Ironi Sikap Ketua KPK

PEKAN lalu publik dipertontonkan sikap yang jauh dari teladan oleh seorang pucuk pimpinan institusi penegak hukum. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mangkir dari pemanggilan penyidik Polda Metro Jaya. Firli pada Jumat (20/10) sedianya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan penanganan perkara korupsi di Kementerian Pertanian Pahamn Anggaran 2021.

Firli Bahuri melalui keterangan koleganya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, beralasan menghadiri agenda lain yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Bukan jelas agenda yang dimaksud. Ghufron juga mengatakan Firli perlu waktu untuk mempelajari kasus dugaan pemerasan itu.

Surat izin Firli untuk tidak menghadiri pemeriksaan pada Jumat tersebut ditujukan ke Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto sekaligus ditembuskan ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Sebetulnya agak aneh kenapa tembusan ditujukan ke Menko Polhukam yang notabene bukan atasan Ketua KPK dan jelas dilarang mengintervensi perkara hukum. Hal itu lantas mengingatkan pada perilaku Mahfud yang belakangan sempat seperti layaknya juru bicara KPK. Di luar kewenangannya, Mahfud menyebutkan siapa menjadi tersangka mendahului pengumuman KPK.

Cek Artikel:  Ironi Antikorupsi

Terlepas dari keanehan surat tembusan itu, absennya Firli dari pemeriksaan penyidik Polda menampilkan sebuah ironi. Firli selaku Ketua KPK mestinya sangat paham proses hukum. Alih-alih sibuk membantah dan menuding balik lewat keterangan tertulis yang disebar ke publik, Firli seharusnya terdepan menunjukkan sikap seorang warga negara yang baik.  

Firli juga pasti menyadari ketidakhadirannya membuat progres pengusutan kasus dugaan pemerasan tersendat. Apalagi, polisi sudah menyatakan keterangan Firli akan menentukan penetapan tersangka.

Hingga saat ini, polisi belum menyebutkan pimpinan KPK mana yang menjadi pihak terlapor atau dituduh memeras. Penyidik baru mengungkapkan bahwa pihak pelapor atau yang diperas ialah Syahrul Yasin Limpo yang pada waktu kejadian masih menjabat menteri pertanian.

Cek Artikel:  Jalan Konstitusional Bongkar Kecurangan

Hambatan penyidikan kasus tampaknya bukan hanya dari mangkirnya Firli atas panggilan polisi. Keengganan KPK menyanggupi permintaan supervisi yang diajukan Polda Metro Jaya turut menjadi sandungan.

Polda Metro Jaya menyatakan surat permohonan supervisi telah disampaikan pada 11 Oktober. Tetapi, lebih dari sepekan kemudian pihak KPK mengaku belum mengetahui keberadaan surat tersebut. Di era kejayaan teknologi informasi seperti saat ini, sulit dipercaya sebuah surat resmi sampai terselip, entah menyangkut di mana.

Pemeriksaan dimintakan polisi karena kasus dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK tergolong tindak pidana korupsi. Jerat hukumnya memakai Pasal 12e atau Pasal 12B atau Pasal 11 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.

Cek Artikel:  Peringatan buat Gibran

Kasus tersebut bukan perkara main-main, bukan pula masalah sepele. Pihak tertuduh merupakan pentolan instutusi yang menjadi leading sector sekaligus koordinator pemberantasan korupsi di Tanah Air. Apa jadinya bila KPK yang seharusnya terdepan memberantas korupsi, justru dipimpin oleh orang yang korup?

Tuduhan pemerasan memang belum tentu benar. Di lain pihak, suatu kasus tindak pidana tidak mungkin naik ke tahap penyidikan bila tidak ada indikasi kuat kejadian. Oleh karena itu, kasus pemerasan yang diduga melibatkan pimpinan KPK ini harus diusut tuntas dan selanjutnya bisa dibuktikan di pengadilan.

Kalau memang tidak bersalah, Firli mestinya tidak perlu takut memberikan keterangan kepada penyidik. Itikad baik untuk membuktikan bahwa pimpinan KPK tidak bersalah dapat mulai ia tunjukkan dengan memenuhi panggilan kedua, esok. Polda Metro Jaya tidak perlu ragu apalagi takut menjemput Firli jika masih mangkir.

Mungkin Anda Menyukai