PERSIAPAN untuk memulai tatanan kehidupan baru (era kenormalan baru) di masa pandemi covid-19, sejatinya, telah diberlakukan sejak awal Juni 2020, dengan dimulainya pelaksanaan regulasi pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di hampir seluruh wilayah RI.
DKI Jakarta sebagai ibu kota negara mengadopsi strategi pelonggaran PSBB sebelum memulai era kenormalan baru, dengan istilah PSBB transisi. Secara umum, pelonggaran PSBB ditandai dengan dibukanya tempat ibadah, perkantoran pemerintah dan diperbolehkannya para pegawai baik ASN dan swasta untuk kembali sepenuhnya beraktivitas dari kantor.
Tempat kerja tersebut tidak terbatas hanya pada perkantoran dan perindustrian. Tetapi, termasuk 12 jenis tempat kerja lainnya, seperti pasar, mal, hotel, restoran, moda transportasi, salon atau jasa perawatan kecantikan, dan tempat rekreasi.
Berbekal protokol kesehatan yang dibuat sesuai dengan standar kesehatan dari WHO, dan physical distancing yang wajib dilakukan setiap pekerja, masyarakat, khususnya warga Ibu Kota, pun mulai kembali aktif melakukan kegiatan mereka. Hal itu akan memberikan harapan baru untuk bangkitnya perekonomian negara.
Bingungkatan positivity rate dan kasus baru
Tetapi, fakta yang terjadi setelah diberlakukan pelonggaran PSBB di beberapa wilayah di Tanah Air, angka kasus positif orang yang terkonfirmasi covid-19 terus bertambah secara signifikan. Berdasarkan data dari Satuan Tugas Penanganan Covid-19 angka positivity rate harian di Tanah Air terus naik, terutama pada tiga bulan terakhir, yaitu Juni, Juli, hingga tertinggi di Agustus dengan kisaran 13.9% (13/9). Bilangan itu masih jauh dari standar WHO, yakni sebesar 5%.
DKI Jakarta sebagai penyumbang terbesar dari sebaran covid- 19 di Indonesia telah melaporkan peningkatan kasus baru dalam dua bulan terakhir, sebesar 33%, dan peningkatan jumlah penderita covid-19 yang meninggal sebesar 17% (data Pemprov DKI 11/9).
Meningkatnya kasus baru covid-19 signifi kan berasal dari munculnya berbagai klaster. Antara lain klaster perkantoran, klaster pasar atau area berkumpul publik, klaster keluarga, dan, yang sangat ironis, ialah klaster fasilitas kesehatan (faskes), seperti puskesmas dan rumah sakit. Banyaknya dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya yang terinfeksi oleh covid-19 semakin menambah beban pelayanan kesehatan saat ini.
Fakta lain, terkait dengan pelonggaran di masa PSBB transisi adalah melonjaknya jumlah penderita covid-19 yang memerlukan perawatan di RS.
Bingungkatan kasus aktif ini tidak dibarengi dengan kapasitas fasilitas kesehatan, seperti kecukupan jumlah kamar isolasi dan ruang rawat ICU khusus covid dengan fasilitas yang memadai.
Dengan demikian, jumlah fasilitas perawatan yang tersedia saat ini semakin penuh terisi, dan mendekati ambang batas.
Watakistik penderita covid- 19 juga semakin hari semakin bervariasi, disertai dengan kompleksitas penyakit penyerta (komorbid).
Selain itu, rentang usia penderita covid-19 tidak hanya didominasi usia lanjut (lansia). Jumlah penderita covid-19 pada ibu hamil dan anak-anak juga semakin hari meningkat, tidak hanya di kota-kota besar di Indonesia, tetapi juga tersebar di beberapa provinsi di Tanah Air.
Oleh karena itu, dengan fakta-fakta di lapangan, diperlukan adanya evaluasi terhadap kebijakan pelonggaran PSBB, untuk menentukan apakah regulasi menghadapi kenormalan baru ini telah berjalan efektif, atau malah justru merugikan
Strategi PSBB saat ini dianggap sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk menekan laju penyebaran covid-19 sebelum ditemukannya pengobatan spesifik untuk covid-19 dan juga vaksin. Penyelenggaraan PSBB jilid I di Indonesia, yang dimulai April hingga Juni 2020, pada dasarnya ialah model partial lockdown yang hampir mirip dengan apa yang dilakukan Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara tersebut tidak memilih lockdown total seperti yang dilakukan pemerintah Tiongkok.
Setelah dua bulan masa PSBB I, pergerakan kurva terkait dengan kasus positif covid-19 landai dan cenderung tidak meningkat. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah melakukan pelonggaran PSBB terhitung sejak awal Juni 2020.
Begitu ini, berkaca dari regulasi PSBB tahap I dan PSBB transisi serta output yang ditunjukkan dengan penambahan angka covid-19 terkonfirmasi, pemberlakuan PSBB seperti di tahap awal merupakan pilihan yang tepat. Jikapun demikian, salah satu konsekuensi berupa stagnasi ekonomi merupakan dampak yang tidak diinginkan dari pelaksanaan PSBB tahap kedua.
