Elegi Hukum dan Pemerintahan

Elegi Hukum dan Pemerintahan
(ugm.ac.id/)

BAGI banyak pihak, 2020 rasanya ialah tahun yang begitu banyak menawarkan kondisi rasa tersendiri dalam hukum dan pemerintahan. Mengertin yang bisa dimaknai dalam konteks tahun pertama setelah pelantikan Presiden Jokowi untuk periode kedua. Yang juga tentu saja menawarkan begitu banyak konstelasi hukum dan pemerintahan.

Begitu pun, untuk tahun pertama bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pascapengubahan UU KPK dan terpilihnya komisioner baru. Serta, bisa juga dimaknai sebagai tahun pandemi covid-19, yang tentu saja dengan konsekuensi masing-masing dalam pemerintahan di pelbagai negara, termasuk Indonesia.

Maksudnya, membaca kondisi hukum dan pemerintahan di 2020 akan bergantung pada apa peristiwa yang akan dikaitkan, dan paling akan dianalisis. Tetapi, bukan berarti akan amat kasuistik karena bongkahan polanya sebenarnya mudah terlihat.

 

Pemerintahan dan drama legislasi

Penghujung 2019, dan sepanjang 2020, menunjukkan menjauhnya fungsi representasi pembentuk legislasi dari yang seharusnya lebih demokratis partisipatif menjadi sekadar formalitas dan simbolis.

Pemerintah dan DPR makin tanpa ragu memperlihatkan bahwa UU ialah kehendak negara, dan bukanlah kehendak publik. Negaralah yang menerjemahkan keinginan publik, dan bukan publik sendiri yang berbicara tentang keinginan mereka.

Hal itu tentu merupakan hal yang berbeda karena tatkala negara yang menerjemahkan, sangat besar kemungkinan masuknya keinginan (bisa dibaca kepentingan) yang dititipkan pada negara untuk membuat sebuah kebijakan. Berbeda, jika publik yang disediakan ruang publik untuk secara lebih deliberatif bisa menyampaikan apa mau mereka dan negara menganalisasinya menjadi kebijakan.

UU dibuat tanpa partisipasi, aspirasi, dan sosialisasi yang memadai sebenarnya ialah bentuk pengingkaran atas kedaulatan rakyat itu sendiri. Sesuatu yang telah digariskan secara ketat dalam UUD 1945, tetapi tidak mendapatkan porsi yang berarti di hadapan pembentuk UU. Sekadar menyebut beberapa di antaranya UU KPK dan UU MK.

Entah apa yang ada di kepala pembentuk UU, mereka memilih untuk meneruskan suatu proses UU alih-alih membuka partisipasi, aspirasi, dan sosialisasi yang memadai dan menjadi garis demarkasi yang jelas antara negara hukum dan negara kekuasaan.

Tak mengherankan jika Herlambang P Wiratraman menyebutnya sebagai gejala autocratic legalism ketika memaksakan agenda-agenda di luar kedaulatan rakyat, melalui pembentukan perundang-undangan yang lebih memihak kepentingan politis dan oligarki.

Metodenya, salah satunya, dengan melemahkan dukungan struktur oposisi, baik partai maupun mengancam kebebasan masyarakat sipil. Beberapa survei sepanjang 2020 sebenarnya juga memperlihatkan hal itu. Itu menjadi penanda bahwa ada yang bahaya jika hal itu diteruskan.

Cek Artikel:  Tinggal Pilih Jaga Jarak atau Ambyar

 

Pandemi covid-19 dan meningkatnya peran negara

Kondisi itu diperparah dengan keadaan pandemi. Pandemi yang sudah dinyatakan sebagai kedaruratan di seluruh dunia ini memang telah mendorong meningkatnya peran negara dan melemahnya masyarakat. Di berbagai belahan dunia, pandemi menjadi alasan untuk memperluas restriksi pada masyarakat, termasuk dengan penerapan aturan-aturan, yang berpotensi menjadi pengekangan terhadap standar hak asasi manusia.

