Paras Muram Pilpres 2024 dari Jokowi

PADA awal masa jabatannya, Presiden Joko Widodo sempat digambarkan sebagai tokoh yang menghadirkan harapan baru (a new hope). Asa akan hadirnya perbaikan situasi mulai dari sektor hukum, politik, sosial, hingga bidang-bidang lainnya secara menyeluruh.

Sulit untuk tidak mengatakan a new hope perlahan-lahan berubah menjadi a new Hopelessness di ujung masa pemerintahan Jokowi. Terutama sekali karena rentetan peristiwa yang identik dengan skenario penyiapan sang putra sulung Gibran Rakabuming Raka menuju kursi RI-2.

Berawal dari Mahkamah Konstitusi yang diketuai adik ipar Presiden memperbolehkan seseorang di bawah 40 tahun mengikuti pemilu presiden sepanjang pernah menjadi kepala daerah. Putusan itu jelas menjadi karpet merah untuk Gibran yang masih berusia 36 tahun.

Hanya hitungan hari, Gibran maraton menyambangi para ketua umum partai dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Pertemuan itu berbuah manis, koalisi solid mendapuk Gibran untuk bersanding dengan bakal calon presiden Prabowo Subianto.

Cek Artikel:  Kemandirian Kontestasi tanpa Jokowi, No Drama

Sekalian terlihat begitu telanjang, bukti yang tersaji bahkan sangat terang, lebih terang dari cahaya. Publik menyaksikan dengan gamblang betapa Gibran dipersiapkan secara sistematis untuk terjun ke Pemilu Presiden 2024. Kontestasi mulai tampak diliputi awan kelabu.

Tetapi apa yang telah menjadi penalaran umum masyarakat masih saja dibantah. Usai memimpin Apel Hari Santri Nasional di Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (22/10) kemarin, Jokowi mengeklaim tidak cawe-cawe soal rencana sang anak menuju gelanggang 2024.

“Orang tua itu tugasnya hanya mendoakan dan merestui. Keputusan semua sudah dewasa, jangan terlalu mencampuri urusan yang sudah diputuskan oleh anak-anak kita,” kata Jokowi dengan roman ceria di depan sejumlah tokoh termasuk Prabowo.

Cek Artikel:  Usut Anomali Bunyi Pilpres

Publik bisa saja menuduh Presiden sedang tidak jujur dengan ucapan tersebut. Tapi dalil itu menuntut sebuah pembuktian. Dan untuk membuktikan tuduhan yang mengarah ke  tembok-tembok kekuasaan jelas bukan perkara mudah.

Pilihan paling logis ialah mengingatkan Jokowi tentang a new hope, ketika ia pertama kali terpilih sebagai presiden pada 2014 silam, jangan berubah menjadi a new hopelessness. Rakyat akan mengenangnya karena meninggalkan sebuah legasi yang buruk di ujung masa jabatan.

Restu Jokowi kepada Gibran jelas akan menempatkannya sebagai presiden yang begitu ugal-ugalan dalam bernegara dan membahayakan demokrasi. Ia abai terhadap kewajiban seorang negarawan dan memilih berlindung di balik frasa “orang tua”. 

Kalaupun Jokowi lebih memosisikan diri sebagai figur ayah, ia seharusnya berani mengingatkan Gibran agar amanah dalam bekerja. Bukankah Gibran baru dua tahun menjadi wali kota Solo? Orang tua galib menegur anak agar setia pada amanah. 

Cek Artikel:  Dwi Fungsi Mengganggu TNI

Kalau kedua opsi tidak juga dijalankan oleh Jokowi, baik itu sebagai negarawan ataupun orang tua, publik berhak untuk menyuarakan dalam hati bahwa yang bersangkutan sedang tidak jujur. Dan dari dalam hati pula publik akan berkata, “Sulit berharap kepada pembohong.”

Kiranya pernyataan Bapak Bangsa Mohammad Hatta patut direnungi. “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Tetapi tidak jujur itu sulit diperbaiki.” Jokowi dari a new hope menjadi a new hopelessness.

Mungkin Anda Menyukai