Pembajakan Pilkada

Pembajakan Pilkada
Ilustrasi(Dok.MI)

PADA intinya, orang-orang yang merasa paham atau beriman’ pada demokrasi mestinya sepakat bahwa seluruh penduduk, tanpa kecuali, memiliki hak yang sama dalam hal, misalnya berpendapat, mengutarakan isi hati, atau pikirannya. Termasuk, menyalurkan dukungan, pilihan, atau suara dalam proses mencapai kesepakatan bersama demi keteraturan atau order.

Ajang seperti pemilu atau pilkada, hanya sarana atau proses lanjutan, hak atau suara publik tersalurkan lewat figur atau tokoh tertentu yang dianggap mampu menyampaikan aspirasi itu. Menjadi wakil atau representasi suara publik itu. Yang antara lain mendapat kehormatan (hingga fasilitas cukup bahkan berlebih) untuk tugas ‘suci’ itu.

Dalam perkembangannya, tugas itu mengalami semacam metamorfosis. Proses dan tujuan-tujuan luhur itu termodifi kasi hingga terkodifi kasi
sedemikian rupa hingga menjadi sistem yang ternyata lebih melayani kebutuhan dari sang representan ketimbang publik yang diwakilinya.

Apa yang terjadi dalam perkembangan terakhirnya, proses dan tugas suci tersebut, (lebih) kerap dibelokkan, dicurangi, dikhianati, dan dimanipulasi, atau diganti dengan kepentingan pribadi, ambisi, dan kekuasaan, bahkan desak an partai pendukung.

Definisinya, demokrasi yang menjadi mantra ajaib atau alakazamnya Alibaba itu ternyata tidak menjadi limpahan korun bagi publik atau konstituen yang selama ini dianggap menjadi tujuan utama dari berlangsungnya pesta demokrasi tersebut.

Pesta itu ternyata telah berubah, dari kegembiraan rakyat yang merasa selama ini mendapatkan kebaikan atau kemaslahatan, dari demokrasi, tapi ternyata menjadi pesta dari sekelompok tuan yang terhormat, para wakil rakyat merayakan kegembiraan kemenangan juga penghasilan pribadi, hingga kelompok atau partai yang diwakilinya.

Demokrasi telah menjadi pengkhianat pada dirinya sendiri, walaupun itu diselubungi atau dibumbui teori retorika, yang menjadi anggur, dari kata-kata para pembesar atau elite-elite. Definisinya, selama ini atau mungkin sejak awal demokrasi itu berlangsung, yang terjadi ialah kepalsuan dan pengkhianatan dari tujuan utama demokrasi, ekonomi, filosofi , atau hidup manusia itu untuk mencapai puncak kebahagian.

Fakta tersebut sebenarnya bukan lagi realitas yang bisa di sembunyikan. Dia telah menjadi fakta yang harus di akui, bahkan oleh sebagian penduduk di bumi ini. Bahwa praktik-praktik demokratis, bahkan teori-teori yang di piling di dalamnya, banyak di tujukan menciptakan semacam kesadaran palsu tentang tugas suci dari demokrasi, kerja ekonomi, sosial, bahkan agama. Sebagian pihak yang menyadari hal itu, sampai pada satu tingkat kesadaran, ia ternyata tidak mampu lagi berbuat apa-apa terhadap keadaan tersebut.

Cek Artikel:  Reformasi dan Anomali Demokrasi

Sekalian kenyataan itu harus diterima begitu saja secara taken forgranted, bahkan sebagian besar kalangan menganggap itu sebagai nasib dari manusia, dari bumi ini.

Dalam situasi tersebut, apa yang kita terima dan pahami dari sebuah pesta demokratis yang kita sebut pemilu atau pilkada, sebenarnya memiliki sifat-sifat atau karakter yang sebangun dengan apa yang terjadi di belahan dunia lainnya. Definisinya, pilkada yang sekarang ini sedang dalam proses penyelenggaraannya sudah hampir kehilangan rohnya, kehilangan maknanya, dan kehilangan tujuannya.

Ia seperti menjadi pengkhianat, dari tujuan awal atau luhur gagasan tentang demokrasi, pengkhianat dari konstituennya sendiri atau bangsanya sendiri.