Covid-19 juga telah menjadi penanda kesiapan negara dalam menghadapi ancaman dalam bentuk wabah seperti ini. Harus diakui, secara kesiapan konstruksi hukum, pemerintah dan DPR tak sepenuhnya pas merespons. Bayangkan, Presiden memilih mengeluarkan perppu pertama ialah soalan pandemi yang dikorelasikan dengan perekonomian.

Herannya, perppu itu diterima secara aklamasi oleh DPR, padahal ada potensi membesarnya kewenangan Presiden melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Tetapi, Presiden tak mungkin disalahkan karena hal itu diterima secara aklamasi oleh DPR. Maksudnya, DPR menyetujui isi perppu tersebut untuk menjadi UU dan juga, hal itu bisa jadi menguatkan asumsi matinya oposisi di parlemen. Ketika struktur oposisi yang terlembagakan secara baik merepih, dan tersisa menjadi oposisi personal semata, yang sama sekali tak bisa dipakai untuk menjaga pemerintah, yang semakin membengkak kewenangannya ini, agar tidak bertindak menjadi autocratic legalism tersebut.

Selain perppu itu, tak ada langkah kebijakan dalam bentuk UU bagi penanganan covid-19. Padahal, adalah penting bagi negara memiliki landasan hukum yang kuat dalam bentuk UU, bagi pembatasan dan pengekangan tertentu, yang menjadi konsekuensi logis dari penanganan pandemi. Kita semua paham bahwa UU-lah yang bisa mengatur kondisi-kondisi tertentu, yang membolehkan batasan penegasian hak asasi tertentu.

Pada titik itu, ketika negara membesar perannya, potensi abuse meninggi. Ketika tak mampu mengelola isu penegakan hukum dengan takaran yang pas, potensi pelanggaran hak asasi juga menguat. Padahal negara, hukum, dan demokrasi punya keterkaitan kuat dalam bahasa hak asasi. Pelanggaran atas nama ketertiban, dan penegakan hukum, tetap harus terverifikasi dengan detail mana batasan penegakan hukum dan yang mana pelanggaran hukumnya, termasuk soalan yang sedang ramai tentang enam nyawa yang melayang di exit tol.

 

Melemahnya pemberantasan korupsi

Akhir 2019, diwarnai dengan pelemahan pemberantasan korupsi. KPK, yang dulunya dianggap menjadi bintang, dan simbol dalam helaan pemberantasan korupsi sudah meredup. Bahkan, KPK terasa memasuki fase ‘new normal’. Masa lalu yang seharusnya normal, dan diharapkan publik, kelihatannya sudah ditinggalkan KPK. KPK berderap ke arah baru yang menjauh dari filosofi pendiriannya.

Cek Artikel:  Rekonstruksi Penyuluhan Pertanian Masa Depan

KPK yang selalu dibayangkan ialah kucing yang tak gentar dengan berbagai tikus. Berkualitas tikus yang ‘berseragam maupun tidak’. Berkualitas tikus yang ‘berpelat merah maupun kuning dan hitam’. Berkualitas ketika berhadapan dengan kekuasaan, pasar, maupun oligarki.

Meski dulunya tidak juga dianggap amat berhasil, belakangan makin mengendur. KPK terasa ‘gamang’ berhadapan dengan kuasa, menghindar berhadapan dengan yang berseragam, dan kehilangan gema di hadapan oligarki. Penyebabnya, misalnya, Anda bisa temukan di tulisan ‘Kasus Pembuka Tabir’ (Media Indonesia, 20 Januari 2020).

Meski belakangan beberapa pihak bersorak dengan beberapa pengungkapan beruntun, termasuk dua di antaranya pada posisi jabatan menteri, itu pun sebenarnya belum bisa dianggap sebagai suatu keberhasilan.

Sekadar mengingatkan, jika bicara tentang peberantasan korupsi yang baik, setidaknya ada tiga level yang harusnya dikerjakan. Pertama, mengungkap suatu perkara selengkapnya dan sedetailnya. Kedua, membawa semua pelaku dan yang terkait dengan kasus tersebut ke proses pertanggungjawaban hukum, dengan konsep yang jelas. Ketiga, membuat suatu resep yang cespleng agar kejadian serupa dapat dihindari dan tak terjadi lagi.

