SUPPORT system sudah menjadi kosa kata yang makin umum di dunia parenting di Tanah Air. Support system adalah jaringan orang-orang yang bisa mendukung orangtua, khususnya ibu, dalam merawat dan membesarkan anak.
Kehadiran support system terutama terasa sangat dibutuhkan dalam masa-masa awal tumbuh kembang anak, dari bayi hingga balita. Karena di masa tersebut anak membutuhkan perhatian dan pengawasan yang hampir tidak putus. Hal ini tentunya bisa menguras energi maupun emosi ibu.
Baca juga : Krusialkah Menjadi Orang Uzur yang Humoris? Begini Menurut Para Ahli
Di banyak negara, termasuk di Indonesia, kakek-nenek menjadi support system andalan. Tentu saja secara naluriah mereka memiliki cinta yang besar pada cucu. Di sisi lain, tidak jarang pula muncul konflik antara orangtua dengan kakek-nenek ketika tidak sependapat soal pola asuh. Orangtua bisa merasa perannya dilangkahi sementara kakek-nenek menilai mereka memang semestinya membimbing anak dalam pola asuh.
Baca juga : Studi HCC: 7 dari 10 Ibu di Indonesia Alami Mom Shaming
Lantas sebenarnya seperti apa peran support system yang baik? Dokter spesialis anak, dr. Lucky Yogasatria, S.PA., mengakui jika support system memang bisa malah mengambil alih peran orangtua lewat berbagai cara, bahkan dari hal-hal kecil.
“Jadi ketika dirumah itu dateng, eh udahlah gak usah pake asi pake, sufor (susu formula) aja. Eh udah kasih kopi aja, eh di pijat dong nih, gimana sih kamu,” katanya, seperti dikutip dari Instagram pribadinya @dr.lucky.sp.a.
Baca juga : Pola Asuh Pengaruhi Perilaku Seranganf Anak
Dr Lucky menyampaikan bahwa tanpa disadari keinginan kakek dan nenek untuk memberi tahu atau saran memang bisa berwujud jadi serba mengatur. Tetapi semestinya kakek dan nenek menyadari jika peran orangtua tetap merupakan wewenang anak.
Baca juga : Gentle Parenting Bantu Bangun Kepribadian Anak Generasi Alfa
“Tapi jangan lupa orangtua itu yang bertanggung jawab full terhadap anaknya. Orangtua itu yg bertugas full terhadap anaknya,” kata dr Lucky.
Lucky pun mencontohkan jika peran orangtua bisa jadi tersingkir meski sebenarnya ia hadir di rumah, karena disuruh melakukan berbagai tugas yang bukan mendampingi anak. “Sang orangtuanya jadi gak punya waktu, malah disuruh nyucilah, malah disuruh nyiapin makanan, disuruh ini disuruh itu. Tapi anaknya malah diambil sama support systemnya, ya mertuanya, kakeknya, neneknya,” tuturnya.
Ia pun menekankan agar para support system, baik kakek-nenek maupun yang lainnya, harus menyadari jika peran ‘mendukung’ bukan dengan mengambil alih. “Support systemnya apa? Kakeknya, neneknya, suaminya, tantenya, asisten rumah tangga itu jadi support system. Ya harusnya men-support. Tapi yang terjadi contohnya itu bukan mensupport tapi mengambil alih,” lanjutnya.
Ia menekankan bahwa support system yang benar adalah justru dengan memberi bantuan agar orangtua tidak kelelahan. Para kakek-nenek yang, tentu saja, sudah tidak prima fisiknya dapat memberi bantuan berupa nasihat yang tidak memaksakan atau menggurui, suasana yang nyaman, atau bahkan dukungan fasilitas.
“Harusnya support system yang baik adalah kita memberikan kesempatan kepada orangtua untuk megang full anaknya. Diawasin aja, gak usah diintervensi orang tua (anak). Nah dibantulah supaya dia (orangtua) gak kelelahan, dibantu siapin makanannya, dibantu untuk merasakan tidak sendirian,” pungkasnya. (M-1)