Menahan Laju Kemunduran Demokrasi

Menahan Laju Kemunduran Demokrasi
Ahsan Jamet Hamidi, Pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Pengembangan Cabang dan Ranting (Dok.Pribadi)

MENARIK saat berdiskusi dengan para pemilih pemula di Aceh, Yogya, Ambon, dan Jakarta untuk membicarakan seputar masalah praktik berdemokrasi di Indonesia. Arus diskusi mengerucut pada bahasan tentang akuntabilitas penyelenggaraan PEMILU, sebaran informasi hoaks, dan pengaruhnya pada kualitas hasil PEMILU. Terdapat yang mencemaskan, mengagetkan sekaligus membanggakan. 

Saya tidak berani menempatan para pemilih pemula tersebut sebagai kelompok rentan. Sebaliknya, mereka memiliki potensi, penuh kejutan yang tidak mudah bisa terbaca oleh saya, generasi yang sudah lebih dari setengah abad. Saya optimis, kehadiran mereka mampu mendorong gerobak demokrasi untuk melaju kedepan.

Saya membuka telinga lebar-lebar mendengarkan kegelisahan mereka dalam diskusi. Apa saja concern mereka sebagai pemilih pemula, berikut adalah cuplikan pendeknya. 

Minim Program Pendidikan Politik 

Para pemilih pemula paham, bahwa sistem keterwakilan yang digunakan selama ini, adalah ikhtiar maksimal bagi Rakyat sebagai pemilik suara yang punya aspirasi. Ini salah satu wujud dari sistem demokrasi. Terdapat peran sebagai wakil rakyat yang akan menjadi penyalur aspirasi warga. Terdapat pemimpin daerah dan Presiden yang akan menjalankan program untuk memenuhi kebutuhan warga. Mulai dari kebutuhan dasar, kesehatan, pendidikan, ekonomi, keamanan, beribadah. Mereka tidak menyebut memenuhi ”kesejahteraan” warga. Itu cita-cita semua orang yang sulit diwujudukan. 

Para wakil Rakyat, Pemimpin Daerah serta Presiden, mereka semua akan dipilih Rakyat melalui sistem Pemilu. Lumrahnya, sebelum dipilih, perlu ada proses dialog intens dengan warga sebagai pemilih dan akan diwakilinya dong. Faktaya, dialog, tukar pendapat seperti itu jarang sekali terjadi. Apesnya, informasi yang tersebar di telinga para pemilih pemula adalah hanya seputar uang dan janji lain yang akan diberikan jika mereka memilih sang calon.  

Cek Artikel:  Perlukah Moderasi Variasia Dikembangkan sebagai Budaya Keilmuan

Mereka bertanya, mengapa tidak pernah ada pendidikan politik bagi para calon pemilih agar lebih paham sistem pemilu, cara menilai calon, mekanisme kampanye di akar rumput dan seterusnya. Hal itu juga penting diberikan kepada mereka yang akan dipilih. Sehingga tidak hanya sekedar memasang baliho, memberikan janji yang terkadang di luar nalar para pemilih pemula.  

Meski pendidikan politik praktis itu jarang bisa diperoleh, mereka pernah belajar melalui sistem pemilihan Ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) di Sekolah. Terdapat yang berperan sebagai panitia pemilih, ada proses penjaringan calon yang akan dipilih, ada pengumpulan indentitas calon pemilih, ada mekanisme pemilihan yang disepakati bersama, hingga ketentuan waktu pemilihan.

Terdapat cerita menarik dari salah satu siswa. Ketika semua persyaratan itu sudah dipenuhi, tiba-tiba muncul instruksi dari para pengelola Sekolah. Isinya, selain murid-murid, para guru akan punya hak suara. Anehnya, satu orang guru memiliki 10 suara. Sementara satu murid satu suara. Ketentuan itu dibuat untuk menjamin bahwa Ketua OSIS terpilih, bisa selaras dengan aspirasi para guru di sekolah. 
Panitia pemilihan yang berusaha agar proses pemilihan berjalan fair tidak berdaya. Rupanya, sistem yang sudah diniatkan fair, bisa diubah oleh otoritas lain atas dasar kuasa yang dimilikinya. 

