Sertifikasi Guru di Antara Profesionalisme dan Kesejahteraan

Sertifikasi Guru di Antara Profesionalisme dan Kesejahteraan
Sumardiansyah Perdana Kusuma Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, Direkt(Dok. Pribadi)

SERTIFIKAT pendidik merupakan bukti formal yang diberikan kepada guru sebagai bentuk pengakuan atas profesi dan keprofesionalannya. Sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) Nomor 14/2005 Pasal 2 ayat 1, guru profesional dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat pendidik.

Selanjutnya, dijelaskan di Pasal 8 guru wajib memiliki sertifikat pendidik. Kemudian, ditegaskan pada Pasal 82 ayat 2 guru yang belum besertifikat pendidik wajib memenuhi persyaratan tersebut paling lama 10 tahun sejak diberlakukannya UUGD.

Sebaiknya, para guru dalam jabatan yang sudah menjadi guru, sebelum atau setelah UUGD mulai diundangkan dan diberlakukan pada 30 Desember 2005 hingga 10 tahun berikutnya, mencakup guru yang diangkat sampai 30 Desember 2015, menjadi kewajiban pemerintah untuk menuntaskan sertifikasinya. Tetapi, sampai hari ini masih ada 1.630.061 guru dalam jabatan yang belum tesertifikasi, dengan perincian mereka yang diangkat sebagai guru terhitung mulai tanggal (TMT) di bawah 2015 berjumlah 944.168 guru dan TMT di atas 2015 berjumlah 685.893 guru.

Satu hal yang mengkhawatirkan, bagaimana mungkin dari total 3,37 juta guru Indonesia yang mengajar di sekolah, hampir setengahnya dinyatakan tidak profesional karena belum memiliki sertifikat pendidik?

 

Sertifikasi adalah profesionalisme

Pengakuan guru sebagai profesi sehingga layak disebut tenaga profesional yang memiliki profesionalisme dalam bidang pekerjaannya, semata-mata diberikan untuk mengangkat harkat dan martabat, serta peran guru sebagai agen pembelajaran dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Guru profesional wajib memiliki kualifikasi akademik (minimal sarjana) sesuai dengan bidang yang diampunya, sehat jasmani dan rohani, menguasai kompetensi guru yang meliputi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional, memegang teguh kode etik, menjadi anggota organisasi profesi, serta mengikuti sertifikasi untuk memperoleh sertifikat pendidik.

Sertifikasi merupakan bentuk pengakuan formal terhadap guru yang dianggap sudah memenuhi standar minimal profesional. Meski sudah memiliki sertifikat pendidik, guru tidak boleh berhenti belajar dan meningkatkan profesionalismenya. Malah guru yang sudah besertifikat pendidik harus mampu melampaui dirinya hingga sampai ke standar maksimal.

Misalkan saja dengan memanfaatkan tunjangan profesi untuk menempuh pendidikan S-1, S-2, hingga S-3, mengikuti diklat, workshop, studi banding, membayar iuran organisasi profesi, serta membeli laptop dan buku bacaan.

Guru profesional juga harus siap mengikuti uji kompetensi yang diadakan secara berkala untuk mengukur dan memperbarui capaian kompetensinya. Selain itu, hal utama yang perlu ditargetkan kepada guru profesional ialah bagaimana agar keberadaan mereka dapat berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.

Cek Artikel:  Istikamah Menjaga Safiri-Safiri Ramadan

 

Sertifikasi adalah kesejahteraan

Menjadi guru profesional juga merupakan harapan untuk hidup lebih sejahtera. Kesejahteraan hadir sebagai konsekuensi logis dari profesionalisme yang melekat pada profesi guru. Berdasarkan Pasal 14-20 UUGD, guru profesional berhak memperoleh penghasilan di atas minimum (meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan jaminan kesejahteraan sosial).