Mahluk dan kemanusiaan

Terlebih, saat kita mesti mendapatkan semacam azab atau bencana melanda seantero negeri. Begitu pandemi covid-19 menghancurkan semua kualitas dan kapabilitas kesehatan kita. Tak cuma itu, juga daya tahan kemanusia an kita, kapasitas sosial kita, hingga bangunan ekonomi, agama, atau generasi masa depan kita.

Mahluk dan kemanusian, untuk kesekian kalinya mendapat ujian cukup berat yang mampu menggerakkan seluruh penduduk bumi bereaksi bersama. Melakukan hal yang sama, menderita bersama, menjadi preseden global, dan dalam situasi itu, sebuah ‘pilkada’ menyeruak dan
meminta atensi dan perhatian.

Dia seperti mencari fokus dengan kegiatannya yang genit dan penuh kecerewetan medialik, di saat semua pihak sibuk dengan keselamatan dirinya. Sebuah aksi juga demonstrasi ketidakpekaan dan ketidakpedulian egoistik yang angkuh. Menyelenggara kan pesta, demi kepentingan sendiri, di saat kita justru harus tegak bersama, ‘merayakan’ kematian bersama, rasa sakit yang sama, dan nasib yang sama.

Bukan saja mesti kita mempertanyakan ‘liang sim’ atau hati nurani para figur atau tokoh politik, melainkan juga para penanggung jawab negara dari atas hingga tingkat terbawah.

Fakta yang ironis, bahkan tragis ini memberi kita kesadaran kolektif, bahwa sesungguhnya ada yang tidak cukup beres. Bahkan, tidak benar dalam diri bangsa kita, sekurangnya dalam soal mengelola berhidupan bernegara, kehidupan politik di antaranya. Satu kenyataan yang seharusnya bisa dengan jujur, jika akui bersama karena telah menjadi ‘fakta’ sosial dan budaya di kita.

Momen krusial semacam pilkada yang tengah berlangsung saat ini, selaiknya dapat menjadi cara kita memperbaiki diri, memeriksa, dan mengubah kekeliruan. Termasuk, menghindarkan diri dari kesalahan adab atau cultural fallacy yang fatal.

Cek Artikel:  Penilaian Publik 20 Pahamn Demokrasi

Betapa pun ‘dosa’ adab mungkin sudah dalam kondisi yang akut bahkan mematikan, sebagai manusia dengan kodrat dan kemampuan mereparasi di diri sendiri, kita (manusia) memperbaiki segala yang telah rusak dan apkir. Sebagaimana sejarah, mengajarkan pelbagai tragedi di sepanjang umur manusia, pada akhinya dapat dilewati atau diatasi, dan tentu kali ini pun semestinya demikan.

Tentu, usaha itu tidak akan berhasil jika beberapa hal yang penting dan fundamental tidak dilakukan dan sungguh-sungguh, baik secara indivual maupun kolektif. Antara lain dengan melakukan koreksi kritis, dan bahkan jika perlu radikal cara kita bernegara. Terutama, dalam cara berpolitik, membangun etika dan tradisi, hingga perilaku politik kita.

Apa yang saya sebut sebagai ketelanjuran sistemis selama ini mesti dihentikan. Kita dapat kembali, misalnya, pada ide-ide awal kita sebagai bangsa. Enggak hanya berdasar ide-ide para bapak bangsa kita, tetapi juga gagasan yang dimiliki para leluhur bangsa.

Gagasan-gagasan yang tidak bisa diremehkan apalagi sebagian banyak dari ide itu pernah terbukti kemampuan, kualitas, daya tahan, hingga sustainability-nya.

Sebenarnya musibah covid-19 yang melanda negeri kita saat ini bisa menjadi frog leap dari bangsa ini untuk dapat melompat jauh ke depan. Tentu saja, dengan kondisi atau prasyarat yang mungkin berat, tapi bukan tidak mungkin kita lakukan.

Peran utama

Salah satu hal krusial dalam upaya besar ini, ada beberapa peran utama yang mesti di tempatkan secara tepat, sebagai aktor utama, misalnya, atau sebagai penggerak atau stimulator, hingga usaha ini dapat bergerak. Bahkan, menjadi energi besar untuk dapat digunakan bangsa ini, bahkan seisi dunia.