Sikap Apatis

Para pemilih pemula mengeluh akan minimnya kehadiran para pihak yang terlibat dalam PEMILU dalam ruang-ruang perjumpaan di komunitasnya. Akibatnya, muncul sikap apatis, abai, tidak mau tahu. Soal Pemilu, mereka hanya tahu bahwa di jalan-jalan ada gambar calon DPRD, DPR RI, DPD maupun Calon Presiden. Tetapi tidak tertarik membaca agenda para calon. Kadang hanya menertawakan gambar-gambar di dalam poster yang menurut mereka lucu, ketahuan banget hasil rekayasa digital. 

Cek Artikel:  Konsolidasi Demokrasi Demi Pemilu 2024

Meski begitu, mereka merasa kurang nyaman jika sikap ketidakpeduliannya dikaitkan dengan anggapan bahwa mereka tidak paham essensi penting dari Pemilu, sebagai pilar penting dalam demokrasi. ”Kami bisa belajar dari internet dengan cepat dan mudah kok,” ujarnya. Tapi, Pemilu itu dianggap belum menjadi ”hajatan” mereka. 

Belum yakin bahwa aspirasi para pemilih pemula itu bisa dipahami, dan dipenuhi oleh para wakil yang akan dipilihnya nanti, juga menjadi temuan diskusi. ”Membicarakan aspirasi masing-masing saja belum pernah, bagaimana akan dipenuhi?” ujarnya penuh skeptis. Para pemilih pemula juga merasa bahwa kehadiran beberapa calon berumur muda usia, tidak menjamin bisa memikat minat mereka untuk memilih. Umur boleh muda, tapi kalau karakternya feodal, maka hal itu pasti tidak akan menarik. 

Dari Ambon dan Aceh, muncul kekhawatiran dari kalangan anak muda yang pernah terluka oleh konflik di masa lalu. Apabila PEMILU bisa menimbulkan kegaduhan dan konflik, maka itu adalah ancaman buruk bagi demokrasi. Peristiwa apapun yang berpotensi menimbulkan konflik harus dicegah. 

Resilien dari Informasi Hoak

Para pemilih pemula berani menjamin bahwa mereka adalah generasi muda tangguh yang tidak akan mudah terpapar oleh sebaran informasi dan berita hoaks. Bagi mereka, berita-berita bohong itu mudah untuk dideteksi. ”Generasi kami melek teknologi, kami paham carannya, sehingga tidak akan mudah terpapar,” ujar Destika Gilang, seorang pegiat anti fitnah dari Banda Aceh. 

Cek Artikel:  Moderasi Berbagai macama dan Berbangsa untuk Keutuhan Indonesia

Mereka juga menyanggah sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa pilihan anak-anak muda bisa dipengaruhi oleh tampilan, gaya para calon yang gemar bergaya seperti anak muda. Gaya dan perilaku yang sengaja dibuat-buat agar mirip seperti anak muda itu adalah gimik, lucu bahkan manipulatif. Anak muda tidak akan mudah diperdaya oleh tampilan penuh kepura-puraan seperti itu.   

Ketika para pemilih pemula bersikap apatis, tidak peduli, membiarkan praktik kecurangan dan permainan kotor para penyelenggara dan para kontestan, hingga muncul keyakinan bahwa Pemilu tidak akan mengubah apa-apa dalam hidup mereka, maka sikap semacam itu sudah menkhawatirkan. Ini perkara serius yang harus segera ditangani, karena akan berpengaruh pada kualitas hasil PEMILU. 

Menguatkan Kualitas Demokrasi

Dari Aceh, saya terharu ketika mendengar pernyataan salah satu peserta yang tidak mempertentangkan masalah demokrasi dengan Religi. Dia mengatakan bahwa pilihan terhadap demokrasi, justru bisa memudahkan dan menjamin dirinya dalam menjalankan seluruh ajaran Religi secara baik dan sempurna.

Tetap ada waktu bagi kita untuk memperbaiki setiap kesalahan. Ketika demokrasi telah dipercaya sebagai salah satu jalan memperoleh kemaslahatan, maka hasilnya tidak akan datang tiba-tiba secara gratis. Kualitas hasilnya akan dipengaruhi oleh integritas para pemangkunya. Demokrasi akan berarti, jika kita semua bisa taat pada aturan main yang telah disepakati dalam Konstitusi.  (*)

Mungkin Anda Menyukai