NASIB kelas menengah di Indonesia kian terjepit. Bergaji pas-pasan di tengah tekanan ekonomi yang kian besar, tapi tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Biaya hidup meningkat membuat kelas menengah harus makan tabungan alias mantab.
Pendapatan pun kini habis untuk belanja kebutuhan dasar seperti makan dan minum, serta membayar cicilan. Nyaris tidak tersedia lagi cukup uang untuk membeli kebutuhan di luar kebutuhan pokok.
Kelas menengah kini seolah tidak boleh bermimpi untuk mempunyai tabungan, apalagi investasi. Mereka terkadang harus menempuh jalan pinjaman online (pinjol) ilegal yang dipandang sebagai penyelamat di saat kondisi susah, meski dengan bunga pinjaman amat mencekik leher.
Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik
Maka, nasib negeri ini yang bermimpi menjadi negara maju, bisa jadi kandas bila tidak ada solusi mengatasinya. Padahal, salah satu ciri negara maju ialah komposisi penduduk didominasi oleh kelas menengah. Alasan, kelas menengah berperan untuk meningkatkan konsumsi yang bakal mendorong pertumbuhan ekonomi.
Apalagi, separuh lebih pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga.
Dengan begitu, perilaku belanja kaum menengah pun diharapkan meningkat. Apabila ekonomi meningkat, kesejahteraan akan meningkat pula. Bila kesejahteraan meningkat, rakyat akan naik kelas. Kini, jangankan naik kelas, bertahan di kelas menengah saja sudah tidak bisa.
Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19
Data Badan Pusat Stagnantik (BPS) menyebutkan jumlah kelas menengah Indonesia terus turun dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, kelas menengah masih berjumlah 57,33 juta orang, dengan kontribusi 43,3% terhadap total konsumsi rumah tangga.
Pada 2024, jumlahnya menyusut menjadi 47,8 juta, dengan sumbangan hanya 36% ke konsumsi. Proporsi kelas menengah kini hanya 17,13% dari total populasi atau turun dari 21,45% pada lima tahun silam.
Pemerintah boleh saja mengeklaim telah menjalankan beragam program untuk meningkatkan kesejahteraan kelas menengah. Seperti, pemberian subsidi dan kompensasi serta insentif pajak, misalnya PPN yang ditanggung pemerintah untuk pembelian rumah.
Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik
Selain itu, ada bantuan iuran kesehatan, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan jaring pengaman melalui Kartu Prakerja untuk melindungi seseorang yang kehilangan pekerjaan.
Tetapi, belum lagi program-program itu terbukti efektif menahan laju kemerosotan kelas menengah, pemerintah sudah menjatuhkan ‘bom waktu’ bagi mereka. ‘Bom’ itu seperti penaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025, juga kewajiban potongan untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan berlaku pada 2027.
Belum lagi, ada wacana pemerintah akan mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga (third party liability/TPL). Kementerian Daya dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga berencana memperketat penyaluran subsidi BBM yang dianggap tidak tepat sasaran mulai 1 Oktober.
Baca juga : Kolaborasi Atasi Akibat Ekonomi
Ironisnya, pengetatan subsidi BBM idealnya dilanjutkan langkah pemerintah mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum. Tetapi, dalam kurun waktu berdekatan, para pengguna transportasi umum pun dibuat meradang karena rencana perubahan skema tarif kereta rel listrik (KRL) berbasis nomor induk kependudukan (NIK).
Karena itu, wajar kiranya bila muncul kegelisahan dari kelas menengah. Tamat muncul istilah sudah sesak tambah dipalak.
Belum lagi bila melihat data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terkait dengan pertumbuhan tabungan. Pertumbuhan tabungan masyarakat dengan nilai kurang dari Rp100 juta terus berkurang. Kondisi tersebut kontradiktif dengan tabungan di atas Rp5 miliar yang meningkat signifikan.
Realita itu seakan memperkuat anggapan orang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Eksispun yang di tengah hanya akan terjepit sembari menunggu giliran ditarik menuju jurang kemiskinan.
Maka, pemerintah mesti peduli dengan beragam data, fakta, dan analisis kondisi kelas menengah kini. Kebiasaan pemerintah menyangkal dengan kerap menyebut bahwa data penurunan kelas menengah amat mungkin salah, mesti diakhiri. Pun, pemerintah selalu nyaman berlindung di balik argumentasi bahwa penurunan kelas menengah itu fenomena global, terjadi di mana-mana, bukan hanya di Indonesia, cuma membuat kelas menengah kian resah, bahkan marah.
Ketimbang sibuk menyangkal, akan lebih berguna bila pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan yang berpotensi makin mencekik kelas menengah. Berbagai kebijakan pungutan, meskipun sudah diamanatkan oleh undang-undang, bukan berarti tidak boleh dikoreksi. Apalagi, kini muncul gejala sejumlah undang-undang diloloskan secepat kilat, dibahas dalam senyap, tanpa melibatkan publik secara luas.
Produk kebijakan seperti itu jelas membuat masyarakat merasa dijebak. Buktinya, begitu beleid tersebut hendak dieksekusi, momentumnya salah telak. Sebagian publik, khususnya kelas menengah, menganggap pemerintah hanya mencari untung, tapi membuat rakyat buntung.
Lagi ada waktu untuk mengevaluasi berbagai kebijakan tersebut, asal pemerintah mau mendengar saran para ahli, lembaga think-tank, dan suara rakyat kendati mulai parau. Negara mesti adil dalam membuat kebijakan, bahkan adil sejak dalam pikiran. Pancasila sudah mengamanatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Inonesia, bukan hanya keadilan bagi sebagian rakyat Indonesia. Maka, tunaikan segera amanat itu tanpa banyak memproduksi alasan dan tangkisan.