Selain itu, guru masih berhak mendapatkan maslahat tambahan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, pelayanan kesehatan, kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru, atau bentuk kesejahteraan lainnya.

Idealnya, klausul tersebut berlaku untuk semua guru profesional, tanpa membedakan guru negeri ataupun swasta. Semisal tunjangan profesi yang biasa disebut sertifikasi, diberikan kepada semua guru yang memiliki sertifikat pendidik yang diangkat satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah (negeri) atau masyarakat (swasta), dengan nominal setara satu kali gaji pokok.

Nominal itu bisa bertambah seiring dengan kenaikan pangkat dan golongan bagi guru PNS, sedangkan untuk guru swasta dibuka skema penyetaraan golongan (inpassing). Ironisnya, inpassing bagi guru swasta masih belum berjalan optimal, bahkan bisa dikatakan mandek, inilah di antara hal yang masih perlu dibenahi pemerintah.

Sementara itu, dalam menengahi gap kesejahteraan antara guru sertifikat pendidik dan guru nonsertifikat pendidik, sebenarnya keberadaan tunjangan fungsional masih relevan di kehidupan, mengingat masih banyak guru, terutama nonsertifikat pendidik yang belum mendapatkan kesejahteraan.

Tertentu bagi guru swasta, pemerintah dapat memberikan subsidi tunjangan fungsional ataupun dana hibah yang dianggarkan melalui anggaran pendapatan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah (APBN/APBD). Selain itu, masih ada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52/2009 yang memerintahkan ada tambahan penghasilan sebesar Rp250.000/bulan bagi guru PNS yang belum besertifikat pendidik.

Mungkin saja, pemerintah berkeinginan merevisi keppres dengan menambahkan nominal tambahan penghasilan menjadi misalkan Rp1.000.000/bulan untuk menghargai dan menghindari kecemburuan antarguru besertifikat pendidik dengan guru nonsertifikat pendidik.

Skema portofolio

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74/2008 tentang Guru sebagaimana dibunyikan pada Pasal 12 ayat 1-6 juga memberikan opsi pemberian sertifikat pendidik bagi guru dalam jabatan dapat dilakukan melalui uji kompetensi berupa penilaian portofolio yang mendeskripsikan: (1) kualifikasi akademik; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) pengalaman mengajar; (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Lampau, (5) penilaian dari atasan dan pengawas; (6) prestasi akademik; (7) karya pengembangan profesi; (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah. Kemudian, (9) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, serta (10) penghargaan lain yang relevan dengan bidang pendidikan.

Cek Artikel:  Kurikulum Merdeka, Berharap Pendidikan Lebih Demokratis

Secara objektif penilaian portofolio masih layak untuk diterapkan pemerintah, berbarengan dengan model Pendidikan Profesi Guru (PPG). Penilaian portofolio dengan memprioritaskan kelompok afirmasi seperti mereka yang sudah menjadi guru dengan TMT di bawah 2015, memiliki pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun, berusia di atas 35 tahun, dan mengabdi di daerah 3T, dapat dijadikan diskresi untuk menyelesaikan antrean sertifikasi bagi guru dalam jabatan.

Sementara itu, bagi guru dalam jabatan dengan TMT di atas 2015, pemerintah bisa tetap menggunakan model PPG dengan mempertimbangkan kemudahan akses, ketersediaan kuota, penyederhanaan tahapan seleksi administrasi, serta transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraannya. Kemudian, untuk mereka yang baru akan menjadi guru setelah lulus dari Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK), disediakan jalur PPG prajabatan yang terintegrasi dalam satu paket kurikulum LPTK, sehingga mereka yang kuliah pendidikan bisa langsung mengambil pendidikan profesi di kampus yang sama.

 

Politik anggaran

Politik anggaran pendidikan berangkat dari UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 yang memandatkan agar negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal itu diperjelas dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 46 ayat 2 bahwa pemerintah pusat dan daerah harus bertanggung jawab menyediakan 20% anggaran pendidikan.

