Historisitas Kalender Hijriah Dunia Tunggal

Historisitas Kalender Hijriah Global Tunggal
(Dok. Pribadi)

DJARNAWI Hadikusuma dalam artikelnya yang berjudul ‘Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?’ di majalah Bunyi Muhammadiyah secara bersambung 1-4 pada edisi No 1-4 Pahamn 1392-1393/1973 menyatakan bahwa penggunaan hisab di Muhammadiyah berdasarkan hasil Musyawarah Tarjih pada saat Muktamar Ke-21 Muhammadiyah di Makassar tahun 1355/1932.

Dalam Musyawarah Tarjih tersebut diputuskan bahwa As-saumu wa al-Fitru bi ar-ru’yah wa la mani’a bi al-hisab (Berpuasa dan ber-Idul Fitri itu dengan rukyat dan tidak berhalangan dengan hisab). Hal ini didasarkan pada hadis “Sumu liru’yatihi wa aftiru liru’yatihi….”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak anti-rukyat dan juga tidak mengabaikan hisab. Keduanya dipadukan sehingga memunculkan istilah, “Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataan ada orang yang melihat pada malam itu juga, manakah yang mu’tabar? Majelis Tarjih memutuskan rukyatlah yang mu’tabar. Dengan kata lain, jika rukyat mendahului hisab, maka rukyatlah yang dipakai.”

Pernyataan di atas oleh Basit Wachid dipertegas bahwa ‘rukyatlah yang mu’tabar’ dengan syarat hilal sudah wujud. Apabila hilal belum wujud, yakni posisi bulan negatif terhadap ufuk, maka tidak berlaku ketentuan ‘rukyatlah yang mu’tabar’.

Baca juga : Muhammadiyah Perjuangkan Kalender Hijriah Dunia Tunggal

Penggunaan hisab dapat menghadirkan kalender Islam yang mapan dan diperlukan oleh umat Islam baik nasional maupun global. Spesifiknya untuk penjadwalan waktu terkait ibadah maupun muamalah. Berbagai dokumen resmi menginformasikan bahwa model hisab yang digunakan Muhammadiyah mengalami perkembangan. Setelah diputuskan penggunaan hisab, ada dua kriteria hisab yang digunakan, yaitu hisab ijtimak qabla al-ghurub (1356/1937) dan hisab wujudul hilal (1357/1938). Hal ini tampak pada keputusan tentang awal Ramadan tahun 1357 yang dimuat oleh Soeara Moehammadijah.

Dalam perjalanannya, setelah kriteria wujudul hilal digunakan Muhammadiyah selama 33 tahun menurut kalender hijriah atau 32 tahun menurut kalender miladiah, Muhammadiyah melakukan kajian ulang agar teori yang digunakan sesuai pesan nas dan tuntutan zaman. Buat itu, pada 24-26 Jumadil Akhir 1390 H yang bertepatan dengan tanggal 26-28 Agustus 1970 diselenggarakan Seminar Hisab Muhammadiyah. Kegiatan itu merupakan seminar falak/hisab pertama di Indonesia. Hadir sebagai narasumber para pakar di bidangnya, seperti Saadoe’ddin Djambek dari Jakarta, Anwar Katsir dari Malang, Jawa Timur, dan Santoso Nitisastro dari Planetarium Jakarta.

Eksispun dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang hadir antara lain Djindar Tamimy, Junus Anis, Kasman Singadimedjo, Sanusi, dan Ahmad Azhar Basyir. Pada saat itu pidato pembukaan disampaikan oleh Wardan Diponingrat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Majelis Tarjih dan bertindak sebagai moderator Kasman Singadimedjo, Mawardi, dan A Basuni. Hasil seminar memperkuat penggunaan kriteria wujudul hilal di lingkungan Muhammadiyah dalam menetapkan awal bulan kamariah. Salah satu keputusan seminar itu menyebutkan bahwa tanggal 1 bulan baru ditentukan dengan wujudul hilal di atas ufuk mar’i setelah terjadinya idjtima

Baca juga : Twibbon Isra Miraj 2024 untuk Medsos dan Link Download

Cek Artikel:  Merdeka dari Tantangan Kesehatan

.Percakapan seputar hisab dan rukyat menjadi isu yang menarik setiap menjelang Ramadan. Apalagi, dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Dalam realitasnya Muhammadiyah sering kali memperoleh kritik dan stigma negatif dari pihak lain. Misalnya, metode yang digunakan dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal tidak dicontohkan Rasulullah, tidak taat kepada pemerintah, serta metode yang digunakan usang dan sederhana.

Dalam menghadapi kritik dan stigma tersebut, Muhammadiyah tidak berkecil hati. Tetapi, terus mengkaji dan memperbaiki kriteria yang digunakan melalui seminar, workshop, dan pertemuan dengan berbagai ormas Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama, Persis, DDII, Al-Wasliyah, Tariqat Naqsyabandiyah, dan An-Nadzir. Dalam pertemuan tersebut para peserta mengapresiasi upaya yang dilakukan Muhammadiyah mewujudkan ukhuwah Islamiyah melalui kalender Islam global.