Mungkin beberapa pemimpin yang tangguh, cerdas, dan gigih dapat dipilih atau memilih dirinya sendiri menjadi penggerak utama,
jadi motor yang dapat menancap gas yang diperlukan. Tetapi, aktor terpenting dari semua peran yang dibutuhkan, tidak lain pemimpin ‘besar’ yang bertugas sebagai memegang komando. Termasuk, dalam soal menentukan arah, cara, hingga filosofi dari kekuatan ini.

Apakah peran yang leading ini harus diemban sesorang kepala negara, mungkin presiden, atau semacam great man yang lahir atau dilahirkan. Dalam situasi saat ini mungkin banyak pesimistis terhadap great man, tentu saja beralasan kuat karena potensi itu tercium saja tidak.

Memang pada galibnya, saat ini kita menderita krisis tokoh atau individu yang bukannya representatif dan memiliki kapabilitas utama. Kalau mengikuti berpikir yang mitis dan mitologis dalam adat dan tradisi kita, kembali kita akan menyebut nama semaca Messiah, Satrio Piningit, Imam Mahdi, dan sebagainya.

Cek Artikel:  Kerentanan Pandemi dan Paradoks Resiliensi

Tetapi, ternyata dalam kenyataan mutakhir kita belakangan ini, kategori-kategori di atas tidaklah mencukupi. Persoalan saat ini yang super kompleks dan multidimensial tidak cukup dipenuhi figur-figur mistis dan mitologis yang ada. Definisinya, mende- sak adanya kondisi khusus yang luar biasa bagi tokoh baru kita ini.

Tokoh yang setidaknya dapat menjalankan peran/tugas utama bangsa kita, sebagaimana sudah terurai di atas. Bila saya pendapat perkenankan untuk merinci tugas, atau kapabilitas tokoh baru ini. Di antaranya:

Pertama, berkemampuan mempersatukan, setidaknya mayoritas penduduk, untuk memiliki perasaan yang sama, arah dan tujuan sama, dan cara yang sama. Kedua, tingkat kesolehan yang tinggi hingga perannya sebagai umara terlegitimasi secara kuat dan berakar.

Ketiga, pemahaman yang adekuat tentang rakyat dan bangsanya sendiri, secara detail dan cermat, identitas, karakter, hingga sejarah rakyatnya. Keempat, memiliki visi yang sangat tajam dan kuat, bagaimana atau ke mana bangsa ini akan diarahkan, menuntut kejernihan pikiran dan gagasan.

Kelima, karenanya, perlu maqom yang tinggi dalam (tingkat) kecerdasan. Termasuk, kemampuan mengatasi’ cerdas orang lain. Keenam, keberanian dan keuletan dalam menjalankan tugas. Termasuk, mengambil risiko atau menjawab tantangan praktis maupun idealistis.

Ketujuh, menjadi simbol indentitas bangsa termasuk dalam tugasnya sebagai wakil negeri di mata internasional. Kedelapan, sikap hidup atau cara hidup yang jauh dari riya, berlebihan, tawadu, hingga ia harus mendahului siapa pun di atas diri sendiri.

Sekalian isyarat atau syarat di atas tentu saja dapat interpretasi yang bermacam. Apa yang perlu dipahami bahwa seluruh kondisi itu bertujuan tidak lain, terjadi atau didapatkannya kesepakatan bersama, gerak bersama, dan daya juang yang sama. Apakah akan kita temukan (domisili geografis, biologis, hingga keratif) tokoh kita ini, tidak ada yang akan pernah tahu.

Apa yang mungkin bisa kita lakukan ialah mempersiapkan atau menciptakan kondisi terbaik untuk menculnya tokoh kita ini. Termasuk, gangguan, cobaan, pukulan, sampai luka-luka yang harus diderita fisik dan batin oleh tokoh ini.

Terdapatkah kita bernasib terlibat dalam proses muncul dan tumbuhnya tokoh ini, tidaklah penting. Yang utama kita akan berkontribusi dalam proses yang tidak sederhana ini. Semoga.

Mungkin Anda Menyukai