Tatkala tiga patokan tersebut dipakai untuk melihat apa yang dilakukan KPK, sebenarnya, KPK jilid terakhir ini masih amat jauh dari kata pemberantasan korupsi yang baik. Bahkan, di level satu saja, KPK masih terkesan tertatih. Tak ada pengungkapan perkara yang benar-benar jelas. Bahkan, kasus yang sudah setahun saja, yakni suap salah seorang komisioner KPU, banyak yang belum terjelaskan secara detail. Semisal sampai sekarang tak ada kejelasan soal apa yang terjadi di PTIK ialah penyanderaan para penyidik KPK atau bukan. Siapa saja sebenarnya yang terlibat di kasus tersebut. Termasuk, pertanggungjawaban uang itu sebenarnya dari mana dan di mana sosok penting Harun Masiku.

Begitu pun kasus Kemendikbud, dan apa yang terjadi di kitaran kasus tersebut masih banyak yang belum jelas. Yang terakhir pun demikian, belum terjelaskan detail, bahkan ada pertanyaan di wilayah ‘keengganan’ KPK untuk menghajar pelaku dengan ancaman Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, tentang ancaman pidana mati yang dapat dijatuhkan jika korupsi dilakukan di dalam keadaan tertentu, yang salah satunya adalah bencana alam nasional, atau pun karena negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Padahal, kedua menteri melakukan di masa tersebut.

Cek Artikel:  Pancasila di Era Duniaisasi

Sekali lagi, ini bukan soal mengancam seseorang dengan hukuman mati (yang saya secara pribadi menolak hukuman mati) semata, melainkan bagaimana KPK mengagregasi upaya pemberantasan hukum dengan ancaman yang maksimal, dengan harapan bisa mendorong efek jera.

Jadi, apa yang ditunjukkan KPK di akhir 2020 tak lebih dari sekadar ‘denyutan’ bahwa KPK masih ada. Tetap berdenyut, yang belum dapat ditentukan sebagai penanda akan segera hidup dan mampu berlari kembali, ataukah sesudah itu mati. Mengertin 2021 akan menjadi pertanyaan besar untuk hal tersebut.

Memang sebaiknya memilih kata buram karena tak sepenuhnya gelap. Tetapi, buram pertanda kesuraman. Di tengah kesuraman pandemi, harusnya negara tetap bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Terkhusus ke pemerintah.

Presiden, dalam masa periode kedua, biasanya memang mendapatkan tekanan yang jauh lebih kuat. Terdapat semacam kutukan periode kedua, yang tanpa penanganan yang pas bisa berujung ke arah kegagalan pemerintahan.

Mengertin 2021 tentu tantangan akan semakin berat seiring dengan dampak pandemi yang mulai akan menggerogoti begitu banyak aspek. Presiden harus diingatkan kembali kemungkinan membayang di 2021, yakni kemungkinan fragmentasi partai politik karena persiapan menuju 2024. Fragmentasi yang jangan dibaca sebagai peningkatan oposisi, tetapi dibaca sebagai pragmatisnya partai dalam menghela sokongan pada pemerintahan karena mereka pun akan mulai sibuk memanaskan mesin menuju ke kontestasi berikutnya, yang hampir pasti tanpa kehadiran Presiden Jokowi oleh karena batasan masa jabatan.

Presiden, mau tak mau, harus mencoba menggalang kawalan untuk agenda pemerintahannya hingga akhir 2024 dengan memeluk masyarakat sipil lebih erat, dan pada saat yang sama, mengandalkan struktur pemerintahan daerah, yang lebih bisa menjadi eksekutor atas kerja-kerja yang ia bayangkan.

Bahwa ada nyanyian kesedihan tak berarti memupuskan hal lainnya yang telah dilakukan negara. Maksudnya, pemerintah dan negara kembali harus diingatkan akan agenda hukum dan hak asasi, yang menjadi esensi bagi negara demokrasi. Itu tentu dengan harapan ada perbaikan yang mengubah wajah buram berlatar suram 2020 menjadi lebih cemerlang di 2021.

Mungkin Anda Menyukai