MENJELANG sore pada Jumat (9/8), sekelompok orang muda berkumpul di depan TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. Tak lama kemudian mereka memasuki TPU dan langkah terhenti di makam dengan nisan yang bertuliskan ‘Makam Pahlawan Nasional. Hj Fatmawati. Penjahit Bendera Pusaka Merah Putih’.
Seorang lelaki berkaus kuning yang memimpin rombongan itu kemudian menuturkan sejarah hidup sang istri Presiden Pertama RI Sukarno itu. “Beliau menjahitnya dengan tangan dan waktu itu beliau sedang hamil tua, yang juga jadi alasan kenapa tidak dijahit menggunakan mesin jahit karena agak sulit ketika seseorang sedang hamil dan harus menjahit dengan mesin jahit,” jelas sang pria berkaus kuning yang juga membawa sebuket mawar.
Setelah sekitar 10 menit menuturkan kehidupan Fatmawati dan jasanya bagi kemerdekaan Indonesia, ia mengajak rombongan beranjak ke makam lainnya. Sebelum itu ia meletakkan kuntum mawar di makam sang Ibu Negara Pertama RI.
Rombongan tersebut memang bukan peziarah biasa, melainkan peserta tur jalan kaki bertajuk Berjumpa Pahlawan di Karet yang diadakan Jakarta Good Guide (JGG). Farid Mardhiyanto, sang pemandu, kemudian mengajak 10 peserta turnya ke makam tokoh pelopor film modern Indonesia, Usmar Ismail. Setelah berpulang pada 1971, Usmar yang juga sastrawan dan wartawan dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 2021.
Seperti juga di makam Fatmawati, di makam Usmar, Farid menuturkan kilas hidup sutradara film Darah dan Doa (1950) yang disebut sebagai film pertama buatan Indonesia. Selanjutnya, tur ziarah itu masih berlanjut lagi ke makam pejuang kemerdekaan yang juga pendiri Masyumi dan mantan Perdana Menteri Indonesia Mohammad Natsir serta pahlawan dan wartawan asal Sumatra Barat Roehana Koeddoes. Sayang, meski sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional sejak 2019, tidak ada penanda mengenai itu di makam Roehana.
Farid melihat Roehana sebagai sosok luar biasa meski aksinya bukan mengangkat senjata melawan penjajah. “Kemerdekaan lebih dari sekadar pada bagaimana proses kemerdekaan di 17 Agustus 1945, tetapi juga bagaimana seorang pahlawan turut andil memerdekakan hak-hak masyarakat kecil,” katanya. Kunjungan masih berlanjut lagi ke makam Ismail Marzuki dan berakhir di makam Mohammad Hoesni Thamrin. Di tiap makam, kuntum mawar ia letakkan sebagai tanda penghormatan.
Aditya Fajar Pratama, 29, peserta yang sudah beberapa kali mengikuti tur JGG, mengungkapkan kembali ikut demi memberi penghormatan kepada para pahlawan. “Tadi mengunjungi salah satu tokoh nasional favorit saya juga, Bapak Ismail Marzuki. Spesialnya lagi ini, kan, sudah masuk bulan kemerdekaan dan rasanya mengunjungi makam-makam pahlawan nasional menjadi bagian sebuah penghormatan juga kepada mereka sekaligus mengingat kembali perjalanan mereka di masa-masa penjajahan,” ucap Aditya.
Ia menyebut lewat tur sejarah, banyak informasi baru soal para pahlawan. Salah satunya terkait dengan Ibu Fatmawati yang rela menjahit bendera dengan kondisinya yang dalam keadaan hamil besar.
Tambah teman
Tur sejarah terkait dengan kemerdekaan bukan itu saja. Besoknya, Sabtu (10/8), agen perjalanan wisata sejarah lainnya, Walk Indies, mengadakan tur bertajuk Atas Nama Bangsa Indonesia. Ketika dimulai pada pukul 08.30, tur itu dimulai dari Jalan Pegangsaan Timur 56, tempat dibacakan teks proklamasi yang sekarang menjadi Tugu Proklamasi.
Setelah menunjukkan letak fondasi rumah proklamasi dan foto-foto bersejarah, Supry, sang pemandu, mengajak 12 peserta turnya menuju Gedung Joang 45 dengan menaiki kereta commuter line. Setiba di sana, Supry bercerita tentang kisah awal gedung yang dimiliki pengusaha Belanda, LC Schomper, yang pada 1939-1942 dijadikan hotel.
Di tangan Jepang, gedung itu difungsikan sebagai tempat belajar pemuda Indonesia, yang dibagi dalam tiga kelompok. Sebagian pemuda bisa belajar, makan, dan tinggal gratis di sana. Sebagian lagi hanya bisa belajar dan kelompok terakhir hanya diperkenankan mengikuti sebagian pelajaran. Kini, di Gedung Joang 45, pengunjung juga bisa melihat mobil kepresidenan pertama.
Tujuan berikutnya ialah Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang dicapai peserta dengan menggunakan taksi yang biayanya sudah termasuk dalam tarif tur. Di museum yang asalnya merupakan rumah dinas Laksamana Muda Tadashi Maeda itu peserta mendengarkan cerita tentang simpati sang laksamana kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Maeda yang mempersilakan Bung Karno, Bung Hatta, dan Ahmad Soebarjo merumuskan naskah proklamasi di rumahnya pun dicap pengkhianat oleh pemerintah Jepang.
Kepada peserta, Supry juga kerap membagikan informasi yang mungkin luput dari pengetahuan orang banyak. Salah satunya ialah kertas teks proklamasi yang awalnya dibuang ke tempat sampah dan dipungut BM Diah. Kertas tersebut baru diserahkan kepada negara pada 1992.
Di akhir perjalanan, Supry memberikan kuis kepada peserta. Suasana yang santai dan bersahabat membuat durasi waktu tur selama 3 jam tak terasa.
Selama Agustus ini, tur edisi kemerdekaan juga akan kembali digelar Walk Indies pada 24 Agustus, dengan lokasi berbeda. Meski informasi sekarang ini mudah didapatkan di internet, Supry mengungkapkan pihaknya percaya tur akan memberikan pengalaman yang berbeda kepada masyarakat, terutama karena tur itu mempertemukan orang yang tidak saling kenal.
“Sistemnya open trip. Jadi, peserta kadang juga enggak kenal satu sama lain. Mereka jadi ketemu, kumpul, dan akhirnya mereka bisa kenalan. Selain belajar sejarah, nambah pengetahuan, juga menambah teman. Lanjut sehat yang pastinya, ya, karena kita jalan kaki,” katanya.
Keseruan pula yang diakui Gebi Geovanni Sihotang, 27, sebagai daya tarik. Karyawati swasta itu mengikuti tur tanpa mengenal peserta lainnya.
“Awalnya tahu dari teman ada tur sejarah ini. Lanjut pengin nyoba ikutan. Sepertinya asyik juga ikut tur sejarah, gitu,” katanya. “Panggil, sih, dengan penyampaian tour guide-nya. Jadi, kita enggak kaku. Di sini tadi juga kita kenalan dan nambah teman juga,” tambah Gebi.
Peserta tur JGG, Anang Dwi Putro, 35, mengungkapkan tur sejarah membuka wawasan baru baginya. “Saya bahkan baru tahu kalau banyak pahlawan nasional yang dimakamkan di sini. Saya sering lewat daerah sini, tapi tahunya ini TPU biasa aja,” ujarnya. Di momen kemerdekaan ini ia pun merasa tur sejarah membuatnya lebih memahami jasa besar para pahlawan terhadap bangsa ini. (M-1