Despotisme Baru

PENCABUTAN izin secara mendadak acara diskusi publik ialah masalah serius bagi demokrasi. Apa yang dialami bacapres Koalisi Perubahan Anies Baswedan dan komunitas sipil di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, saat Pemprov Jawa Barat tiba-tiba menganulir izin yang sudah dikantongi panitia, seolah mereplikasi era Orde Baru. Ketika itu, siapa yang berbeda suara tidak mendapat tempat.

Berbeda dengan Orde Baru yang tindakan antidemokrasinya selalu ditantang kekuatan sipil, kini beragam langkah kekuasaan yang tidak sejalan dengan spirit demokrasi tetap mendapat dukungan.

Saya lalu teringat dengan pernyataan guru besar University of Sydney dan Wissenschaftszentrum Berlin, John Keane, tiga tahun lalu. Pada 2020, profesor di bidang politik dan kajian demokrasi ini memperingatkan akan bahaya despotisme baru di sejumlah negara.

John Keane menggambarkan dunia masa depan yang didominasi despotisme baru, yakni ‘sebuah pemerintahan pseudo-demokratis jenis baru yang dipimpin oleh para penguasa yang ahli dalam seni memanipulasi dan mencampuri kehidupan masyarakat, mengumpulkan dukungan mereka, dan menang dengan kepatuhan mereka’.

Cek Artikel:  Rekanan Politik Hakim Konstitusi

Dalam despotisme baru, pemilu terus berlangsung. Pemisahan kekuasaan politik dan peradilan juga dijalankan. Kesetaraan warga negara tetap dipertahankan. Tapi, semuanya semu. Segalanya serbaseolah-olah. Sepertinya demokratis, padahal yang dijalankan justru antidemokrasi.

John Keane mencontohkan Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan. Erdogan dan partainya, AKP, berkuasa dengan mengartikulasikan bahasa keadilan sosial yang populis dalam kelompok Islam. Tetapi, Erdogan menerapkan despotisme baru, dimulai dengan mengubah konstitusi yang memungkinkannya memegang kekuasaan hingga 2029.

Di sisi lain, pascapercobaan kudeta pada 2016, lebih dari 160 ribu anggota lembaga peradilan, akademisi, guru, polisi, dan pegawai negeri sipil dianggap sebagai pembangkang. Beberapa aktivis juga dipersekusi hingga mereka meninggalkan Turki.

Beberapa contoh lainnya, tulis Keane, juga terjadi pada Presiden Jair Bolsonaro di Brasil, Viktor Orban di Hongaria, Emomali Rahmon di Tajikistan, Rodrigo Duterte di Filipina. Ketika memerintah, mereka tetap populer, kendati banyak tindakan mereka yang tidak demokratis.

Despotisme baru berbeda dengan despotisme klasik yang mengacu pada kekerasan dan penegakan hukum sewenang-wenang tanpa persetujuan rakyat.

Cek Artikel:  Politik Dinasti Recoki Demokrasi

Rezim despotisme baru memerlukan keberadaan institusi demokrasi dan pemilihan umum yang bebas dan adil. Bentuk demokrasi yang menyimpang memiliki kapasitas menciptakan persetujuan sosial melalui manipulasi.

Jadi, dalam despotisme baru, meskipun ketidakadilan ada di depan mata, kebebasan berekspresi dikekang, kekuasaan mulai memainkan hukum, dan prinsip rule of law diganti rule by law, rezim tetap mampu memuaskan rakyat. Mereka tetap mendapatkan ‘persetujuan’ rakyat yang tecermin, salah satunya, dari hasil survei tingkat kepuasan publik.

Peringatan Keane itu juga diulas dosen ilmu politik Universitas Airlangga Surabaya Airlangga Pribadi Kusman dan dosen ilmu hukum Universitas Brawijaya Malang Milda Istiqamah melalui analisis di Melbourne Asia Review, sebuah jurnal milik Asia Institute.

Dalam tulisan berjudul Indonesia’s ‘new despotism’ yang diunggah pada Mei 2021 itu, keduanya memperingatkan bahwa penguasa Indonesia bisa ‘tergoda’ menjadi kaum ‘despotik baru’. Mereka meletakkan kata despotisme baru dalam tanda kutip.

Cek Artikel:  Berkaca dari Argentina

Airlangga dan Milda menganalisis tanda-tanda yang bisa mengarahkan Indonesia terjebak pada despotisme baru itu. Di antaranya, pernyataan Presiden Joko Widodo yang sering menganggap demokrasi kita kebablasan, terlalu gaduh, dan menghambat percepatan pembangunan ekonomi.

Selain itu, tulis Airlangga dan Milda, pemerintahan Jokowi menunjukkan ciri-ciri despotisme baru melalui penciptaan wacana antagonisme budaya yang mengkriminalisasi lawan-lawannya dari masyarakat sipil dan membantu membangun persetujuan publik.

Hal itu, misalnya, terlihat pada pembingkaian kelompok yang kritis terhadap melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemerintah secara keliru menyatakan bahwa KPK telah disusupi oleh kelompok Islam radikal hingga memunculkan istilah ‘talibanisasi KPK’. Wacana ini disebarkan melalui influencer dan ‘buzzer’ di media sosial.

Saya berharap apa yang terjadi akhir-akhir ini bukan jalan ke arah despotisme baru. Terlalu mahal harganya bagi negeri ini bila kesepakatan bersama kita memilih jalan demokrasi diputarhaluankan ke antidemokrasi atas nama ‘ketenangan’ dan ‘kenyamanan’ pembangunan.

Mungkin Anda Menyukai