MI/Seno
Ilustrasi MI
Tujuan urgensi PSBB II
Terdapat beberapa tujuan dan urgensi dari pelaksanaan strategi PSBB jilid kedua. Pertama ialah capaian flattening the curve yang didukung pada data surveilans epidemiologi covid-19. Sesuai dengan studi pemo delan penanganan penyakit menular, langkah-langkah surveilans seperti melakukan pengujian (testing) dan pelacakan (tracing), isolasi dan karantina, serta strategi pembatasan pergerakan manusia berperan penting dalam mengurangi penyebaran penyakit.
Oleh karena itu, hal ini perlu didukung dengan data akurat dan transparan yang akan membantu proses penanganan pandemi covid-19. Pencapaian kurva landai yang menunjukkan perlambatan transmisi (penularan) diperlukan untuk memastikan bahwa jumlah kasus yang memerlukan perawatan di RS masih berada di bawah kapasitas sistem pelayanan kesehatan yang tersedia.
Dengan demikian, angka kematian pun dapat diturunkan. Sebagai contoh, tanpa adanya intervensi pembatasan ketat, ruang rawat ICU khusus covid-19 di rumah sakit rujukan di DKI Jakarta diperkirakan akan penuh pada minggu ketiga September 2020.
Solusi berupa usaha meningkatkan kapasitas dalam waktu singkat pun diperkirakan tetap akan penuh pada akhir September 2020.
Tujuan kedua ialah mengurangi kasus baru covid-19 terkonfirmasi. Krusial untuk diketahui bahwa angka nol infeksi sangat sulit dicapai pada penularan covid-19. Secara teori, covid-19 menyebar seperti halnya influenza atau flu biasa dan termasuk berasal dari mereka yang tidak memiliki gejala (OTG).
Watakistik virus SARS-CoV-2 menyebabkan gejala penyakit yang ringan pada banyak orang sehingga mampu menyebar tanpa deteksi sampai virus terpapar pada individu atau populasi yang rentan.
Paparan virus SARS-CoV-2 pada individu yang rentan akan menimbulkan gejala ringan sampai berat.
PSBB jilid II diharapkan akan membantu mengurangi proses transmisi antarindividu karena adanya physical distancing dan kontak secara langsung antarmanusia. Pada akhirnya jumlah individu baru yang terinfeksi covid-19 akan berkurang secara signifikan.
Tujuan ketiga dari PSBB jilid II ialah mencegah munculnya kasus baru covid-19 terkonfirmasi, baik di daerah maupun perkotaan, akibat adanya mobilitas dan pergerakan individu antarkota, antarwilayah, dan juga antarpulau di Indonesia. Jadi, pengurangan transmisi regional diharapkan memperbanyak zona hijau di seluruh wilayah Tanah Air.
Tujuan keempat ialah dengan PSBB jilid II, akan tersedia waktu yang bisa digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan, beserta faktor pendukungnya. PSBB jilid II akan mengurangi jumlah pasien yang dirawat di RS. Dengan demikian, hal ini juga diharapkan akan mencegah kelelahan para petugas kesehatan.
Kendala PSBB jilid II
Pendekatan PSBB jilid II juga harus terlepas dari permasalahan seperti komunikasi yang tidak efektif dan tidak adanya koordinasi yang jelas di level pembuat kebijakan sehingga menghambat penanganan pandemi covid-19.
Pemerintah saat ini secara umum melakukan kekeliruan dalam skala prioritas, yakni dalam rangka melindungi kestabilan ekonomi dalam waktu dekat, dan kekhawatiran, kondisi ekonomi nasional memburuk, menjadikan status kesehatan masyarakat bukan sebagai prioritas utama.
Ini menyebabkan pola penanganan pandemi covid-19 terkesan tidak total dan menunjukkan adanya kelemahan mekanisme respons terhadap situasi darurat. Kemudian, masih rendahnya angka cakupan tes diagnosis menyebabkan data surveilans covid-19, seperti berapa persen kemungkinan terjadinya transmisi lokal, di wilayah Indonesia menjadi tidak jelas. Prinsip it will get worse before it gets better mengingatkan pemerintah untuk memilih strategi terbaik dalam penanganan wabah. Dukungan pemerintah pusat pada pelaksanaan PSBB jilid II dengan memberikan payung hukum terhadap proses pemberian sanksi tegas (law enforcement) bagi pelanggaran PSBB akan berkontribusi pada pelaksanan PSBB yang optimal.
Pemerintah RI beberapa waktu lalu juga telah menyetujui pelaksanaan uji klinis jilid III Sinovac dan telah menjalin kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UEA) dalam rangka pemenuhan kebutuhan vaksin dalam negeri.
Beberapa negara di dunia juga tengah berlomba dalam rangka menemukan vaksin covid-19 termasuk Indonesia, melalui Lembaga Eijkman yang bertekad untuk menemukan dan mengembangkan vaksin Merah Putih.
Sementara menunggu proses penemuan vaksin, strategi PSBB jilid II amat mungkin akan melewati jangka waktu yang belum diketahui secara pasti, kapan akan berakhir. Mengingat proses produksi dan pengembangan vaksin yang sangat rumit dan sulit, bukan tidak mungkin dalam dua tahun kedepan vaksin covid-19 belum juga ditemukan. Ditemukannya vaksin juga bukan berarti akan menghilangkan virus sepenuhnya.
Oleh karena itu, kita perlu berdamai dengan kenyataan bahwa kita tidak dapat menghilangkan virus ini. Yang terbaik, kita dapat terus memperlambat penyebarannya, melindungi individu yang rentan dan melakukan protokol kesehatan dengan disiplin, baik dan benar.