Perbincangan seputar kalender Islam global di Muhammadiyah berawal pada Rapat Tarjih dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Gedung PP Muhammadiyah, Jl Cik Ditiro, Yogyakarta, pada 2 Zulhijah 1427/23 Desember 2006. Rapat tersebut dihadiri unsur Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Majelis Tarjih dan Tajdid, antara lain Din Syamsuddin, A Rosyad Saleh, Dahlan Rais, Mukhlas Abror, Kamal Muchtar, Ismail Thaib, dan Syamsul Anwar. Agenda utama membahas Idul Adha 1427 H. Rapat langsung dipimpin Din Syamsuddin. Dalam pengantarnya Din Syamsuddin menyampaikan bahwa banyak SMS yang diterima nadanya mempertanyakan keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Idul Adha 1427. Menurutnya, Muhammadiyah perlu memperhatikan keputusan OKI tentang matlak global agar ukhuwah Islamiyah dan kesatuan hari raya dapat diwujudkan. Selanjutnya Din Syamsuddin mempersilakan para peserta rapat untuk memberikan pandangan dan masukan.

Baca juga : Link Download Kalender Hijriah 2024 Lengkap dengan Lepasan Weton Jawa

Ismail Thaib dari Majelis Tarjih dan Tajdid menyampaikan pandangannya, selama ini Muhammadiyah dan NU terjebak konsep wilayatul hukmi. Menurutnya pula hadis Kuraib yang dijadikan landasan ikhtilaful matali adalah lemah. Baginya yang ideal ialah hasil keputusan Arab Saudi diikuti seluruh negara di belahan dunia. Pandangan Ismail Thaib ini sejalan dengan Hasbi ash-Shiddieqy yang menyatakan rukyat Mekah harus dijadikan pegangan bersama.

Berbeda dengan Ismail Thaib, Kamal Muchtar berpandangan bahwa wukuf menunjukkan pada tanggal, bukan peristiwa, sehingga puasa Arafah tidak harus mengikuti peristiwa Arafah di Mekah, Arab Saudi, tetapi berdasarkan tanggal 9 Zulhijah. Sejalan dengan Kamal Muchtar, Syamsul Anwar mengatakan bahwa yang dipahami Muhammadiyah selama ini puasa Arafah dilaksanakan bukan karena peristiwa Arafah, tetapi dilaksanakan pada setiap tanggal 9 Zulhijah.

Setelah memperoleh berbagai masukan dari peserta, Din Syamsuddin mencoba menggarisbawahi bahwa penentuan Idul Adha terkait peristiwa wukuf yang mengandung dimensi ruang (peristiwa) dan waktu (tanggal). Buat itu, perlu dikaji argumentasi perspektif agama dan sains tentang wilayatul hukmi

Cek Artikel:  Rasa Keadilan Publik

Baca juga : Urutan Nama Bulan di Kalender Hijriah

 dan matlak global. Sekaligus meminta Majelis Tarjih dan Tajdid mengkaji lebih serius persoalan matlak dan kalender Islam global dan memprakarsai pertemuan Global yang menghadirkan para pakar kalender Islam dari mancanegara dengan menggandeng berbagai ormas Islam di Indonesia. Hal ini penting untuk menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta dan mewujudkan ukhuwah Islamiyah.

Gagasan Din Syamsuddin untuk menyelenggarakan pertemuan internasional tentang kalender Islam global direspons positif oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan diteruskan ke Divisi Hisab dan Iptek. Pada 8 Safar 1428/26 Februari 2007 diselenggarakan rapat membahas Proposal Pertemuan Global tentang Penyatuan Kalender Islam Dunia yang disiapkan oleh Divisi Hisab dan Iptek. Salah satu masukan penting yang disampaikan peserta rapat ialah persoalan dana kegiatan agar didetailkan dan berdialog langsung dengan Bendahara Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Rapat berikutnya diselenggarakan pada 22 Safar 1428/12 Maret 2007 dengan dihadiri para pimpinan dan para ketua Divisi MTT PPM. Salah satu keputusannya memberi amanat kepada penulis sebagai ketua panitia dan diminta segera menentukan para narasumber baik dalam negeri maupun luar negeri. Tim panitia mengirimkan surat kepada para narasumber yang telah ditetapkan melalui kedutaan besar di Jakarta sekaligus meminta bantuan para atase pendidikan dan kebudayaan. Eksis pula yang langsung dihubungi melalui telepon. Alhamdulillah sebagian besar narasumber merespons positif dan hadir dalam pertemuan internasional pada 22-24 Syakban 1428/6 September 2007 yang bertempat di Hotel Absahid, Jakarta.

