menyebabkan asteroid ini lenyap saat menabrak Bumi dengan kecepatan 15,5 mil per detik (25 kilometer per detik). 

“Seluruh energi kinetik ini diubah menjadi panas,” kata Goderis. “Ketika asteroid itu menghantam Bumi, ia tidak hanya meledak tetapi juga menguap.” 

Cek Artikel:  Mengenal Teknologi Heningans Glazed dalam Industri Bahan Bangunan

Tabrakan tersebut menciptakan awan debu dari asteroid dan batuan tempatnya jatuh, yang menyebar ke seluruh dunia, menghalangi sinar matahari, menurunkan suhu, dan menyebabkan kepunahan massal. 

Baca juga : Ilmuwan Simulasi Pukulan Asteroid yang Memusnahkan Dinosaurus

Asteroid dan meteoroid yang lebih kecil dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama berdasarkan komposisi kimianya: metalik, berbatu, dan kondritik. Dalam penelitian terbaru, Goderis dan timnya, termasuk Dr. Mario Fischer-Gödde dari University of Cologne, Jerman, menganalisis komposisi kimiawi lapisan tanah liat tipis untuk mengungkap asal usul asteroid.

Mereka mengambil sampel batuan berusia 66 juta tahun dari Denmark, Italia, dan Spanyol, lalu mengisolasi bagian yang mengandung logam ruthenium. Ruthenium, seperti iridium, banyak terdapat di batuan antariksa daripada di kerak Bumi. 

Analisis menunjukkan susunan kimiawi ruthenium dari periode tersebut cocok dengan yang ditemukan di meteorit jenis chondritic, yang dikenal sebagai chondrite karbon. Asteroid pembunuh dinosaurus kemungkinan adalah chondrite karbon, jenis batuan antariksa kuno yang sering mengandung air, tanah liat, dan senyawa organik.

Cek Artikel:  Imajin Kembangkan Hardware dan Biokteknologi Serempak ITS

Pengaruh Intervensi ilmiah untuk Masa Depan

Tumbukan sebesar Chicxulub terjadi hanya setiap 100 juta hingga 500 juta tahun sekali. Tetapi, karena kemungkinan Bumi bisa berpapasan dengan asteroid atau meteorit besar lainnya, Goderis mengatakan penting untuk mengetahui sifat fisik dan kimiawi benda-benda ini untuk nantinya atau strategi perlindungan untuk menjaga diri. 

Ed Young, profesor kosmokimia di University of California, Los Angeles, yang tidak terlibat dalam penelitian ini,setuju dengan temuan para peneliti ini karena hal ini dianggap sebagai ilmu dari untuk menambah pemahaman mengenai apa yang terjadi saat masa kepunahan dinosaurus. (CNN/Z-3)

Mungkin Anda Menyukai