TNI Menurunkan Baliho Rizieq Intervensi atau Stimulasi

TNI Menurunkan Baliho Rizieq Intervensi atau Stimulasi?
(Dok. Unpad)

SEORANG kawan mengirimkan pertanyaan renungan via pesan singkat, terkait dengan Teori Intervensi Militer ke ranah sipil dari Huntington (1957) dan Janowitz (1960), apakah relevan kembali? Pertanyaan ini berbasis pada perdebatan soal apakah penurunan spanduk dan baliho bergambar Rizieq oleh personel TNI membuka ruang kemungkinan adanya intervensi militer ke ranah sipil.

Kalau melihat secara normatif, apa yang dilakukan personel TNI dengan menurunkan paksa spanduk dan baliho Rizieq, sebagai bagian dari melakukan fungsi sipil karena penertiban spanduk dan baliho ialah bagian dari tugas Satpol PP dalam menegakkan peraturan daerah (perda) dan ketertiban umum serta ketenteraman masyarakat. Bila dilihat seperti itu, bisa saja sejumlah pihak mengatakan TNI atau dalam hal ini personel Kodam Jaya, telah melakukan intervensi ke ranah sipil.

Akan tetapi, bila mengacu pada proses dari penertiban spanduk dan baliho yang tidak lagi bisa dikendalikan Satpol PP, dan juga dibantu Polri, konteksnya menjadi lain dan berbeda. Terdapat situasi Rizieq dan Front Pembela Islam (FPI), bila mengacu pada pendekatan teori Pembangkangan Sipil dari Lewis Perry (2013), apa yang dilakukan Rizieq dan pengikutnya telah
mengarah kepada pembangkangan sipil, yang mana salah satu turunan dari itu ialah ketidakmauan mengikuti aturan dan kebijakan yang dibuat.

Bahkan, sejumlah perilaku dan cerminan Rizieq dan FPI dengan menutup jalan, untuk acara yang bersifat pribadi, meski kemudian dibalut dengan peringatan keagamaan tanpa izin serta respons yang kurang dari aparat keamanan, baik Satpol PP maupun Polri membangun persepsi publik bahwa ‘negara tidak hadir’.

Apalagi, kemudian spanduk dan baliho tidak memiliki izin pemasangan dan merusak keindahan kota, sedangkan posisi Satpol PP tidak cukup mampu untuk menegakkan perda terkait hal tersebut sehingga upaya untuk menjaga esensi dari ‘negara hadir’ menjadi penting untuk ditegaskan.

Upaya yang kurang lebih sama juga dilakukan Polri dengan mencoba melokalisasi acara dan kegiatan FPI, tetapi hal tersebut telanjur masif sehingga sejumlah titik kumpul baik di Jakarta maupun di Jawa Barat juga tidak dapat dibatasi lagi dan berujung pencopotan kapolda dan kapolres di dua wilayah tersebut.

Cek Artikel:  Melawan Musuh yang tidak Terlihat

Meski dalam pendekatan keamanan dan ketertiban masyarakat sebenarnya acara tersebut relatif tertib dan aman. Akan tetapi, hal krusial lainnya ialah terkait dengan penegakan protokol kesehatan yang dilanggar yang mungkin membuat penyebaran covid-19 menjadi masif kembali.

Penolakan mengikuti aturan yang berlaku baik terkait dengan pemasangan spanduk dan baliho, serta izin keramaian dan penerapan protokol kesehatan, menjadi cerminan bahwa Rizieq dan FPI tengah melakukan upaya pembangkangan sipil pada pemerintah. Apa yang dilakukannya seolah menegaskan Rizieq dan FPI tidak mengikuti aturan yang ada. Bahkan, dengan penekanan bahwa upaya untuk mendeligitimasi pemerintah ialah bagian yang tidak terpisahkan dari penolakan mengikuti aturan dan perizinan yang berlaku.

Pada konteks inilah sebenarnya keberadaan TNI untuk menekankan pentingnya penertiban dan menguatkan kembali wibawa aparat keamanan di mata masyarakat menjadi penting untuk dilakukan. Bahkan, dengan derajat yang lebih tegas, perlu upaya untuk bisa memberikan pesan bahwa setiap warga negara harus mengikuti aturan dan hukum yang berlaku.

 

Langkah stimulasi

Penertiban serta penurunan spanduk dan baliho bergambar Rizieq oleh personel TNI ialah langkah stimulasi, bukan sebagai bagian dari intervensi militer pada ranah sipil. Hal ini berkaca pada kondisi yang digambarkan Huntington maupun Janowitz tidak ditemukan.

Salah satu yang kemudian menjadi penekanan intervensi militer ialah pada kendali pemerintahan demokratis yang tidak efektif, sebagaimana digambarkan keduanya tidak terjadi. Bahkan, secara objektif, pemerintah tengah solid dan terkendali. Yang terjadi pada konteks kepulangan Rizieq ialah pilihan mitigasi yang kurang efektif sehingga,ada kesan bahwa kendali pemerintah lemah.

Kontrol sipil atas militer, sebagaimana digambarkan Huntington dan Janowitz yang mengendur sebagaimana prasyarat dari menguatnya intervensi militer juga tidak terjadi. Bahkan, bisa dikatakan penurunan spanduk dan baliho oleh personel Kodam Jaya ialah bagian dari konsolidasi dan evaluasi pemerintah atas pilihan mitigasi yang kurang efektif dalam merespons kedatangan Rizieq kembali ke Indonesia.

