Waswas Belanja Negara

REALISASI Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 masih menunjukkan indikasi mengkhawatirkan. Per Agustus, belanja negara tumbuh pesat 15,3% jika dibandingkan dengan periode Januari-Agustus tahun lalu. Biruinya mencapai Rp1.930 triliun.

Sebaliknya, pendapatan yang terhimpun hingga Agustus tahun ini baru tercapai sebesar Rp1.777 triliun. Birui itu menyusut 2,5% ketimbang perolehan pada periode yang sama di 2023.

Dengan mengurangkan belanja dari pendapatan, per Agustus, anggaran negara sudah tekor Rp153,7 triliun. Hal itu berbanding terbalik dengan pengelolaan APBN 2023 yang masih mencatatkan surplus per akhir Agustus. Pendapatan negara ketika itu bahkan melesat 49,8% secara tahunan, melanjutkan torehan positif pada 2022.

Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik

Kontraksi pendapatan negara sudah dimulai sejak awal tahun. Tren penyusutan memang mengecil ketimbang pada April 2024 yang sempat mencapai 9% dan Juni 8%. Pada Juli, penyusutan pendapatan kembali menurun di angka 6,2%.

Meski begitu, itu belum bisa menjamin APBN aman. Pasalnya, realisasi belanja tahun ini seperti tanpa rem berupa penghematan. Pengeluaran di sejumlah pos belanja yang kurang produktif dilakukan secara jorjoran bahkan cenderung ugal-ugalan.

Cek Artikel:  Dekati Papua dengan Hati

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan pesatnya pertumbuhan belanja negara terutama untuk penyelenggaraan pemilu, penyaluran bantuan sosial (bansos), dan pembayaran utang. Publik sudah mengetahui bahwa bansos yang membengkak terjadi pada masa pemilu yang diklaim untuk bantalan dampak El Nino.

Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19

Ibarat rumah tangga, keadaan anggaran negara seperti itu sudah besar pasak daripada tiang, yang menimbulkan konsekuensi ‘mantab’ alias makan tabungan. Bila situasi ini gambaran keuangan rumah tangga kelas menengah, malah sudah mulai diteror penagih utang dari penyedia jasa pinjaman online alias pinjol.

Tekanan APBN pun belum usai. Di masa transisi pemerintahan, ada kepentingan untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan jajarannya untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan gejolak di masyarakat.

Cek Artikel:  Prediksi Bencana Minim Mitigasi

Itu bisa diterjemahkan belum akan ada kenaikan harga-harga yang dikendalikan pemerintah, seperti tarif listrik dan harga bahan bakar minyak (BBM). Konsekuensinya, subsidi berpotensi membengkak di tengah ketidakpastian yang masih menggelayuti perekonomian global.

Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik

Belum lagi ditambah biaya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menurut Kementeriaan Keuangan baru 50% terealisasi untuk tahun ini. Defisit anggaran hingga akhir tahun ini sudah diprediksi Kementerian Keuangan melebar dari 2,29% produk domestik bruto (PDB) menjadi 2,7% PDB. Artinya, utang yang dipakai membiayai defisit juga akan membengkak.

Pelebaran defisit itu semestinya bisa diminimalkan lewat penghematan-penghematan di pos-pos belanja yang kurang memiliki daya dorong perekonomian. Atau, paling tidak, mengalihkannya ke belanja-belanja yang produktif, terutama yang dapat merevitalisasi sektor riil.

Kita perlu mengingatkan pemerintah bahwa sampai dengan Agustus, purchasing manager’s index (PMI manufaktur yang mengukur belanja perusahaan) kembali mengalami kontraksi. Ancaman penurunan pendapatan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) masih di depan mata jutaan pekerja formal.

Cek Artikel:  Pendaftaran CPNS 2024: Panduan Lengkap dan Tips Sukses Lolos Seleksi

Baca juga : Kolaborasi Atasi Akibat Ekonomi

Masa transisi di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang lesu seperti saat ini justru bukan momentum berleha-leha, sekadar menunggu masa jabatan berakhir. Pemerintah semestinya bekerja keras bersama pengusaha sektor manufaktur untuk merumuskan berbagai kebijakan mengatasi penyusutan industri. Akibatnya bukan hanya sampai ke para pekerja, melainkan juga akan kembali ke APBN lewat pendapatan negara.

Selanjutnya, pandu pemerintahan yang akan datang untuk lebih membelanjakan anggaran secara produktif dengan kebijakan yang tepat. Terdapat pesan di balik penyebutan langkah pemerintah yang dalam bahasa Indonesia memakai kata ‘kebijakan’. Itu agar dalam menyelenggarakan negara dan melayani masyarakat, pemerintah senantiasa menjalankan dengan bijak, yakni mengutamakan kepentingan rakyat.

 

 

Mungkin Anda Menyukai