Para narasumber yang hadir antara lain Mohammad Ilyas (Malaysia)–dianggap sebagai ‘Bapak Kalender Islam Global’, Jamaluddin Abdur Raziq (Maroko), penggagas konsep satu hari satu tanggal; Mohammed Syawkat Audah (UEA), Presiden Islamic Crescent’s Observation Project (ICOP) dan salah seorang penggagas Kalender Islam Bizonal; Mohammad Ahmad Sulaiman (Mesir); dan Moedji Raharto (Indonesia), salah seorang astronom yang namanya digunakan untuk menyebut asteroid di Sabuk Primer Asteroid, yakni 1277 Raharto. Pertemuan Global ini dihadiri para perwakilan dari ormas Islam di Indonesia dan Kementerian Religi serta dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pertemuan ini merupakan pertemuan internasional pertama di Indonesia yang mengkaji aspek filosofis kalender Islam.

Pada pertemuan tersebut, para peserta mayoritas masih merasa asing dengan konsep kalender Islam global. Apalagi konsep yang digagas Jamaluddin Abdur Raziq ‘Satu Hari Satu Lepas’. Meskipun demikian, para narasumber merasa senang dan mengapresiasi pertemuan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Mereka berharap perlu ditindaklanjuti diskusi seputar kalender Islam global yang kini menjadi tema aktual di tingkat Global. Pahamn 1429/2008, Syamsul Anwar menghadiri pertemuan di Potongan harga, Maroko, dan tahun 1431/2010 penulis menghadiri Muktamar Ke-2 Falak di Arang Dhabi, Uni Emirat Arab. Salah satu tema yang didiskusikan dalam muktamar tersebut ialah persoalan kalender Islam global dengan narasumber Nidhal Guessoum, Mohammad Syawkat Audah, Jamaluddin Abdur Raziq, dan Khalid Syawkat.

Cek Artikel:  Akrobat Anggaran untuk Pendanaan Makan Siang dan Susu Gratis

Pengalaman mengikuti pertemuan Global tentang kalender Islam global menambah wawasan sekaligus membawa angin segar bagi perkembangan pemikiran kalender Islam global di Muhammadiyah khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Berbagai tulisan seputar kalender Islam global mulai bermunculan, baik berupa buku maupun artikel di media massa. Bahkan riset berupa tesis dan disertasi mulai mengangkat tema tentang pemikiran kalender Islam global.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga tidak ketinggalan terus melakukan kajian dan sosialisiasi kepada warga persyarikatan. Puncaknya, menurut pengakuan Tono Saksono pada Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar tahun 1436/2015, ia memperoleh undangan untuk mengikuti muktamar sebagai peninjau. Pada saat itu ia mengusulkan perlunya kalender Islam global untuk kepentingan ibadah dan muamalah. Usulan tersebut diterima dan masuk dalam salah satu keputusan muktamar.

Hasil keputusan Muktamar Makassar menjadi pijakan bagi MTTPPM untuk mencari formula tentang kalender Islam global. Gayung bersambut, pada 1437/2016 diselenggarakan Konferensi Global Penyatuan Kalender Islam di Istanbul, Turki, dan memutuskan penggunaan kalender Islam global dengan prinsip satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia.

Keputusan ini disambut gembira dan ditindaklanjuti dengan kajian yang mendalam disertai perhitungan selama 10 tahun untuk diperbandingkan dengan kriteria lain yang berkembang di Indonesia. Hasilnya didiskusikan kembali melalui sosialisasi ke seluruh Indonesia. Pada Rabu, 27 Syakban 1443/30 Maret 2022, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan focus group discussion

 (FGD) bertajuk Kalender Hijriah Muhammadiyah dan Kalender Hijriah Dunia 1444 s.d.1450 H) di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. FGD dilakukan secara hibrid. Salah satu agenda utama ialah mencermati hasil hisab selama 10 tahun dan menyamakan persepsi tentang prinsip, syarat, dan parameter (PSP) menurut kalender Islam global Turki. Pada pertemuan ini pula mulai muncul istilah ‘KHGT’. Sebagian mengusulkan kepanjangan KHGT ialah ‘Kalender Hijriah Dunia Tunggal’. Sebagian lainnya mengusulkan ‘Kalender Hijriah Dunia Terpadu’. Akhirnya diputuskan agar soal kepanjangan KHGT diteruskan ke Divisi Hisab dan Iptek untuk dipelajari dan dikaji. Hasil kajian dan diskusi di divisi diputuskan bahwa kepanjangan KHGT ialah ‘Kalender Hijriah Dunia Tunggal’. Sejak itulah istilah KHGT digunakan dan dipopulerkan. Sekaligus dibawa ke Munas Tarjih ke-32 pada 1445/2024 di Pekalongan.

Kini KHGT telah di-tanfidz pada tanggal 7 Muharam 1446/13 Juli 2024, pertanda Muhammadiyah telah resmi menggunakannya untuk penentuan awal bulan kamariah sejak Muharam hingga Zulhijah. KHGT merupakan hasil adopsi keputusan Turki 1437/2016 sehingga KHGT bukan milik Muhammadiyah semata, tetapi milik umat Islam sedunia alias ‘KHGT for All’. Disinilah perlu kesadaran baru dan meninggalkan kesadaran lama dari pola pikir tekstual menuju kontekstual. Dari kalender Islam nasional menuju kalender Islam global demi terciptanya kedamaian dan ukhuwah Islamiyah.

 

Mungkin Anda Menyukai