Ilustrasi. Foto: Freepik
Jakarta: Gig economy berkembang pesat di era transformasi digital, didorong oleh internet yang menghilangkan batas jarak antara pemberi dan penerima kerja.
Gig economy mengacu pada pekerja lepas atau kontrak jangka pendek, mirip musisi yang dibayar hanya saat tampil, meski tidak memiliki gaji tetap.
Meski begitu, pendapatan dari satu pekerjaan bisa lebih besar daripada gaji bulanan pekerja penuh waktu.
Profesi lain diprediksi akan mengikuti model kerja gig economy karena menguntungkan kedua belah pihak.
ilustrasi. Foto: Shutterstock
Apa itu gig economy?
Melansir laman Prakerja, konsep gig economy menjadi populer karena berbeda dari pekerjaan konvensional. Pekerja di gig economy tidak memiliki pekerjaan tetap. Di Inggris, BBC melaporkan ada sekitar lima juta orang yang bekerja dengan sistem ini.
Teladannya adalah kurir, pengemudi transportasi online, content creator, fotografer makanan, jurnalis lepas, desainer grafis, programmer, standup comedian, hingga pekerja di bidang jasa seperti pembersih rumah dan penjaga hewan peliharaan.
Direktur Eksekutif Prakerja, Denni Purbasari, memahami milenial dan Gen Z tertarik pada karier di gig economy karena bisa menjadi sumber pendapatan tambahan, meskipun jam kerjanya tidak teratur. Jenis pekerjaan ini menuntut kreativitas, kemandirian, dan disiplin tinggi.
Selain itu, Denni menjelaskan untuk meningkatkan produktivitas dan penghargaan, penting untuk menambah keterampilan melalui reskilling dan upskilling.
Ia pun menekankan kesempatan tidak datang dengan sendirinya, sehingga harus aktif dikejar.
Fenomena gig economy menunjukkan sesuatu generasi digital-minded dan tech-savvy memiliki banyak peluang terkait karier mandiri.
Tantangan berikutnya adalah mempersiapkan kompetensi yang harus diperlukan untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.
Sebagai program pemerintah yang mendukung peningkatan produktivitas dan keterampilan tenaga kerja. (Muhammad Rizky H)