Penjelasan Kemenkes Terkait Kebijakan Rokok Tanpa Merek

Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi (Foto:Dok.Liputanindo)

Jakarta: Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan atau RPMK tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik, menimbulkan polemik. Aturan ini bahkan menjadi sorotan karena dianggap bisa menimbulkan kerugian bagi industri rokok sehingga berdampak pula pada sektor ekonomi negara.
 
Penyusunan RPMK sudah diumumkan beberapa pekan lalu. Draft yang direncanakan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 atau PP kesehatan.
 
Dalam kebijakannya, RPMK tersebut akan mengatur mengenai desain kemasan agar polos dan seragam.
 

Kemenkes: Bukan Pelarangan, tetapi Pengendalian

Siti Nadia Tarmizi, Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes RI mengatakan tujuan RPMK ini adalah untuk pengendalian terhadap rokok dan zat adiktif lainnya.
 
“Kami tidak melarang orang merokok. Orang tetap boleh merokok karena merokok adalah hak dari masing-masing,” ujar Siti dalam tayangan program Hot Room di Liputanindo, Rabu, 25 September 2024.
 
Siti juga menjelaskan aturan ini juga untuk mengendalikan penggunaan rokok di kalangan remaja dan anak. Perlu adanya standarisasi untuk melakukan pengendalian tersebut.
 
“Jadi di dalam PP 28 2024 dan juga merupakan turunan dari Undang Undang 17/2023, memang pengaturan daripada upaya untuk kita mengendalikan perokok remaja dan anak salah satunya kita melakukan standarisasi. Nah standarisasi ini mulai dari peringatan informasi, tulisan sampai warna kemasan,” lanjut Siti.
 

Cek Artikel:  Luhut Hindari Bersikap Dogmatis atas Teknologi Pengurangan Karbon

 

Jaga Kesehatan Masyarakat

Penyusunan RPMK yang diinisiasi Kemenkes ini mendapat dukungan dari Komnas Pengendali Tembakau, Hasbullah Thabrany. Ia menilai kebijakan ini baik untuk masyarakat, terutama untuk kesehatan.
 
“Substansi rokok menyebabkan orang lain juga rusak, bisa membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, tidak ada satu pesawat pun yang membolehkan merokok,” kata Hasbullah.
 
“Kenapa? Karena dia melanggar hak orang lain, mengganggu orang lain. Kalau mau merokok seperti Bu Nadia bilang, kalau menurut saya (selaku) akademisi, boleh silakan merokok, boleh racuni dirimu sendiri, tapi jangan racuni orang lain,” tambahnya.
 
Menurut Hasbullah, masih banyak yang belum memahami dampak buruk rokok bagi kesehatan. Karena itu, diperlukan satu langkah yang bisa membuat masyarakat sadar akan berbahayanya rokok. Salah satunya adalah dalam bentuk pengetatan terhadap pengaturan industri tembakau.
 
“Di sini salah kita. Masyarakat tidak tahu. Coba lihat di mana masyarakat tahu dia bahayanya dia merokok, ada satu lagi, ini substansi yang perlu dipahami,” katanya.
 

Cek Artikel:  Pinjaman BLBI baru 35,2 yang Balik

Polemik RPMK

Meskipun demikian, kebijakan yang diprakarsai oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ini telah menuai polemik dan sorotan dari berbagai pemangku kepentingan lain, yang mengungkapkan adanya ancaman signifikan terhadap keberlangsungan ekonomi nasional.
 
Banyak pihak dalam industri tembakau justru menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan banyak kerugian. Sebagai salah satu penyumbang cukai terbesar, para pelaku industri melihat pengaturan kemasan polos akan menyebabkan downtrading di masyarakat serta membuka ruang bagi rokok ilegal untuk terus tumbuh yang secara langsung akan mengganggu stabilitas industri dan mengurangi pendapatan negara.
 
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, turut menanggapi polemik ini. Menurut Andry, kebijakan kemasan polos berpotensi membawa kehilangan pendapatan negara hingga 96 triliun.
 
”(Jumlah ini) belum termasuk potensi kerugian dari pembatasan penjualan 200 meter dan pembatasan lainnya,” ujar Andry.

Cek Artikel:  Songsong Jakarta Dunia City, Kadin Jakpus Studi Banding ke Batam

Mungkin Anda Menyukai