Dengan kata lain, prasyarat dari intervensi militer ke ranah sipil tidak terjadi. Yang ada hanya sebatas pada langkah stimulasi dari militer dalam hal ini Kodam Jaya. untuk memperkuat entitas keamanan dan kondusivitas di Jakarta.

Cek Artikel:  Mahkamah Konstitusi dan Penyelamatan Pemilu 2024

Apa yang dilakukan personel Kodam Jaya, dengan menurunkan paksa spanduk dan baliho Rizieq ialah cermin dari bergesernya paradigma sekuritasi pasca-Perang Dingin, ialah langkah yang sinergis dengan hal tersebut sebagaimana yang tecermin dari UU No 34/2004 Pasal 7 ayat 2, point b, nomor 9 dan 10, terkait dengan perbantuan ke pemda dan Polri.

Meski pada penjelasan dari pasal tersebut ialah harus ada permintaan dari pemda dan atau Polri, pada konteks ini justru ada perbedaan yang perlu digarisbawahi, yakni terkait dengan legalitas DKI Jakarta sebagai provinsi yang yang menjadi ibu kota negara, sebagaimana yang tercantum pada UU No 29/2007.

Artinya, bisa saja langkah yang dilakukan personel Kodam Jaya ialah bagian dari pembacaan, terkait dengan menguatnya ancaman terhadap persatuan dan kesatuan, dengan kepulangan Rizieq ke Indonesia.

Ketika proses penatakelolaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dilakukan Satpol PP dan juga Polri kurang efektif, langkah stimulasi perlu dilakukan. Langkah tersebut secara normatif pemerintahan tidak menyalahi aturan sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pihak. Apalagi, kemudian setelah personel TNI menurunkan spanduk dan baliho tersebut, secara stimulatif, Satpol PP di sejumlah daerah melakukan penertiban yang sama, dengan didampingi TNI dan Polri.

Enggak ada situasi mencekam, sebagaimana yang digambarkan Huntington maupun Janowitz saat proses penurunan spanduk dan baliho Rizieq oleh personel Kodam Jaya karena prasyarat yang ditegaskan keduanya dalam konteks penurunan spanduk dan baliho di Jakarta tidak ada dan tidak terjadi. Hal ini semata-mata bagian dari langkah stumulasi yang menguatkan posisi apparat keamanan dalam skema yang lebih efektif.

Terdapat lima alasan mengapa penurunan spanduk dan baliho oleh personel TNI bukan sebagai bagian dari intervensi militer. Pertama, penurunan spanduk dan baliho tersebut ialah bagian untuk memperkuat konsolidasi aparat keamanan dalam merespons manuver politik dari Rizieq dan FPI dengan balutan acara keagamaan. Langkah ini dilakukan setelah evaluasi
yang berujung kemarahan Presiden Jokowi atas pilihan mitigasi terkait dengan kepulangan Rizieq ke Indonesia.

Kedua, tidak ada situasi pergesekan di internal TNI maupun Polri yang membuat penurunan spanduk dan baliho tersebut sebagai momentum awal intervensi militer ke ranah sipil. Kedua institusi tersebut, bahkan secara efektif kemudian menyokong Satpol PP untuk melakukan penertiban spanduk dan baliho Rizieq di Jakarta maupun wilayah lain.’

Cek Artikel:  Pilpres dan Badai dalam Secangkir Kopi

Ketiga, respons Kodam Jaya, terkait dengan maraknya spanduk dan baliho bergambar Rizieq ialah bagian yang wajar dan skema perbantuan militer ke pemda, mengingat hampir semua spandu dan baliho bergambar Rizieq itu tidak memiliki izin dan dipasang tidak pada tempatnya sehingga mengganggu keindahan Kota Jakarta. Dalam derajat yang paling teknis, apa yang dilakukan personel TNI tersebut bentuk dari pesan ke FPI dan Rizieq, untuk tidak melakukan tindakan yang mengarah kepada pembangkangan sipil.

Keempat, langkah itu juga dimaksudkan untuk menegaskan ke internal TNI bahwa posisi TNI ada dalam skema menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menjunjung Bilangan Marga dan Sumpah Prajurit. Karena itu, tidak ada dan tidak boleh lagi personel TNI memiliki kekaguman atau berpikir di luar skema tersebut di atas. Hal ini bagian dari respons atas adanya personel TNI yang memiliki orientasi politik dan keagamaan yang tidak pada konteks kebangsaan dan aturan organisasi yang tegas.

Kelima, penurunan spanduk dan baliho Rizieq itu juga bagian pesan yang tegas atas skema kebangsaan yang harus dijaga dan dihormati semua pihak agar, proses demokratisasi yang tengah berjalan tetap dalam skema yang efektif, yakni setiap ketidaksukaan atas kebijakan yang ada, harus tetap dalam kerangka politik yang ada, yakni mekanisme pemilu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hal tersebut.

Dengan demikian, apa yang dilakukan TNI tidak semata-mata dilihat dari kacamata aturan yang ada, tapi juga dinamika atas hal itu harus dilihat secara komprehensif agar apa yang dilakukan TNI sebagai upaya untuk memperkuat dan meningkatkan konsolidasi aparat keamanan, yang di dalamnya ada juga Satpol PP, Polri, dan juga TNI, dengan pembagian tugas yang jelas dan tegas. Tetapi, tetap dalam skema demokratis yang bisa terukur dan dapat dipahami publik.

Mungkin Anda Menyukai