Pada 16 Agustus 2023, Presiden Jokowi dalam pidato penyampaian keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN 2024 beserta nota keuangan di rapat paripurna DPR menjelaskan 20% APBN senilai Rp660,8 triliun difokuskan untuk pendidikan yang ditunjukkan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) unggul, inovatif, berintegritas, dan berdaya saing. Dengan rincian alokasi belanja pemerintah pusat Rp237,3 triliun, transfer ke daerah Rp346,6 triliun, dan pembiayaan investasi Rp77,0 triliun.

Selanjutnya, berdasarkan ketersediaan anggaran Rp660,8 triliun bisa dibuatkan simulasi. Apabila pemerintah serius untuk membentuk SDM unggul dengan label guru profesional melalui penuntasan sertifikasi guru dalam jabatan lewat opsi portofolio/PPG kepada 1.630.061 guru, yakni mereka semua kemudian dinyatakan berhak mendapatkan sertifikat pendidik yang dibarengi pemberian tunjangan profesi, dengan asumsi setiap guru mendapatkan minimal Rp1.500.000/bulan atau Rp18.000.000/tahun, pemerintah setidaknya harus mengalokasikan anggaran Rp29,3 triliun/tahun untuk pembayaran tunjangan profesi.

Cek Artikel:  Cerminan Akhir Mengertin Pendidikan Perdamaian di Indonesia

Pemerintah harus berani menjalankan politik anggaran sebab jumlah itu masih rasional untuk bisa direalisasikan. Itu pun pemerintah masih bisa menghitung ulang beban anggaran sebab belum tentu semua guru yang besertifikat pendidik memenuhi syarat untuk bisa dibayarkan tunjangan profesinya, mengingat ada ketentuan lain yang menyertai, sebagaimana dimuat dalam PP dan Permendikbud. Tetapi, yang pasti pemberian sertifikat pendidik dan alokasi anggaran untuk pembayaran tunjangan profesi kepada para guru yang kini mengabdi, mengajar, dan mendidik para anak bangsa, ialah bagian dari ikhtiar mulia negara menjalankan politik anggaran yang berpihak kepada guru dan sejalan dengan amanat konstitusi dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Menciptakan keadilan guru

Bicara sertifikasi guru mengingatkan kita pada polemik RUU Sisdiknas beberapa waktu lalu yang mewacanakan pemutihan bagi para guru agar bisa langsung sejahtera tanpa harus terjebak antrean sertifikasi. Agak aneh jika pemerintah berwacana ingin membantu para guru yang belum memiliki sertifikat pendidik atau belum mengikuti PPG, tetapi justru tunjangan profesi yang menjadi pengiring antara profesionalisme dan kesejahteraan justru dihapuskan dalam batang tubuh RUU Sisdiknas?

Sebenarnya jika pemerintah ingin menciptakan keadilan bagi para guru dari sisi profesionalisme dan kesejahteraan, langkah yang segera bisa dilakukan antara lain, pertama, pertahankan keberadaan UUGD sebagai landasan konstitusional yang mengatur profesi guru secara lex specialis. Kedua, tegakkan amanat sebagaimana yang tertera pada seluruh pasal dan ayat UUGD secara benar dan konsekuen. Ketiga, tuntaskan kepemilikan sertifikat pendidik bagi seluruh guru dalam jabatan melalui portofolio ataupun PPG. Keempat, pertahankan tunjangan profesi sebagai bentuk pengakuan atas profesionalisme dan kesejahteraan guru. Kelima, berikan hak guru untuk mendapatkan pengembangan profesi secara berkelanjutan dan merata.

Pada akhirnya, antara profesionalisme dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya ialah variabel yang harus dipenuhi secara beriring demi mewujudkan guru Indonesia yang berkualitas dan bermartabat. Selamat Hari Guru Nasional!

Mungkin Anda Menyukai